Luka yang Tidak Dimengerti

Kael duduk di beranda, matanya menatap ke arah ladang yang mulai kembali sunyi. Tak ada warga yang melewati jalan depan rumah seperti biasanya. Tak ada sapaan. Tak ada suara ayam dari pekarangan tetangga. Hanya udara dingin, dan gema dari kata-kata yang terus mengulang dalam benaknya

“Kau membawa sesuatu dari hutan.”

“Pohon itu membuka mata.”

“Ini bukan kekuatan... ini kutukan.”

Di dalam dadanya, lentera jiwanya masih berdetak. Dua denyut. Tidak serempak. Tapi kini... ada warna lain yang muncul lebih kuat. Bukan sekadar cahaya emas yang dulu redup dan lembut, tapi kilauan ungu tua, seolah api yang membakar dari dalam tanah gelap.

Ia menutup matanya, berharap suara itu berhenti. Tapi justru yang muncul adalah bayangan pohon, pohon dalam mimpinya. Yang kini tak lagi diam. Cabangnya tumbuh cepat. Akar-akar menyusup ke arah langit dan tanah. Dan di ujung-ujung rantingnya... nyala ganda itu berkedip. Emas dan ungu. Bersama.

“Apa yang kau bawa bukan hanya kekuatan,” suara dari dalam pohon berbisik.

“Tapi kesinambungan dari dua jalan yang pernah pecah. Kau... adalah simpul yang tak diinginkan dunia.”

Kael terbangun dari lamunannya saat mendengar suara langkah pelan di samping rumah. Ia menoleh. Seorang anak kecil yang dulu kerap bermain di dekat rumah Tairas berdiri di kejauhan, menatapnya dengan rasa ingin tahu dan takut yang bertabrakan di wajahnya.

“Kau benar-benar... bisa bicara dengan tanah, ya?” tanya si anak polos, suaranya hampir tenggelam oleh angin pagi.

Kael tidak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan.

Anak itu menggigit bibirnya, lalu lari pergi. Tak berkata apa-apa lagi. Tapi Kael tahu... itu bukan penolakan. Itu permulaan rasa ingin tahu. Dan mungkin... satu-satunya jembatan yang masih tersisa antara dirinya dan dunia.

Di belakangnya, suara pintu kayu terbuka. Tairas keluar membawa mantel tipis.

“Langit terlalu tenang,” gumam kakeknya, menatap awan pucat di atas desa.

“Biasanya itu berarti badai akan datang dari arah yang tak terduga.”

Kael menatap tangan kirinya yang sejak peristiwa di ladang, masih memiliki noda hitam samar seperti bekas terbakar yang tak bisa dibersihkan.

“Jika badai datang...” pikir Kael, “...mungkin aku bukan orang yang bisa menghentikannya.”

“Tapi aku juga bukan lagi anak yang bisa lari darinya.”

***

Siang menjelang, dan suara-suara mulai muncul dari penjuru desa. Bukan sapaan hangat atau tawa di ladang, tapi bisik-bisik tajam yang menyusup lewat celah jendela dan lubang dinding.

Di tengah balai desa yang beratap daun kelapa dan berdinding bambu tua, para tetua dan beberapa warga berkumpul. Tangan mereka membawa lebih dari sekadar tongkat dan gulungan kain mereka membawa ketakutan, dan rasa bersalah yang diselubungi oleh amarah.

“Tanah itu tidak retak sendiri,” kata seorang pria tua, dagunya ditopang dengan tongkat yang sudah usang.

“Kita semua melihatnya… akar-akar itu tumbuh saat dia datang.”

“Tapi dia tidak menyerang siapa pun,” ujar seorang perempuan paruh baya, suara lirih seperti menyembunyikan keraguan.

“Justru karena itu lebih menyeramkan!” timpal pemuda dari ladang barat.

“Kalau dia bisa menggerakkan akar hanya dengan berada di sana… bagaimana jika dia tak lagi bisa mengendalikannya?”

Beberapa mengangguk. Lainnya diam.

Kemudian, seseorang berdiri. Sesosok lelaki tua berjubah gelap yang dikenal sebagai Luran, seorang Penjaga Naskah Lama, orang yang dipercaya menjaga dokumen-dokumen tertulis sejak masa awal pendirian desa.

“Dulu... pernah ada seseorang yang membawa cahaya berbeda,” katanya, suaranya berat dan serak.

“Ia juga muncul dari hutan. Ia membawa kekuatan yang katanya berasal dari pohon. Tapi tidak lama setelah itu, desa kita kehilangan empat anak muda… lenyap di malam hari tanpa jejak.”

