Suara yang Tidak Dimengerti

“Semua orang menunggu lentera mereka bersinar untuk membuktikan bahwa mereka ada gunanya. Tapi bagaimana jika cahaya itu datang... dari sesuatu yang seharusnya tak pernah ada?”

Tidak semua orang mendengar suara dari dalam jiwa mereka. Tidak semua cahaya adalah pertanda keselamatan. Kael memikirkan hal itu saat melewati batas terakhir desa, memasuki dunia yang tidak diinginkan siapa pun kecuali mereka yang sudah kehilangan pilihan.

Hutan di malam hari bukanlah tempat bagi anak-anak. Tapi Kael bukan lagi anak-anak biasa.

Langkah-langkahnya menembus kabut dingin yang menempel di kulit seperti embun dingin. Jalan setapak di hadapannya tertutup dedaunan basah, dan aroma tanah basah mencampur dengan rasa logam di ujung lidahnya.

“Aku tak tahu ke mana langkah ini akan membawaku… tapi untuk pertama kalinya, aku merasa benar-benar hidup.” jauh di dalam lubuk hatinya, Kael berharap keputusan yang ia ambil tidaklah salah dan menjadi penuntun untuk masa depannya.

Semakin dalam ia melangkah, semakin kuat dorongan dari dalam dirinya dorongan yang baru saja terbangun dan kini memimpin langkahnya

Detak jantung keduanya masih belum selaras. Di tengah malam yang membatu dan sunyi yang menusuk, Kael merasa jiwanya ditarik. Bukan menuju cahaya… melainkan ke dalam kegelapan yang memanggil dengan suara yang hanya bisa didengar oleh mereka yang kehilangan.

Setiap langkah membuatnya semakin terasing, seolah dunia menutup pintu di belakangnya. Ini bukan tentang keberanian lagi. Ini tentang panggilan yang tak bisa ia tolak. Dan di hadapannya, terbentang hutan. Sunyi, gelap, dan penuh bisikan masa lalu

Kabut di dalam hutan jauh lebih tebal, seperti jaring-jaring tak kasatmata yang hendak menjeratnya. Pepohonan menjulang seperti raksasa yang tertidur, bayangannya membentuk siluet melengkung di jalan tanah basah yang diinjak Kael. Sesekali suara ranting patah terdengar dari dalam kegelapan, tapi tak ada makhluk yang tampak. Seperti hutan itu sendiri sedang memata-matai langkahnya, menimbang apakah Kael adalah musuh… atau bagian dari mereka.

Awan menutupi seluruh langit. Tidak ada bintang. Tidak ada bulan. Cahaya satu-satunya hanyalah sisa pantulan keemasan samar dari lentera jiwanya yang entah mengapa... mulai berpendar lemah dari dalam tubuhnya sendiri.

Kael mulai kehilangan rasa waktu. Nafasnya berat. Tubuhnya lembap oleh embun, jubahnya dingin menempel di kulit. Tapi setiap kali ia berpikir untuk berbalik, rasa dari dalam dirinya itu kembali memanggil. Seperti seutas tali tak terlihat yang menahannya untuk tetap berjalan. Atau menjeratnya.

Di sela kabut, Kael melihat sesuatu bergerak. Bukan binatang. Bukan manusia. Hanya bayangan yang terlalu tinggi, terlalu kurus, dan terlalu sunyi. Ia berdiri diam, jauh, tapi Kael yakin sosok itu mengarah padanya. Lalu lenyap. Seolah tak pernah ada.

Namun rasa dingin yang menusuk di tengkuknya tak pergi. Seperti tangan tak kasatmata yang menyentuhnya dan menandainya bahwa ia telah dilihat… dan mungkin, telah dipilih.

Bayangan itu telah lenyap, namun jejak keberadaannya menempel dalam udara, seperti luka yang tak berdarah. Kael menatap ke arah tempat makhluk itu berdiri, namun hanya kabut dan pepohonan yang menyambut tatapannya.

Lalu… sesuatu bergetar dalam dirinya. Bukan hanya suara, bukan pula rasa takut,tapi sebuah tekanan. Tekanan halus, seperti gravitasi yang menariknya ke arah kegelapan yang lebih dalam. Lentera jiwanya merespons. Cahaya samar dari dalam tubuh Kael berdenyut… seperti jantung ketiga.

