Langkah jiwa tidak hanya menapak bumi, tapi juga menyusuri luka yang belum memiliki nama.
Langit tidak menunjukkan waktu. Cahaya tidak datang dari matahari, tapi dari pantulan aneh yang meresap dari tanah, kabut, dan dedaunan. Hutan telah berubah. Bukan secara fisik, tapi dalam cara ia bernafas. Dalam cara ia memandang balik.
Kael berjalan tanpa arah pasti, tapi juga tanpa ragu. Setiap langkah bukan hanya menjauh dari desa, tapi menyelam lebih dalam ke sesuatu yang belum ia pahami, semacam ruang di antara mimpi dan kenyataan, di mana dunia luar dan dunia dalamnya saling menyusup tanpa batas.
Pohon-pohon di sekitarnya tidak lagi tumbuh secara alami. Mereka melengkung membentuk lengkungan, seperti gerbang kuno yang mengantar masuk ke reruntuhan yang bukan dari batu, melainkan dari ingatan. Suara burung lenyap.
Angin tak bergerak. Hanya bunyi napasnya yang menggema, dan getaran samar dari dalam dada, lentera jiwanya yang berdetak tidak karena bahaya, tapi karena pengakuan.
Tempat ini mengenalnya.
Atau… mengenali sesuatu yang pernah seperti dirinya.
Di tengah keheningan, Kael menyadari satu hal yang mengganggu tidak ada bayangan.
Langkahnya tak berbekas. Tubuhnya tak dilemparkan siluet oleh cahaya mana pun. Ia seperti berjalan dalam lukisan yang belum selesai, di mana keberadaannya sendiri belum sepenuhnya diakui.
Dan di saat itulah, tanpa suara, tanpa peringatan, seseorang berdiri di jalur di depannya.
Tak ada langkah mendekat. Tak ada suara ranting patah. Hanya kehadiran.
Seseorang. Atau sesuatu.
Jubahnya lusuh. Wajahnya tertutup tudung. Tapi tubuhnya tidak memantulkan cahaya, tidak pula menimbulkan bayangan. Seolah ia adalah celah dalam dunia. Kekosongan yang diberi bentuk.
Kael berhenti. Nafasnya tertahan.
Sosok itu mengangkat kepalanya sedikit, dan dari dalam kegelapan tudung, terdengar suara… bukan dari mulut, tapi langsung dari dalam jiwa Kael sendiri.
“Akhirnya kau tiba. Tapi bukan untuk mewarisi. Kau datang untuk memilih… meski belum tahu apa yang harus ditolak.”
Kael tidak menjawab. Dunia menahan napas bersamanya.
Dan di dalam lentera jiwanya, denyut pelan itu berubah ritmenya, bukan ganda, bukan seimbang. Tapi retak. Seolah sesuatu sedang mencungkil sisi dirinya yang belum pernah disentuh.
Kael berdiri di hadapan sosok itu, tinggi, berjubah kelam, wajahnya tertutup bayangan. Namun suara yang keluar darinya… seperti gema dirinya sendiri, hanya lebih dalam, lebih lelah, lebih getir.
“Jiwa... bukan milikmu, Kael. Ia datang sebelum kau lahir. Ia hanya menumpang dan menunggu bentuk baru.”
Kael menatapnya. Tidak menolak, tapi juga belum menerima. Lentera jiwanya mulai bergetar, dua denyutnya tidak sinkron, seperti dua gelas yang dipukul bersamaan tapi tak pernah harmonis.
“Jika aku hanya wadah... maka siapa aku sebenarnya?”.
Sosok itu mendekat. Langkahnya seperti tidak menyentuh tanah, tapi setiap gerakan menimbulkan tekanan udara yang menusuk batin.
“Kau adalah kemungkinan. Tapi dunia tidak memberi tempat pada kemungkinan. Ia hanya menerima yang pasti.”
Mendadak, dunia di sekitar Kael bergeser. Pohon-pohon memudar, tanah di bawahnya berubah menjadi permukaan cermin retak yang memantulkan siluet dirinya.
Tapi bukan dirinya sekarang, melainkan dirinya yang lain: mata yang kosong, kulitnya menghitam di bagian dada, tempat lentera jiwa seolah telah pecah dan menyebar seperti racun.
“Ini kau... jika kau diam. Jika kau tidak menolak. Jika kau tidak memilih.”
Bayangan itu bergerak. Menatap Kael dari dalam cermin. Ia berbicara… dengan suara yang sama seperti miliknya, hanya lebih dingin.
“Aku menyambut kekuatan. Aku tak melawan. Dan aku... hilang.”
Kael mencengkeram sisi kepalanya. Suara lentera dalam dadanya mulai melonjak, denyutnya tidak lagi dua, tapi tak terhitung. Gema dari gema. Pilihan dari pilihan.
“Tidak... aku bukan itu. Aku—”
“Kau adalah jalan yang belum bernama,” potong sosok berjubah.
“Tapi kau hanya akan hidup... jika kau mengukirnya sebelum hening ini memakanmu.”
Tiba-tiba, dari permukaan cermin, bayangan Kael menyembur keluar. Ia menyerang, bukan dengan kekuatan fisik, tapi dengan tekanan batin, rasa bersalah, rasa tidak cukup, dan bisikan-bisikan bahwa ia hanya “sisa dari yang lebih kuat.”
Kael terjatuh. Dunia runtuh jadi pecahan ilusi dan gema. Lentera dalam dadanya bersinar kacau.
Namun… di tengah kabut batin itu, suara kakeknya muncul, samar…
“Tak semua pohon diberi cahaya sejak awal…”
Kael menggertakkan gigi. Ia bangkit perlahan. Bayangan dirinya berdiri di hadapannya, menunggu ia menyerah. Tapi Kael hanya menatapnya… dan mengulurkan tangan.
