Suara yang Tak Diundang

Malam meresap tanpa bintang, dan kabut menggulung lebih tebal dari biasanya, menyelubungi setiap batang pohon seperti jubah tanpa bentuk. Tapi Kael tak berhenti berjalan. Bukan karena ia tahu tujuannya, tapi karena suara dalam dadanya tak lagi memberinya ruang untuk diam.

Lentera jiwanya berdetak. Tidak seperti biasanya, bukan dua denyut tak seirama, tapi satu ketukan berat... lalu sunyi panjang, seperti napas yang tertahan terlalu lama. Hutan di sekelilingnya tetap hening, namun Kael merasa seperti disusupi. Seperti langkahnya dibayangi oleh sesuatu yang tidak memiliki tubuh.

Ia menunduk, menatap tanah berlumpur yang baru ia lewati. Tiga pasang jejak kaki... padahal ia berjalan sendiri.

“Atau... tidak?”

Tiba-tiba, dedaunan di atasnya bergoyang pelan, padahal angin tak bergerak. Suara samar, bukan bisikan, tapi gema pikiran yang bukan miliknya, terdengar di sela kabut:

“Jalan ini... pernah dilalui. Tapi tak pernah selesai ditempuh.”

Kael menoleh cepat. Tak ada siapa pun. Tapi dadanya terasa berat, seperti udara di sekitarnya menolak masuk ke paru-parunya. Ia mengenal rasa ini, rasa dari saat sebelum semuanya berubah. Rasa yang muncul dalam mimpi buruk... tapi kini ia bangun, dan rasanya masih tinggal.

Samar-samar, suara itu kembali terdengar. Kali ini lebih jelas, dan lebih dekat:

“Kau bukan satu-satunya. Tapi kau adalah satu-satunya yang belum memilih.”

Suara itu tidak datang dari luar. Tapi juga bukan dari dalam. Ia datang dari antara.

Kael memejamkan mata. Dalam kegelapan batinnya, ia melihat pantulan seorang anak tidak ia kenali berlari di tempat yang sama, di antara pohon yang sama. Anak itu menggenggam sesuatu yang bersinar redup lentera berwarna perak ungu... tapi cahaya itu memudar cepat. Anak itu menoleh tidak ke Kael tapi seolah sadar dirinya sedang diamati.

Dan kemudian lenyap.

Kael terengah. Tangannya gemetar.

“Apa… itu?” bisiknya.

Namun tak ada jawaban.

Hanya satu hal yang berubah, udara kini berdesing lirih, dan di balik suara alam, satu nada baru muncul: suara yang tak diundang, mulai berbicara dari dalam... menggunakan suaranya sendiri.

Langkah Kael menyusuri celah hutan yang kian menyempit. Dedaunan di atas kepalanya tak sekadar menutupi cahaya, tapi menyaringnya, hingga hanya sisa cahaya redup yang menyerupai cahaya dalam mimpi yang nyaris dilupakan.

Ia berhenti sejenak. Angin tak bergerak. Suara serangga pun hilang. Dan dari sudut matanya, ia melihat sesuatu yang tak masuk akal.

Bayangannya.

Bergerak lebih cepat darinya.

Kael berbalik. Tapi tanah kosong. Tak ada yang mengikuti. Ia melanjutkan langkah. Namun kali ini, ia memperhatikan—setiap kali lentera jiwanya berdetak, bayangannya tidak mengikuti waktu yang sama. Terkadang bergerak lebih cepat, terkadang tertinggal.

Lalu… sesuatu mulai terasa di tanah.

Di tempat langkahnya jatuh, muncul retakan halus membentuk lingkaran kecil yang simetris, seperti riak air di danau, hanya saja dari tanah kering dan pecah. Semakin dalam ia melangkah, pola itu muncul berulang, membentuk jalur tak kasat mata yang seolah pernah dilewati sesuatu lain… atau seseorang lain.

“Ini bukan jalanku saja,” pikirnya. “Tapi juga jalur gema dari sesuatu yang mencoba mengambil langkahku.”