Ia melangkah lagi.

Tapi kali ini, langkahnya bukan karena tekad, melainkan karena dituntun. Atau diseret.

Semak belukar bergeser pelan saat ia lewat. Udara menjadi lebih pekat. Aroma logam yang tadinya hanya samar, kini menyengat seperti darah yang lama mengering. Lalu… ia mendengarnya.

Satu suara.

Bukan bisikan, bukan gema dari jiwanya. Sebuah… dentingan.

Dentingan dari sebuah logam.

Seperti suara bilah pedang yang bergesekan dengan batu, halus tapi jelas, di tengah kehampaan malam. Kael menoleh ke segala arah. Tapi suara itu tak berasal dari satu titik. Ia muncul dari dalam dirinya. Dan dari depan. Dan dari masa lalu.

Langkahnya terhenti ketika kabut di hadapannya mulai pecah. Seolah udara itu sendiri membelah, membuka jalan.

Dan di sanalah ia melihatnya.

Sebuah pedang. Tertancap di tanah.

Tepat di tengah celah antara akar pohon tua yang melingkar seperti lengan raksasa.

Cahayanya keemasan sama persis seperti dalam mimpi. Tapi di sini, dalam dingin dan kesunyian nyata, kilau itu bukan sekadar visi. Itu adalah panggilan.

Dan di sekeliling pedang itu, batu-batu hitam melayang pelan, berputar seperti bulan mengelilingi matahari. Masing-masing menyimpan simbol aneh, berkedip seperti denyut nadi… Kael menahan napas.

“Apa ini…?” Kael bertanya pada dirinya sendiri, tidak mempercayai apa yang di lihat oleh matanya sekarang.

Kael mendekat.

Semakin dekat ia melangkah ke arah pedang itu, semakin berat langkahnya. Bukan karena tubuhnya letih, tapi karena udara di sekelilingnya berubah menjadi tebal, seolah setiap partikel mencoba menariknya kembali. Suasana menjadi sunyi, tidak wajar. Bahkan suara napasnya terdengar jauh, seolah datang dari mulut orang lain.

Tepat tiga langkah sebelum menyentuh pedang, dunia runtuh.

Tidak secara harfiah, tapi di hadapannya, tanah menghilang dan ia berdiri di tengah kehampaan. Gelap, luas, tanpa ujung. Hanya dirinya… dan pedang yang kini melayang di udara.

“Ujian ,” suara tanpa sumber berbicara. “Bukan untuk mengukur kekuatan, tapi keberadaan.”

Lalu, dari dalam kegelapan, sosok lain muncul. Berjalan dari bayangannya sendiri. Seorang anak laki-laki dengan wajah yang persis seperti dirinya.

Namun… mata sosok itu tidak bercahaya. Kulitnya pucat, dan dari tubuhnya keluar kabut gelap yang terus bergulung. Sosok itu memegang lentera… tapi lentera itu terbakar hitam.

Kael mundur setapak. “Siapa kau?”

Sosok itu tidak menjawab. Ia hanya tersenyum.

“Aku adalah kemungkinan,” katanya. “Aku adalah jalan yang kau tinggalkan. Aku adalah dirimu... jika kau gagal.”

Dan dalam sekejap, sosok itu menyerang.

Serangannya bukan fisik. Kael tidak merasakan pukulan, melainkan serbuan emosi. Rasa takut, malu, kegagalan, semua yang pernah ia rasakan, datang kembali dalam gelombang. Ia melihat bayangan dirinya yang ditertawakan penduduk desa, wajah kecewa kakeknya, hari ketika ia gagal resonansi.

“Apa kau benar-benar pantas punya kekuatan?”

“Apa kau benar-benar dirimu atau hanya hasil dari kegagalan masa lalu?”

Suara-suara itu berputar, menabrak dinding pikirannya. Kael terjatuh, lututnya menyentuh lantai yang tak ia lihat. Lentera jiwanya bergetar dalam dadanya, redup.

Tapi saat itulah ia ingat.