“Aku tak akan mengusirmu. Tapi aku juga tak akan menjadi dirimu. Kau adalah kemungkinan… yang kupilih untuk tidak terjadi.”
Bayangan itu perlahan retak. Bukan karena dihancurkan, tapi karena diterima sebagai bagian, bukan sebagai takdir.
Cermin di bawah mereka pecah… dan tanah asli kembali muncul.
Sosok berjubah menatap Kael diam-diam. Lalu ia bicara untuk terakhir kalinya.
“Tak banyak yang bisa bertahan melihat wajah dirinya sendiri. Kau... baru saja mulai.”
Kael tidak menjawab. Tapi dalam dirinya, lentera jiwanya mulai berdetak perlahan. Dua denyut. Masih berbeda. Tapi kini… tidak saling menolak.
Kael membuka matanya. Ia masih berdiri di hutan, di bawah langit kelabu. Tapi tubuhnya terasa berbeda. Lentera jiwanya tak lagi mengganggu dadanya dengan denyut bertabrakan.
Kini... dua warna itu berdenyut pelan, tak selaras, tapi berdampingan.
“Aku tidak menyatu dengan mereka... tapi aku juga tidak lagi menolaknya.”
Langkahnya kembali maju, melewati batas yang belum pernah dilalui siapa pun. Suara dunia menjadi tenang.
Tapi di balik ketenangan itu, langkah kunci telah terjadi: Kael telah menatap kemungkinan terburuk dari dirinya… dan tidak lari.
Langkah Kael membawanya ke sebuah tebing batu melingkar yang terbenam di tengah hutan, seperti mangkuk raksasa yang dikelilingi akar dan lumut tua. Di tengahnya, terdapat genangan air hitam pekat, tak memantulkan apa pun kecuali kegelapan.
Ia melangkah ke tepi genangan itu. Dan untuk pertama kalinya... air itu bereaksi.
Gelembung muncul, dan dari kedalamannya… satu sosok perlahan naik.
Sosok itu… Kael sendiri.
Tapi matanya sepenuhnya ungu gelap, kulitnya pucat seperti bayangan yang kehilangan cahaya, dan lentera jiwanya menggantung di luar tubuh, retak, tapi menyala.
“Kau bukan aku,” ucap Kael.
“Aku adalah dirimu… yang terjadi jika kau menolak cahaya karena takut, dan memeluk kegelapan demi jawaban cepat,” jawab sosok itu.
Mereka saling tatap.
Sosok bayangan Kael melangkah maju. Akar-akar gelap mengikuti di belakangnya, seperti hewan liar jinak. Lentera retaknya mengeluarkan suara berdengung… tidak marah, tapi menjerit.
“Aku adalah kau… jika memilih membalas, bukan bertanya. Jika memilih mengklaim, bukan memahami. Jika memilih menjadi mitos… bukan manusia.”
Kael menarik napas dalam.
“Dan aku adalah kau… yang memilih untuk bertahan walau semua alasan hilang.”
Mereka saling mendekat. Sosok bayangan mengangkat tangannya, ingin menyatu. Tapi Kael menggeleng.
“Bukan menyatu. Bukan menolak. Tapi berjalan bersama.”
Ia menyentuh dada sosok itu, dan lentera Kael sendiri menyala, cahaya emas dan ungu bergabung di udara, tak memaksa, tak mendominasi. Tapi saling menerima bentuknya.
Sosok bayangan tak menjerit. Ia hanya… larut, seperti asap yang kembali ke tanah.
Genangan menjadi bening. Dan di dasarnya, tampak akar-akar halus menyebar membentuk simbol lentera… yang kini bercabang dua, bukan satu.
Langit telah berganti menjadi senja saat Kael melangkah keluar dari lingkaran batu. Genangan air di belakangnya kembali tenang, namun bening, memantulkan bayangan dirinya yang tak lagi terbelah, walau belum utuh.
Angin hutan membawa aroma tanah basah dan dedaunan tua, seolah dunia memberi jeda sejenak, bukan karena damai… tapi karena Kael telah menjawab panggilan pertama.
Ia menyentuh dadanya.
Dua denyut lentera kini tak lagi saling bertentangan. Masih berbeda, tapi tidak bermusuhan. Seperti dua suara dari instrumen berbeda yang mulai menemukan harmoni awal dalam kesunyian.
“Aku bukan pecahan dari yang gagal. Tapi aku juga bukan warisan dari yang berhasil,” pikirnya.
Tangannya bergerak ke batu di sisinya. Ia menggambar sesuatu di sana, bukan lambang lama, bukan pola warisan, tapi bentuk baru, cabang akar yang melingkar dan membentuk jalan bercabang tiga.
“Bukan karena aku tahu jawabannya. Tapi karena aku akhirnya cukup berani untuk mulai bertanya.”
Langit mulai gelap, dan bintang pertama belum muncul. Tapi Kael tak mencarinya.
Karena ia sadar… arah yang ia pilih bukan berasal dari atas, dari nasihat para leluhur, atau bisikan langit. Melainkan dari bawah tanah, dari akar-akar luka yang tumbuh perlahan… dan kini mulai menembus permukaan.
Dan jauh di dalam dunia, di lapisan jiwa yang belum tersentuh waktu, pohon pertama menggerakkan akarnya.
Ia bukan menyambut. Ia bukan menolak.
Ia hanya… mulai mendengarkan.
Kael membuka matanya.
“Bukan suara yang kupahami. Tapi suara yang akhirnya… memahamiku.”
Ia melangkah lagi. Bukan untuk melarikan diri. Bukan untuk mengejar.
Tapi untuk menjadi jalan itu sendiri.