Langit Aurenya berwarna keemasan saat matahari mulai merayap naik dari balik pegunungan. Kabut pagi yang tipis belum sepenuhnya menghilang, menyelimuti ladang-ladang luas yang membentang sejauh mata memandang. Angin berhembus perlahan, membawa aroma tanah basah dan daun-daun pisang yang baru disiram embun.
Raja Aryan melangkah perlahan menyusuri jalan kecil berkerikil yang membelah ladang. Ia mengenakan pakaian sederhana — jubah kusam, sepatu kulit tua, dan topi lebar yang menutupi sebagian wajahnya. Tak ada pengawal. Hanya dirinya, dan dunia yang ingin ia kenal lebih dalam.
“Ini... jauh lebih tenang dari yang kukira,” gumamnya sendiri.
Di kejauhan, terdengar suara bajak kayu yang menyeret tanah. Beberapa petani sedang bekerja — pria dan wanita, tua dan muda. Mereka tidak tahu bahwa seorang raja sedang berjalan di tengah mereka. Dan mungkin, mereka tak akan peduli. Karena pagi adalah waktu sibuk bagi para petani.
Namun langkah Aryan terhenti ketika matanya menangkap sesuatu — atau lebih tepatnya, seseorang.
Di tengah ladang padi yang luas, di bawah sinar mentari yang mulai hangat, berdiri seorang gadis. Rambutnya dikuncir sederhana, dengan beberapa helai lepas ditiup angin. Pakaian lusuhnya penuh lumpur, tapi tubuhnya tegak dan tangannya bekerja lincah. Wajahnya menghadap ke bawah, sibuk memindahkan benih ke petak-petak tanah. Sekilas tampak seperti petani lainnya.
Namun bagi Aryan, waktu seolah melambat.
Bukan karena kecantikannya saja — meskipun memang ada keindahan yang tak bisa disangkal dalam cara gadis itu bergerak — tapi lebih karena ketenangan yang terpancar darinya, seperti sepotong pagi yang tidak bisa disentuh oleh kekacauan dunia.
Untuk sesaat, Aryan hanya berdiri diam. Tak tahu harus melakukan apa.
Gadis itu akhirnya menoleh. Tatapan mereka bertemu.
Dan waktu pun benar-benar berhenti.
Sorot matanya tenang, tidak kaget, tidak gentar. Mata cokelat hangat yang menatap seakan berkata, "Aku mengenalmu — bukan sebagai raja, tapi sebagai manusia."
Aryan tersadar dan mengangguk kecil, memberi salam sopan. Gadis itu menjawab dengan anggukan singkat, lalu kembali bekerja, seolah-olah ia hanyalah petani biasa, dan Aryan hanyalah musafir seperti yang lain.
Namun hati Aryan tidak kembali seperti semula.
---
Setelah beberapa saat berdiri terpaku, Aryan melangkah mendekat, mencoba berbicara tanpa terlihat mencurigakan.
“Kau bekerja sendirian?” tanyanya pelan.
Gadis itu menoleh lagi, lalu mengangguk. “Ayahku sedang sakit. Aku menggantikannya hari ini.”
“Sakit apa?”
“Demam. Tapi tidak parah, hanya kelelahan karena musim ini sulit,” jawabnya jujur.
Aryan mengangguk pelan, lalu diam. Tak tahu harus berkata apa. Ia terbiasa dengan pertemuan yang penuh basa-basi, namun gadis ini begitu sederhana, dan justru itu yang membuatnya sulit ditebak.
“Apa kau dari desa ini?” tanya Aryan lagi.
“Ya,” jawabnya pendek, lalu menambahkan, “Namaku Lana.”
Lana. Nama itu masuk begitu saja ke dalam pikiran Aryan dan menetap di sana, seperti benih yang baru saja ditanam di ladang basah.
“Aku Sulaiman,” katanya, menyembunyikan identitas aslinya.
“Musafir?” tanya Lana tanpa rasa curiga.
Aryan tersenyum. “Bisa dibilang begitu.”
Lana tak bertanya lebih lanjut. Ia hanya kembali menunduk dan melanjutkan pekerjaannya. Namun diamnya bukan berarti dingin. Ada kehangatan aneh dalam caranya tidak bertanya, seolah ia memberi ruang bagi orang untuk menjadi dirinya sendiri.
Aryan memutuskan untuk duduk di tepi sawah, memperhatikan Lana bekerja. Tak ada pembicaraan panjang. Hanya sesekali tukar kata ringan tentang musim tanam dan hujan yang terlambat. Namun bagi Aryan, percakapan itu lebih jujur dari semua pidato yang pernah ia sampaikan di aula istana.
---
Ketika matahari mulai tinggi, Lana bangkit berdiri, mengusap keringat dari dahinya. Ia menatap Aryan dengan lembut.
“Aku harus pulang. Ayah pasti menunggu.”
Aryan mengangguk. “Boleh aku mengantarmu?”
Lana tampak berpikir sejenak, lalu tersenyum tipis. “Kalau kau tidak keberatan berjalan kaki.”
Mereka pun berjalan beriringan menyusuri jalan tanah. Sepanjang jalan, Lana menceritakan hal-hal kecil tentang desa — tentang sungai yang meluap bulan lalu, tentang anak-anak yang belajar membaca di bawah pohon mangga, tentang ibunya yang sudah tiada.
Dan Aryan... hanya mendengarkan. Meresapi. Mengingat.
---
Rumah Lana berdiri sederhana di kaki bukit. Sebuah pondok dari kayu tua, dengan pagar bambu dan kebun kecil di sampingnya. Ayahnya sedang duduk di beranda, tersenyum saat melihat putrinya datang bersama orang asing.
“Ini Sulaiman, Ayah. Musafir yang sedang lewat desa,” kata Lana ringan.
Ayahnya menyambut Aryan dengan hangat, tanpa tahu bahwa pria itu adalah raja. Aryan menjabat tangannya, lalu pamit dengan sopan.
Setelah Lana masuk rumah, Aryan berjalan kembali ke arah ladang, tapi pikirannya tetap tertinggal di sana — di pondok kayu itu, bersama seorang gadis yang menatapnya tanpa melihat mahkota.
Ia tahu, hidupnya baru saja berubah.
To Be Continued...