Bab 4, Mahkota dan Bayangan

Pagi menjelang dengan tenang di Istana Victoria. Matahari menyusup masuk lewat celah jendela kaca patri, melukis lantai marmer dengan warna emas dan biru. Namun suasana hati Raja Aryan tak secerah itu.

Hari ini, para bangsawan berkumpul di aula besar untuk membahas pesta perayaan ulang tahun kerajaan — pesta besar yang setiap tahun menjadi sorotan seantero benua. Namun berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, Aryan tidak menunjukkan antusiasme yang biasa ia tampilkan.

“Yang Mulia, Lady Mirelle telah menyiapkan serangkaian tarian dari Selatan. Juga, perancang dari Tanah Garnet sudah tiba untuk menyesuaikan jubah kebesaran Anda,” kata Lady Elinor, pengatur pesta kerajaan, dengan nada setengah menekan.

Aryan duduk di singgasananya, mata terpaku pada secarik kertas yang ia pegang. Laporan desa. Laporan tentang tanah yang retak, panen yang gagal, dan anak-anak yang kelaparan.

“Pesta tak akan memperbaiki tanah retak, Lady Elinor,” jawabnya lirih.

Elinor tertegun. Ia ingin membantah, tapi sorot mata Aryan yang tak bisa dibantah membuatnya bungkam.

---

Di luar aula, beberapa bangsawan mulai berbisik.

“Raja semakin berubah…”

“Katanya ia berjalan tanpa pengawal ke desa beberapa hari lalu.”

“Apa dia mulai gila?”

“Aku rasa ini semua pengaruh usia. Atau kesepian.”

Kata-kata itu berhembus ke seantero istana seperti asap dari lilin yang padam. Tapi Aryan tak peduli. Ia hanya percaya pada suara hatinya, yang untuk pertama kalinya terasa hidup.

---

Di kamar kerjanya, Aryan memanggil Ratu Dowager — ibunya, mantan permaisuri — seorang wanita kuat yang selama ini berdiri sebagai penasehat diam dalam banyak keputusan.

“Ada yang ingin kau bicarakan?” tanya sang ibu, duduk anggun di kursi ukiran kuno.

Aryan mengangguk. “Aku mulai melihat bahwa kerajaan ini besar, tapi rapuh. Indah, tapi jauh dari rakyatnya. Kita tidak tahu mereka. Kita tidak benar-benar mendengar mereka.”

Sang ibu menatap putranya dengan mata yang tajam namun bijak. “Dan kau ingin menjadi raja yang dekat dengan tanah. Seperti legenda para pendiri Victoria.”

“Aku ingin menjadi raja yang berguna,” bisik Aryan.

Ratu Dowager menghela napas. “Jika itu keinginanmu, maka lakukanlah dengan hati-hati. Dunia istana penuh mata. Dan tidak semua senyum itu ramah.”

---

Beberapa hari kemudian, Aryan mengadakan pertemuan dengan para penasihat ekonomi, bukan untuk membahas emas atau permata, tapi alokasi bantuan musim kering bagi desa-desa kecil. Banyak yang kaget. Bahkan Caspar, perdana menteri setia, nyaris menjatuhkan cangkir tehnya.

“Apakah Yang Mulia bermaksud... mengalihkan dana pesta ke bantuan pangan?” tanya Caspar, memastikan ia tidak salah dengar.

“Ya. Kita tak akan merayakan ulang tahun kerajaan dengan tarian ketika banyak yang tidak bisa makan malam,” jawab Aryan tegas.

Sebagian penasihat tampak tak setuju, namun tak berani membantah di hadapan tekad yang begitu kuat.

---

Malam itu, Aryan duduk sendirian di perpustakaan istana, di antara ribuan buku dan peta kuno. Cahaya lilin temaram menemani wajahnya yang dipenuhi pikiran. Di tangannya tergenggam peta desa yang akan ia kunjungi berikutnya — desa yang terletak di lembah jauh, yang tidak pernah dikunjungi raja mana pun.

“Desa Aurenya,” gumamnya. “Nama yang tak pernah terdengar di aula istana.”

Ia belum tahu bahwa di sanalah takdir akan mempertemukannya dengan sesuatu yang bahkan lebih kuat dari kerajaan — cinta yang sederhana, namun mengakar dalam.

Tapi malam ini, Aryan hanya tahu satu hal: bahwa perjalanannya baru saja dimulai, dan bayang-bayang takhta mulai bergeser digantikan oleh cahaya dari tempat-tempat yang terlupakan.

To Be Continued...