Suasana hening.

“Dan sekarang, anak itu kembali. Dengan cahaya yang tidak bersih. Dua warna dalam satu lentera? Itu bukan berkah, itu penyimpangan.”

Seorang ibu mulai menangis pelan.

“Anakku... sejak hari itu, ia menggambar pohon dengan darah dari hidungnya. Katanya... pohon itu berbisik padanya dalam tidur.”

Wajah-wajah tegang, tangan-tangan mengepal. Lalu keputusan mulai dibisikkan.

“Kita harus bertindak.”

“Kalau tidak, dia akan membawa kehancuran.”

“Usir dia. Demi keselamatan kita semua.”

Namun tidak semua setuju.

Seorang lelaki tua berdiri, Bratan, mantan pembuat perahu yang pernah dibantu Tairas saat rumahnya terbakar.

“Dia cucu dari Tairas. Kita tidak tahu apa yang terjadi padanya di hutan, tapi memusuhi seseorang hanya karena kita tidak mengerti adalah… cara lama yang membawa lebih banyak kematian.”

Namun suara itu tenggelam di antara arus ketakutan yang makin kuat. Bahkan orang-orang yang dulu setia pada Tairas kini mulai ragu, bukan karena benci… tapi karena takut.

Maka diputuskan secara diam-diam.

Kael akan dipanggil ke balai esok pagi. Ia harus memilih, pergi dari desa, atau… menghadapi apa pun yang diputuskan bersama.

Kael sendiri tidak tahu apa yang sedang disusun. Tapi lentera jiwanya… mulai merasakan tekanan. Seolah bumi tempatnya berpijak menjadi lebih rapuh. Seolah… pohon di dalam dirinya tahu bahwa akarnya akan diuji.

***

Malam turun tanpa angin.

Langit tampak mendung meski hujan tak turun. Awan-awan menggantung berat, seolah langit sendiri menolak berbicara.

Kael duduk di belakang rumah, di bawah naungan pohon tua yang daunnya tak lagi rimbun. Lentera kecil menyala redup di sampingnya, tapi cahaya dari dalam dadanya… hampir tak terasa.

Angin malam seperti menahan napas. Desa telah sunyi. Tapi bukan sunyi yang damai,melainkan sunyi seperti sebelum badai tiba.

Di tangannya, Kael menggenggam sebuah cabang kecil yang ia ambil dari ladang pagi tadi. Akar yang sempat muncul kini telah mati dan mengeras, namun saat disentuh… Kael masih bisa merasakan denyut samar. Seolah sesuatu masih tertinggal di sana, sisa dari sesuatu yang hidup.

“Besok… mereka akan bicara padaku,” bisik Kael dalam hati. “Bukan untuk bertanya… tapi untuk menghakimi.”

Ia bersandar ke batang pohon tua itu, menatap ke langit yang tak menunjukkan bintang. Lentera jiwanya berdetak pelan, dua denyut yang tak sinkron.

Tapi malam ini, irama itu terasa lebih berat. Bukan karena nyeri. Tapi karena beban yang akan datang.

Langkah pelan terdengar dari arah belakang rumah. Suara tongkat menyentuh lantai kayu. Tairas muncul dari balik tirai pintu, mengenakan selendang tipis dan membawa selimut usang.

Tanpa kata, ia duduk di samping Kael. Mata tuanya menatap ke arah langit yang sama.

“Hari-hari seperti ini… mengingatkanku pada masa sebelum badai besar datang,” gumam Tairas.

“Langit menahan tangis. Tanah menahan nafas.”

Kael tak menjawab. Tapi matanya sedikit menyipit, menahan sesuatu yang nyaris keluar dari matanya, bukan air mata, tapi rasa kehilangan. Kehilangan tempat, kehilangan nama, kehilangan perlindungan.

“Besok… mereka akan memanggilku, Kek,” katanya lirih. "Dan aku tahu… itu bukan panggilan untuk bicara.”

Tairas hanya mengangguk pelan.

“Aku merasa seperti… semua ini bukan salahku, tapi aku tetap yang harus menanggung semuanya. Seperti aku berjalan di jalur yang dipenuhi jerat, dan setiap langkahku hanya membuat tali semakin menegang.”

Suara malam memeluk kata-kata itu dengan keheningan.

Tairas menatap cucunya lama. Lalu, tanpa berkata apa pun, ia menyelimuti tubuh Kael dengan kain usang yang ia bawa.

Tangannya gemetar saat melakukannya, tapi sentuhan itu tetap hangat. Tetap... nyata.

“Apakah mereka benar, Kek?” tanya Kael akhirnya.