Kael berhenti di sebuah celah kecil antara dua batu tinggi. Di bawah kakinya, daun-daun mulai gugur—bukan tertiup angin, tapi jatuh dengan arah yang terlalu teratur. Mereka membentuk pola samar di tanah: tiga garis melingkar, saling berpotongan di tengah, seperti mata yang belum selesai digambar.

Ia merunduk. Menyentuh daun paling tengah.

Daun itu hancur menjadi abu dingin.

Dari belakang batu, kabut tipis melayang turun, lebih tebal dari sebelumnya. Kabut itu membentuk permukaan licin, cermin yang menggantung di udara. Dan di dalamnya…

Wajah Kael.

Tapi lebih tua. Lebih letih. Mata gelap tak memantulkan cahaya lentera.

Kael mundur, tapi kabut tak menghilang. Ia menatap pantulan itu dan bibir sang bayangan bergerak… tanpa suara. Seolah berkata sesuatu, namun belum ingin didengar.

Lalu, dari dalam dadanya, lentera jiwanya berdetak—dua denyut. Tapi kali ini… ada denyut ketiga, kecil, samar, tak stabil.

“Apa itu...?”

Denyut itu bukan miliknya. Ia tahu. Tapi ia merasakannya seperti jemari tak kasat mata yang menggesek pintu jiwanya, mencari celah masuk.

Kael mencengkeram dadanya. Napasnya berat. Dunia mulai bergeser. Tidak berubah… tapi bernafas dengan cara berbeda.

Langkahnya goyah saat ia menyusuri celah terakhir dari jalur ini, dan dari balik pepohonan bengkok, ia tiba di sebuah dataran terbuka, tanahnya hitam, tidak hangus, tapi seperti ditumbuhi akar-akar yang terbalik. Akar itu tidak menancap ke tanah, tapi keluar dari dalam, menjulur ke atas seperti tangan-tangan yang ingin meraih langit.

Dan di tengah dataran itu…

Sebuah pilar batu berdiri. Di sekelilingnya, bayangan membentuk lingkaran. Tapi tak berasal dari cahaya mana pun.

Kael mendekat. Pilar itu kosong. Tapi saat ia menyentuhnya, suara muncul.

Bukan dari telinga. Tapi dari dalam dada.

“Kau berjalan terlalu dalam… untuk mengaku masih milik dunia mereka.”

Suara itu… mirip miliknya. Tapi lebih lamban, seperti berbicara sambil menarik napas panjang. Dan tiap kata mengandung sesuatu yang berat. Seperti beban yang dilupakan.

“Aku tak mengundangmu,” bisik Kael dalam hati.

“Tapi aku sudah di sini sebelum kau tahu cara bertanya,” balas suara itu.

Kael menarik tangannya. Pilar itu membisu kembali.

Namun saat ia berbalik, bayangan dirinya sendiri berdiri tak jauh, bukan sebagai pantulan. Tapi berdiri nyata, tak melemparkan bayangan, tak memantulkan cahaya.

Bayangan itu tidak bergerak. Hanya menatap, dengan lentera jiwa yang menyala redup… dan menggantung di luar tubuhnya.

“Kau… bagian dariku?”

“Aku adalah kemungkinan. Yang diam. Yang memeluk kegelapan bukan karena ingin… tapi karena terlalu lelah menolak.”

Kael tak menjawab. Tapi lentera jiwanya berdetak lagi. Kali ini, tiga denyut menyatu sebentar, sebelum kembali kacau

“Kau adalah kemungkinan… yang tak akan kuhidupkan. Tak akan kuulang. Dan tak akan kubiarkan kembali,” bisik Kael pada bayangan dirinya.

Bayangan itu membalas, suaranya tenang namun menusuk.

“Apa yang membuatmu yakin, Kael? Apakah dirimu yang sekarang… benar-benar bisa menghentikan kemungkinan?”

Kael tak menjawab. Tapi denyut dalam dadanya berubah.

“Kau menyebutku kegagalan?” Bayangan itu kini berbicara dengan suara yang lebih nyata, lebih dalam.

Kael menggeleng perlahan. “Bagiku… tak ada kemungkinan yang gagal. Entah itu dirimu, atau yang lain.”

Ia menatap bayangan itu penuh keteguhan.

“Tapi kau adalah bentuk yang tak akan kuterima. Bukan olehku… bukan oleh dunia.”

