Langkah yang Membelah Takdir

Pagi datang bukan dengan cahaya, tapi dengan bisik-bisik. Desa terbangun oleh sesuatu yang bukan ayam berkokok atau gemercik air. Melainkan suara langkah tergesa, pintu yang dibuka setengah hati, dan pandangan-pandangan yang saling mencari, bukan jawaban, melainkan pembenaran untuk rasa takut yang selama ini mereka simpan diam-diam.

Kael sudah bangun sejak fajar. Ia berdiri di beranda, memandangi kabut tipis yang menyelimuti halaman, seolah dunia sendiri mencoba menutupi luka yang belum sembuh.

Ia bisa merasakannya. Hari ini berbeda.

Ada sesuatu di udara. Tegangan yang bukan berasal dari akar jiwanya, tapi dari tanah tempat ia berpijak dari manusia-manusia yang dulu hanya menghindarinya… kini akan menghadapinya.

Tairas menyusul keluar. Wajahnya muram, napasnya pendek. Tapi sorot matanya tenang, terlalu tenang, seperti seseorang yang tahu badai sudah tak bisa dicegah.

“Mereka memanggil rapat pagi ini,” katanya tanpa basa-basi.

“Balai desa. Semua kepala keluarga hadir. Termasuk para pemuda.”

Kael tak bertanya kenapa. Ia tahu. Mereka sudah cukup menahan diri.

“Jangan pergi,” kata kakeknya kemudian, pelan tapi berat. “Kau tak harus ada di sana. Tak ada yang bisa kau buktikan untuk mereka.”

Kael menggeleng, sekali. Tidak dengan keras kepala, tapi dengan kepastian.

“Aku tidak datang untuk membuktikan apa pun, Kek. Aku hanya tidak mau lagi disembunyikan… bahkan oleh diriku sendiri.”

Ia mengenakan jubah luarnya, yang telah dijahit ulang berkali-kali oleh Tairas dan mengikat lentera jiwanya di balik kain tebal, seolah berusaha menahan cahaya yang mulai berdetak terlalu jelas.

Saat melangkah turun dari rumah, Kael menatap langit timur yang mulai menguning samar, tapi tidak terasa hangat. Ia tahu, hari ini bukan tentang penjelasan. Bukan tentang pembelaan.

Hari ini, adalah hari ketika tanah sendiri mulai menolak keberadaannya. Namun ia tidak berhenti. Karena jika tanah menolak… mungkin waktunya mencari langit baru.

Langkah Kael menyusuri jalanan desa terasa lebih sunyi dari biasanya, bukan karena tak ada suara, tapi karena setiap suara terasa… menghakimi.

Pagi yang biasanya diisi dengan suara cangkul pertama, sapaan antar tetangga, atau gelak anak-anak, kini tergantikan dengan bisik lirih dari balik jendela, daun pintu yang hanya terbuka sejengkal, dan tatapan mata yang tak lagi sembunyi-sembunyi.

Beberapa orang pura-pura menyapu jalan saat ia lewat. Tapi sapu mereka berhenti bergerak, seperti tanah itu sendiri tak layak dibersihkan jika Kael melewatinya.

Seorang ibu menarik anaknya masuk ke rumah dengan cepat. Anak kecil itu sempat menatap Kael dengan bingung, belum mengerti apa yang membuat seseorang patut dijauhi, tapi merasakan ketakutan ibunya seperti benang yang tak terlihat, menjerat kakinya agar tak mendekat.

Langkah Kael tidak berubah, tapi ada sesuatu dalam napasnya yang mulai sesak. Seolah udara pagi yang dulu biasa… kini menolak masuk ke paru-parunya.

“Apa ini… wajah manusia saat menghadapi yang tak bisa mereka jelaskan?” pikir Kael, bibirnya menegang.

“Ataukah ini cermin… dari bayangan yang mulai tumbuh dalam diriku?”

Ia terus berjalan. Di kejauhan, balai desa sudah terlihat bangunan kayu tua yang dulunya jadi tempat berkumpul saat panen raya, perayaan kelahiran, atau bahkan saat hujan pertama datang setelah musim kering.

Tapi pagi ini, pintu balai itu terbuka lebar… bukan untuk menyambut, tapi seperti mulut binatang yang hendak melahap sesuatu yang tak dikehendaki.

Beberapa pemuda berdiri di sekitar pelataran. Tak seperti biasanya, mereka tidak tertawa, tidak bermain lempar batu atau meniru gaya pendekar dari cerita tua. Mereka diam.

Tapi tangan mereka menggenggam sesuatu, tongkat, parang tumpul, bahkan batu.

Kael tahu, itu bukan untuk pertahanan. Itu adalah bentuk dari rasa takut… yang sudah berubah bentuk menjadi kebutuhan untuk menyerang.