“Apakah aku… membawa sesuatu yang bisa menghancurkan mereka?”

Tairas menatap Kael, lama. Matanya kelabu, tapi dalamnya lebih jernih dari cahaya apa pun malam ini.

“Yang bisa menghancurkan… adalah ketakutan, Kael. Bukan dirimu. Kau bukan api. Tapi mereka menaruh minyak di sekitarmu, dan dunia… sangat pandai menyalakan api dari hal-hal yang tak pernah berniat terbakar.”

Kael menunduk.

“Aku tak ingin menyakiti siapa pun.”

Tairas meletakkan tangannya di bahu Kael.

"Maka jangan. Tapi jangan pula menutup cahaya yang tumbuh dalam dirimu. Mereka bisa menolak. Dunia bisa memalingkan wajah. Tapi kau… hanya akan kehilangan arah jika kau menolak dirimu sendiri.”

Lentera dalam dada Kael berdetak lagi. Kali ini lebih tenang. Masih dua denyut, tapi bukan lagi irama kacau. Seolah… sebuah harmoni mulai terbentuk. Belum sempurna, tapi mulai terasa hidup.

“Tidurlah, Kael,” bisik Tairas, bangkit perlahan. “Besok… dunia akan mencoba membuatmu jatuh. Tapi ingat… kau tidak akan sendirian.”

Kael menatap punggung Tairas yang perlahan masuk ke dalam rumah. Lalu, ia menatap langit sekali lagi.

Tak ada bintang.

Tapi dalam dirinya… sebuah cahaya samar mulai tumbuh, bukan dari terang, tapi dari kegelapan yang tak lagi ia tolak.

“Apa pun yang terjadi besok… aku akan berdiri. Bukan untuk menjelaskan diriku… tapi untuk menerima siapa aku. Dan kalau dunia ingin jatuh bersamaku… maka biarlah aku berdiri dulu.”

Malam semakin dalam, dan angin perlahan mulai berembus, tidak keras, tapi cukup untuk menggoyangkan daun-daun mati yang tergantung enggan di ranting.

Suaranya seperti bisikan dari sesuatu yang lama tertidur dan kini kembali menggeliat. Dunia di sekeliling Kael diam, tapi di dalam dirinya… segalanya bergerak.

Ia berdiri dari tempat duduknya, menyelimuti tubuhnya lebih rapat, lalu menatap ke arah utara, arah tempat akar-akar itu pertama kali muncul. Ladang yang retak. Tanah yang berdenyut. Dunia yang mulai menjawab keberadaannya.

“Jika ini awal dari sesuatu yang lama menunggu… maka aku tak akan lari.”

“Aku sudah terlalu jauh untuk kembali.”

Ia menutup mata sejenak. Dalam kegelapan di balik kelopak matanya, ia tak melihat hitam. Ia melihat ungu. Dalam, berkilau. Dan di tengahnya… titik emas kecil yang tetap menyala.

“Dua denyut. Dua suara. Tapi sekarang, aku mulai mendengar irama yang utuh.”

Saat ia membuka mata, langit timur menunjukkan semburat kelabu pertama. Fajar belum benar-benar datang, tapi malam sudah kehilangan kekuatan.

Di kejauhan, suara ayam pertama memecah hening, disusul detak langkah pertama dari ladang dunia mulai bergerak lagi.

Kael menatap tangannya. Bekas hitam samar masih ada di telapak kirinya. Kini tak lagi seperti noda, tapi seperti akar. Akar dari sesuatu yang sedang tumbuh, dan ia tak berniat mencabutnya.

Langkahnya pelan menuju pintu rumah. Di dalam, Tairas sudah terjaga, duduk tenang seperti biasa, matanya menatap ke arah yang sama dengan Kael ke hari yang baru.

Ia tak bicara. Hanya mengangguk. Sebuah pengakuan diam dari orang tua yang tahu peran telah berpindah.

“Hari ini, mereka akan mencoba mencabutku dari tanah tempatku berdiri… tapi mereka tak tahu, akarku sudah terlalu dalam.”

Kael membuka pintu.

Udara pagi dingin menyentuh wajahnya, tapi tubuhnya tetap diam, kokoh. Dunia di luar belum berubah, tapi sesuatu dalam dirinya sudah. Dan itu cukup untuk membuat satu langkah kecil menjadi awal dari semuanya.

Ia melangkah keluar. Menutup pintu perlahan di belakangnya.

Dan di kejauhan, desa bersiap. Bukan untuk menerima, tapi untuk menolak. Dan Kael… akhirnya siap untuk tidak lagi meminta diterima.