“Jika aku ingin membuktikan pada dunia... maka... aku harus melakukannya.” Kael berdiri. Pelan. Napasnya berat, tapi matanya menyala.

“Kau mungkin bagian dari diriku,” katanya kepada bayangannya sendiri, “tapi aku tidak akan dikendalikan oleh rasa takut.” Cahaya keemasan muncul lagi dari dadanya. Lentera jiwanya menyala, membelah kegelapan. Sosok bayangan itu menjerit bukan karena kalah, tapi karena alasan yang tak dapat dipahami.

“Kau... tidak mengerti dirimu sendiri... kau pikir siapa dirimu? Hahaha”. Tawa yang mengerikan keluar dari bayangan itu, namun entah mengapa terdengar menyedihkan..

“Kau belum siap… tapi kau telah melewati batas yang tak bisa diulang kembali…”

Dunia kembali. Kael berdiri di depan pedang yang kini bergetar ringan, seolah menyambutnya. Batu-batu hitam di sekelilingnya mulai bersinar satu per satu. Simbol di atasnya menyatu membentuk satu lingkaran. Lingkaran yang hitam pekat.

Kael masih berdiri di tengah lingkaran batu itu. Pedang yang sebelumnya melayang kini menancap dengan anggun di tengah-tengah lingkaran, dikelilingi simbol-simbol kuno yang memendar hitam keunguan. Bukan cahaya yang hangat. Tapi bukan pula kegelapan yang membinasakan. Cahaya itu… terasa netral. Menanti.

Napasnya masih tersengal. Lututnya hampir tak kuat menopang tubuhnya, tapi ia tak jatuh.

“Apa itu barusan… aku sendiri?” gumamnya. “Atau… masa depanku yang gagal?”

Suara-suara yang sebelumnya bergaung di kepalanya telah lenyap, tapi kesan mereka tetap tertinggal. Seperti sidik jari di permukaan air. Lentera jiwanya di dada kini menyala lemah, denyutnya perlahan-lahan kembali menjadi satu… namun tidak stabil. Terkadang ritmenya patah. Terkadang berganda.

Kael mendekati pedang itu.

Pegangannya terbuat dari logam hitam yang dibungkus kain abu-abu. Tidak ada ukiran. Tidak ada nama. Tapi saat Kael menyentuhnya bukan untuk mencabut, hanya menyentuh sebuah gelombang hangat menyapu pikirannya.

“Senjata ini... bukan dibuat untukku. Tapi ia menunggu sesuatu. Atau seseorang. Yang telah gagal.”

Kael tertegun.

Bayangan akan suara terdahulu yang berkata, “kau belum siap… tapi kau telah melewati batas yang tak bisa diulang kembali” terasa semakin nyata. Ia tidak memilih jalan ini. Tapi sekarang ia berada di titik yang tak bisa ia batalkan.

Tiba-tiba sebuah suara datang dari belakangnya.

“Itu bukan pedang untuk bertarung,” kata suara itu. Suara pria tua, serak tapi dalam. “Itu adalah kutukan. Kau... tidak seharusnya di sini.”

Kael berbalik cepat. Di antara kabut yang perlahan menipis, berdiri seorang lelaki tua berjubah kelabu. Wajahnya tersembunyi di balik tudung, tapi matanya bersinar seperti lentera yang telah hidup selama berabad-abad.

“Siapa kau?” tanya Kael, waspada.

“Aku penjaga pintu yang tak lagi dijaga,” jawabnya pelan. “Dan kau, anak muda… bukan pewaris. Kau adalah… penyimpangan.”

Kata-kata itu menggantung di udara, lebih tajam dari pedang mana pun.

Kael mengepalkan tinjunya. “Kalau begitu... kenapa pedang ini tidak menolakku?”

Orang tua itu diam sejenak, lalu melangkah mendekat. Langkahnya tidak menimbulkan suara di atas batu basah.

“Karena ia bukan memilihmu,” bisiknya. “Ia hanya mengenal… apa yang dulu pernah jatuh. Dan kau mengingatkannya pada luka yang belum sembuh.”

Kael tidak mengerti. Tapi hatinya tahu… ini bukan awal dari kemenangan. Ini adalah awal dari kesalahan.