Kael tidak bisa tidur malam itu. Sensasi yang ketika lentera jiwanya menyala sebelumnya, membuatnya terjaga sepenuhnya.
Matanya menatap langit-langit kamar, tapi pikirannya masih tertinggal pada cahaya itu lentera yang nyaris menyala. Meski hanya sesaat, kilau keemasan itu terasa sangat nyata. Terlalu nyata untuk dianggap ilusi.
“Apa itu hanya imajinasiku?” bisiknya pelan, hampir tak terdengar oleh dirinya sendiri.
Ia duduk perlahan, bersandar pada dinding. Pandangannya terpaku pada lentera di atas meja kecil di sudut kamar. Lentera itu tampak mati. Tak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya sekarang, hanya kaca bening yang menangkap pantulan bulan, dan logam tua yang dingin saat disentuh.
Namun rasa hangat itu... masih tertinggal. Samar. Seperti bara yang tersembunyi di bawah abu. Seperti arus bawah laut yang tenang di permukaan, tapi menggulung dengan kekuatan tak terlihat di bawahnya.
Dan yang lebih mengganggu, detak jantung keduanya belum berhenti. Dua detak jantung dalam satu tubuh. Dua irama berbeda, satu tenang, satu liar. Dua kehidupan... atau dua eksistensi?
Kael memeluk lututnya. Kepalanya bersandar pada lengannya. Di tengah sunyi malam, ia merasa lebih kecil dari sebelumnya. Seolah seluruh dunia diam-diam memandangnya, menuntut sesuatu darinya. Sesuatu yang ia sendiri belum pahami.
“Jika jiwa dan raga benar-benar terhubung… maka kekuatan sejati akan tercipta.” Kata-kata gurunya melintas kembali di kepalanya. Bukan sekadar pengajaran, tapi janji. Janji yang belum ia penuhi. Janji yang masih terasa begitu jauh dari jangkauannya.
Kael berdiri. Langkahnya pelan. Ia membuka jendela kamar perlahan, membiarkan udara malam masuk. Udara yang menusuk dingin, membawa aroma tanah dan embun. Langit malam masih dipenuhi bintang-bintang seperti kemarin, namun malam ini... terasa berbeda. Angin malam berembus pelan. Membelai kulitnya. Membisikkannya sesuatu yang tak bisa ia dengar, tapi bisa ia rasakan.
Dan saat itulah... ia melihatnya.
Dari kejauhan, dari balik bayangan pepohonan yang membentuk garis hitam di cakrawala, sebuah cahaya samar muncul di antara dedaunan. Bukan cahaya lentera. Bukan pula pantulan sinar bulan. Itu adalah cahaya yang sama dengan yang muncul dari lentera jiwanya.
Kael menelan ludah. Dadanya berdebar.
“Datanglah... Datanglah, Kael.” Suara itu muncul. Bukan dari luar. Tapi dari dalam. Suaranya terdistorsi, seperti gema yang menabrak dinding batin. Namun begitu jelas, begitu akrab… seperti bagian dari dirinya sendiri yang selama ini tertidur.
Detak jantung Kael langsung berubah. Ia jatuh terduduk. Tubuhnya panas. Tangannya gemetar. Dua detakan yang selama ini terpisah… kini berdetak bersamaan. Bukan menyatu, tetapi saling beradu. Dua nada berbeda, dua keberadaan dalam satu irama.
Kael mencengkeram dadanya. Panik. Takut. Tapi di balik semua itu… ada rasa lain. Harapan. Kecil, tapi menyala. Ia memejamkan mata. Menarik napas. Menghembuskannya perlahan.
“Tenang... Tenanglah... Pahami dirimu sendiri…” bisiknya pada dirinya sendiri. Ia duduk bersila. Di tengah kamarnya yang sunyi, ia mulai bermeditasi. Bukan karena ingin. Tapi karena perlu. Manusia takut akan apa yang tak mereka pahami. Dan Kael... ingin memahami dirinya.
Lambat laun, rasa panik itu mulai memudar. Ketenangan menyelimuti tubuhnya seperti kabut lembut yang menyentuh tanah kering. Jiwanya seakan perlahan menemukan tempatnya. Tidak sempurna. Tapi cukup untuk membentuk jembatan antara dua sisi dalam dirinya.
Dan saat itulah... Lentera jiwanya menyala.
Bukan seperti lentera milik anak-anak lain yang menyala pelan dan lembut. Cahaya ini... menyilaukan. Membelah gelap kamar seperti kilatan petir yang tak mengeluarkan suara. Sinar keemasan menyebar, menyapu dinding-dinding tua kamar dengan warna baru.
Kael membuka matanya. Mulutnya terbuka, tak sanggup berkata apa-apa. Cahaya itu bukan hanya terang. Ia hidup.