Dan seketika itu, dunia menggelap. Tidak seperti malam, tapi seperti bayangan… yang menolak lenyap sepenuhnya. Secara samar, Kael merasakannya ini bukan lagi dunia yang sama. Ini adalah ruang yang tenggelam dalam sesuatu yang lebih pekat dari malam: keputusasaan yang membatu.

Suara itu menggema, tidak dari satu arah, tapi dari setiap bayangan, dari setiap celah antara pikirannya sendiri.

“Tidakkah kau sadar?” bisik Bayangan. “Dirimu yang sekarang… sudah ditolak dunia. Kau dan aku… tak ada bedanya.”

Kael menahan napas. Tangannya mengepal, dan lentera jiwanya berkedip pelan, seperti lilin di tengah badai.

“Tidak,” bisiknya, nyaris seperti doa. “Kau adalah kegelapan yang telah menelan segalanya. Aku… masih punya cahaya.”

Bayangan itu tertawa lirih, bukan ejekan, tapi iba yang getir.

“Cahaya itu akan padam. Bukan karena aku… tapi karena kau terlalu lemah untuk menjaganya.”

Diam. Dunia menahan napas.

“Terimalah jalan ini,” bisik Bayangan, lebih lembut… lebih berbahaya. “Dengan begitu, setidaknya sisa cahayamu akan bertahan. Tak musnah sepenuhnya.”

Tapi Kael tidak bergerak. Ia hanya menatap ke dalam kegelapan dan untuk pertama kalinya… kegelapan itu menatap balik. Dan ragu.

Dalam dadanya, tiga denyut bertabrakan. Gema jiwa yang tak lagi berirama, seolah tubuhnya sendiri menolak keberadaan yang belum memilih arah. Sakit. Seperti retakan yang menjalar dari jantung hingga ke ujung pikirannya.

Tapi Kael tidak mundur.

Perlahan, cahaya keemasan muncul dari dalam dadanya, bukan cahaya lembut, tapi terang yang menggertak kegelapan, seperti mentari yang dipaksa terbit di tengah malam tanpa permisi.

Cahaya itu meluas. Menyapu kabut. Menghancurkan sunyi.

Dunia di sekitarnya meleleh. Kegelapan pecah menjadi ruang putih yang hening, seperti halaman kosong yang belum ditulisi takdir. Yang tersisa hanyalah Kael… dan bayangan dirinya.

“Ini jawabanku.” Suara Kael tak gemetar. Tak juga menggelegar. Tapi penuh keputusan.

Bayangan itu menatapnya lama. Tak lagi menyerang. Tak lagi membujuk. Hanya diam… sebelum perlahan, kegelapan yang menyelimutinya memudar.

Dan dari balik bayangan, muncul sosok yang begitu mirip Kael, tapi lebih tenang, lebih damai. Di wajahnya… terpasang senyum hangat.

“Begitu ya…” bisiknya. Bukan sebagai musuh. Tapi… sebagai bagian yang akhirnya dimengerti.

Bayangan itu perlahan memudar dalam cahaya. Ruangan itu tenang untuk beberapa saat, sebelum perlahan simbol berbentuk akar hitam merambat memenuhi ruangan itu. Mengingat Kael bahwa di dalam dirinya masih ada kemungkinan yang terus tumbuh.

Ia telah berhasil menjaga dirinya dari pohon pertama, kemungkinan yang sepenuhnya jatuh ke dalam kegelapan.

Di sisi Kael muncul lentera dengan cahaya berwarna ungu gelap, melambangkan luka yang dalam. Tapi ia tahu itu bukan miliknya.

“Aku tidak menolakmu, ataupun menyangkalmu. Aku memutuskan untuk berjalan bersamamu. Sebagai pengingat diriku”.

Dengan ucapan terakhir Kael yang bergema, ruangan itu perlahan pecah, mengembalikan Kael ke tempat sebelumnya.

Dj kejauhan terlihat sosok yang tengah memperhatikan Kael, entah apa niatnya

Dan di balik semua cahaya dan bayangan, Kael tahu perjalanannya baru saja dimulai… bukan sebagai yang terpilih, tapi sebagai yang memilih.