Ia menatap mereka sekilas. Tak ada rasa marah. Hanya perih yang tertahan.

“Aku dibentuk oleh hutan, tapi dipatahkan oleh rumahku sendiri…”

“...dan sekarang, tempat ini bahkan tak lagi pantas disebut rumah.”

Langkah terakhir membawa Kael melewati mereka, menuju pintu balai desa. Tak ada yang mencegatnya. Tapi ia bisa merasakan napas mereka menegang, seperti jari yang siap melepaskan panah dari busurnya.

Ia melangkah ke dalam. Derap sepatunya mengisi ruang kosong yang dipenuhi banyak wajah… tapi tak satu pun senyum.

Meja pusat telah dipenuhi para sesepuh, dan suara-suara terhenti saat Kael masuk, bukan karena hormat, tapi karena ketegangan yang menggantung seperti kabut sebelum hujan petir.

Lentera jiwanya berdetak di dalam dada. Satu… dua… tak seragam. Tapi semakin kuat. Seolah mengetahui bahwa… inilah momen yang harus dihadapi. Bukan dihindari.

Dan di dalam kepalanya, suara dari bawah tanah kemarin kembali berbisik.

“Pohon pertama telah membuka mata…”

Kael menatap para tetua desa, lalu menatap langit-langit balai yang lapuk.

“Kalau ini adalah penghakiman,” pikirnya, “maka biarlah aku berdiri dengan kepala tegak.”

Seseorang batuk pelan, memecah keheningan seperti retakan pertama pada dinding tua. Seorang pria berambut putih berdiri, tetua desa, tubuhnya kurus, tapi suaranya masih membawa kekuatan yang cukup untuk membelah sunyi.

“Kael…” katanya tanpa sapaan. Hanya nama, menggantung di udara seperti dakwaan.

Kael tidak menjawab. Ia berdiri tegak di tengah ruangan, hanya beberapa langkah dari meja para sesepuh. Dari sudut matanya, ia bisa melihat wajah-wajah yang dulu hanya samar dalam kesehariannya.

Pak Rihan tukang kayu, Bu Orla pemilik gudang gandum, Tuan Fadri si penjaga ladang tua. Semuanya kini menatapnya seolah baru sadar… bahwa yang mereka hadapi bukan lagi seorang bocah yang tumbuh diam-diam di pinggiran desa.

“Kami berkumpul hari ini,” lanjut si tetua, “bukan karena kami membencimu… tapi karena kami takut.”

Beberapa warga mengangguk. Seseorang di sudut mencibir pelan, namun cepat ditegur dengan lirikan tajam.

“Beberapa hari sejak kau kembali dari hutan, dan tanah kita… mulai berubah. Ladang menghitam, akar menjulur, dan langit tak kunjung cerah. Bahkan hewan-hewan mulai menghindar.”

“Bukan karena aku,” Kael akhirnya berkata, suaranya pelan namun jelas.

“Tapi karena sesuatu yang telah lama tertidur… mulai bangkit.”

“Dan siapa yang membangkitkannya kalau bukan kau?” tukas seseorang. Suaranya tajam, penuh emosi.

Seorang pemuda yang berdiri di belakang. Kael mengenalnya. Daron, anak dari penjaga sawah. Dahulu mereka pernah bermain bersama… tapi hari ini, wajah itu penuh curiga.

“Apakah kau tahu apa yang kau bawa pulang dari hutan itu?” lanjut Daron. “Atau bahkan… siapa kau sekarang?”

Pertanyaan itu menggema dalam kepala Kael lebih dalam daripada yang diucapkan.

Siapa aku sekarang?

Ia menatap tangannya. Tidak ada tanda, tidak ada cahaya, tidak ada bayangan. Tapi ia bisa merasakan denyutnya, semakin jelas… semakin liar.

“Yang kubawa…” Kael mulai, perlahan. “...bukan kutukan. Tapi warisan. Sesuatu yang tumbuh di dunia ini sebelum kita semua lahir. Sesuatu… yang pernah dicoba dilupakan oleh generasi sebelum kita.”

“Dan untuk apa warisan itu jika hanya membawa celaka?” potong seorang sesepuh lain, matanya menyipit.

“Kami tak bisa menunggu hingga satu demi satu sawah mati, hingga anak-anak kami mulai bermimpi buruk, hingga… tanah ini menolak kami seperti ia kini menyambutmu.”

“Cukup,” suara Tairas tiba-tiba terdengar dari pintu balai. Tubuh tuanya tegak, namun sorot matanya tajam seperti baja yang ditempa bertahun-tahun.

Warga berbisik pelan. Tidak ada yang menyangka ia akan datang.

“Kael… adalah cucuku,” katanya. “Dan dia mungkin membawa sesuatu yang kita tak mengerti… tapi ia tidak sendiri.”