Dan dari dalam pikirannya… Suara itu kembali datang. Tidak berbisik. Tapi berdengung. Menggetarkan dasar-dasar pikirannya. Seakan suara itu bukan hanya kata, tapi kekuatan itu sendiri.
“Kael... inilah saatnya. Waktumu... untuk bangkit.” “Kekuatanmu... terlalu lemah. Tapi cukup untuk langkah pertama.” “Temukan aku... di dalam hutan yang sunyi dan gelap.”
Kael mengerang. Tangan kanannya mencengkeram kepala, seolah ingin menghentikan suara yang menggema dari dalam batinnya. Suara itu terlalu keras, terlalu dalam… terlalu tajam. Lentera jiwa kini berkedip tak beraturan, seperti bernapas dengan panik,bukan dari tubuh, tapi dari sesuatu yang jauh lebih dalam.
Sorot mata Kael mulai memudar. Pandangannya menggelap, seperti tirai malam yang jatuh tiba-tiba. Napasnya memburu, tak terkendali, seperti seekor binatang yang terjebak dalam kandang tak kasatmata. Tubuhnya mulai mendingin, seolah darahnya berhenti mengalir. Sensasi dari dunia suara, cahaya, sentuhan semua menjauh, menguap satu per satu.
Ia bukan lagi Kael yang duduk di kamarnya. Ia hanyalah tubuh kosong, dilanda badai dari dalam.
Tepat ketika Kael tidak dapat menahannya lagi, semuanya berhenti. Suara itu menghilang, seakan tak pernah ada. Segalanya kembali sunyi seperti sebelumnya.
Cahaya itu memudar. Perlahan. Seperti napas terakhir dari api yang menolak padam. Kael menatap lentera itu lama.
“Apakah ini... petunjuk?” gumamnya. “Atau hanya ilusi?”
Ia berdiri. Tubuhnya lemas. Tapi hatinya... tegang, penuh ketidakpastian. Langkahnya berat saat ia berjalan ke arah lemari kecil. Ia meraih jubah ringan, jubah yang biasa ia gunakan untuk ke pasar atau pergi ke bukit Ardeth. Tapi malam ini, jubah itu akan menemaninya ke tempat lain. Tempat yang belum pernah ia datangi. Tempat yang terlarang.
Ia menyelinap menuju pintu belakang rumah. Tak ingin kakeknya tahu. Tak ingin dihentikan. Di ruang depan, ia tahu kakeknya masih terjaga, duduk dengan buku di tangan seperti biasa. Kael tahu begitu pintu ini terbuka, tak ada jalan kembali.
Tangannya menyentuh kenop pintu. Ia terdiam di sana untuk sejenak, merenungkan kembali keputusannya.
“Apakah ini benar-benar keputusan yang tepat?” gumamnya lirih, nyaris tak terdengar. Kael masih dipenuhi keraguan. Ia mencoba berpikir dengan jernih, menimbang tiap kemungkinan, menolak suara-suara ragu dalam dirinya. Apa yang ia kejar belum pasti. Apa yang ia tinggalkan begitu hangat dan aman.
Namun…
“Jika aku tetap diam di sini, maka dunia tidak akan pernah melihatku. Aku tidak akan pernah berubah.” “Jika aku ingin membuktikan pada dunia... maka... aku harus melakukannya.”
Matanya menatap lurus ke depan. Nafasnya dalam. Semua keraguan menguap, digantikan oleh tekad yang membara. Perlahan, Kael memutar kenop pintu.
Seberkas angin dingin menyelinap masuk, mengelus kulitnya... seolah dunia menarik napas panjang, menanti. Langit perlahan tertutup awan, menyingkirkan sisa cahaya bulan. Kabut tipis mulai turun, melayang di antara atap rumah dan pepohonan jauh di kejauhan.
Ia sempat melirik ke ruang depan. Lampu redup masih menyala di sana. Ia bisa membayangkan siluet kakeknya, duduk sambil membaca dengan mata yang mulai menua. Kael menggigit bibir.
“Maaf, Kek... Tapi aku harus tahu siapa diriku.”
Ia kembali menatap hutan yang menyambutnya dalam diam.
Suasana desa menjadi sunyi. Bahkan suara jangkrik pun enggan bersuara. Tapi Kael tak merasa takut. Ia merasa ditunggu.
Oleh apa itu Ia tak tahu. Tapi jiwanya tahu. Dan jiwanya... telah mulai bersuara.
“Temukan aku...” “Di hutan yang sunyi dan gelap...”
Langkah pertamanya begitu ringan, namun juga berat. Satu langkah kecil bagi seorang anak… Namun mungkin satu langkah besar bagi dunia yang sedang menunggu untuk dibangunkan dari tidur panjangnya.
Dan tanpa menoleh ke belakang, Kael mulai berjalan ke dalam malam. Ke dalam bayangan. Ke tempat di mana cahaya pernah lenyap dan mungkin… akan lahir kembali.