Sejenak, keheningan turun kembali. Tapi seperti segala sesuatu yang terlalu lama ditekan, satu suara mulai berani.

“Maaf, Pak Tairas… tapi ini bukan hanya soal keluarga. Ini soal keselamatan desa.”

“Kita tak bisa bertaruh.”

“Kalau tidak bisa pergi… setidaknya, asingkan dia dari pusat desa. Dari anak-anak kita!”

“Jauhkan dia dari ladang. Dari sungai. Dari pohon bisu!”

Setiap suara yang masuk ke telinga Kael terasa seperti batu yang dilempar perlahan ke danau jiwanya. Riaknya saling bertubrukan, saling menelan. Tapi di balik semua itu… ada ketenangan yang mulai tumbuh.

Bukan karena ia tak lagi takut.

Tapi karena… untuk pertama kalinya, ia merasa telah melihat wajah sebenarnya dari tempat yang selama ini ia sebut rumah.

Dan dalam kebenaran itu, ia mulai sadar bahwa memilih jalan sendiri… bukan lagi pilihan. Tapi kebutuhan.

Kael mengangkat wajahnya, menatap semua yang hadir.

“Aku akan pergi.”

Suara itu sunyi, tapi menggema ke sudut ruangan.

Semua terdiam.

“Aku akan pergi… bukan karena kalian memaksaku. Tapi karena aku tahu… aku tak bisa menemukan jawabannya di sini.”

Ia menatap Tairas, dan dalam tatapan itu tak ada permintaan izin hanya kepercayaan diam-diam yang lebih dalam dari kata-kata.

“Aku akan mencari... pohon yang memanggilku.”

Sang tetua tampak hendak berbicara, tapi tak jadi. Ia hanya menatap Kael dalam-dalam, lalu menunduk pelan.

“Semoga kau kembali… membawa jawaban yang bahkan kami tak berani tanyakan,”

katanya lirih.

Kael mengangguk. Lalu berbalik. Dan melangkah pergi, meninggalkan balai desa, meninggalkan bisik-bisik yang tak lagi bisa melukainya.

Langkah itu… bukan pelarian.

Tapi awal dari penempaan.

Langit telah beranjak kelabu saat Kael kembali ke rumah.

Ia tak membawa apa-apa selain diam, dan diam itulah yang langsung dimengerti oleh Tairas begitu melihatnya di ambang pintu.

Lelaki tua itu tak bertanya. Ia hanya berdiri dari bangku reyotnya, lalu melangkah pelan ke sudut rumah… dan mengeluarkan sebuah bungkusan kain tua.

Di dalamnya sepotong jubah usang berwarna arang, sepasang sepatu kulit lapuk, dan sebuah lentera kecil dari tembaga kusam tak lagi menyala, tapi masih hangat dalam genggaman.

Kael menerima semuanya dalam senyap.

Tak ada kata perpisahan..Tak ada janji akan kembali..Hanya saling tatap yang dalam keheningannya lebih keras dari ratusan teriakan yang mereka dengar hari ini.

“Jika kau temukan cahaya… peluklah. Jika kau temui kegelapan… jangan lari,” ujar Tairas, suaranya pelan, nyaris seperti doa.

“Karena jiwa yang paling kuat bukan yang tak tersentuh bayangan… tapi yang memilih tetap berjalan bersamanya.”

Kael menggenggam lentera kecil itu erat-erat.

Lalu, ia melangkah ke luar. Desa tak lagi melihatnya saat ia pergi. Tidak juga mengantar. Tapi ia merasa, di balik jendela-jendela yang tertutup, ada mata yang mengikuti. Ada bisik yang menggantung. Dan ada luka yang akan tetap tumbuh… baik karena kepergiannya, maupun karena keberadaannya.

Hujan kembali turun pelan.

Tanah becek menempel pada sol sepatunya. Tapi Kael tak peduli. Ia tak menoleh ke belakang. Tak ada alasan. Karena bagian dari dirinya… tahu bahwa jika ia melakukannya, ia mungkin takkan bisa melanjutkan langkah.

Pohon-pohon di pinggir desa bergoyang pelan dalam angin. Kabut tipis mulai turun dari lereng utara. Jalan yang ia tempuh bukan jalan yang dikenali siapa pun. Tapi Kael tidak buta. Karena di dalam dadanya… lentera jiwanya kembali menyala tak terang, tapi cukup untuk menunjukkan satu langkah ke depan.

Dan itu cukup.

Di tengah gerimis yang turun lembut, suara-suara dari dalam bumi kembali terdengar hanya untuknya.

“Kau telah dijawab.”

“Kini… temukan akar terdalammu.”

Kael menarik napas dalam-dalam. Lalu menghilang ke dalam kabut.