Bab 6, Bayangan yang Tertinggal

Langit mulai kelabu saat Raja Aryan kembali ke tempat peristirahatan sementaranya — sebuah rumah tua milik kepala desa yang digunakan untuk menerima tamu penting. Ia berjalan lambat, seakan enggan meninggalkan ladang itu, seakan setiap langkah menjauhkannya dari sesuatu yang baru saja ia temukan namun sudah terasa akrab.

Sesampainya di dalam, ia duduk diam di bangku kayu panjang dekat jendela. Matanya menatap keluar, ke arah jalan kecil yang tadi ia lalui bersama Lana. Tapi kini jalan itu sunyi, dan senyum gadis desa itu tinggal dalam bayangan ingatannya.

Aryan mengangkat tangan, menyentuh sedikit debu tanah yang menempel di lengan bajunya. Tanah yang sama dengan yang diinjak Lana setiap hari. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Raja Aryan merasa... kecil — dan itu terasa menyegarkan.

---

“Tuanku,” suara Caspar, perdana menteri yang akhirnya menyusul ke desa, terdengar dari pintu.

Aryan menoleh cepat. “Kau mengikutiku?”

Caspar menunduk sopan. “Hamba selalu mengikuti ke mana raja pergi. Bahkan saat menyamar.”

“Tak perlu formal,” kata Aryan pendek.

Caspar menatap rajanya dalam diam sejenak. Ia bukan orang bodoh — ia tahu ada sesuatu yang berubah dalam diri Aryan. Pandangan mata sang raja kini lebih jauh, tapi juga lebih dalam. Seolah ia melihat dunia bukan dari singgasana, tapi dari tanah yang sama dengan rakyatnya.

“Ada sesuatu yang menarik perhatian Anda di desa ini?” tanya Caspar perlahan.

Aryan tak menjawab. Ia hanya menatap jendela, lalu bergumam, “Aku hanya merasa... akhirnya bertemu dengan sesuatu yang nyata.”

---

Sementara itu, di pondok kecil di kaki bukit, Lana sedang duduk di lantai, mengganti kain basah di dahi ayahnya yang masih demam ringan. Matanya memandang jendela terbuka, di mana angin membawa aroma dari ladang yang baru ditinggalkannya beberapa jam lalu.

Ia teringat pada musafir bernama Sulaiman. Cara ia berbicara, menatap, dan mendengarkan — semuanya terasa... tidak biasa. Ada kelembutan, tapi juga ketegasan. Ada sesuatu dalam cara pria itu memperhatikan hal kecil, seolah setiap tetes air dan gerakan tangan petani pun berarti baginya.

“Sepertinya bukan orang biasa…” bisik Lana dalam hati.

Tapi ia tidak curiga. Ia hanya merasa... aneh. Bukan takut, bukan cemas — hanya semacam kegelisahan lembut yang membekas. Ia menepuk-nepuk pipinya, mencoba mengusir pikiran aneh itu. Ia belum pernah merasa seperti ini. Dan ia tidak tahu apakah itu hal baik atau justru sebaliknya.

---

Keesokan harinya, Aryan bangun lebih awal. Ia berjalan keluar tanpa suara, menyusuri jalan menuju hutan kecil di tepi desa. Tapi di tengah jalan, ia melihat sesuatu yang membuatnya berhenti.

Lana.

Ia sedang duduk di bawah pohon mangga besar, bersama beberapa anak kecil, membacakan cerita dari sebuah buku tua. Anak-anak itu duduk melingkar, tertawa dan sesekali menirukan suara tokoh dari cerita. Lana membacakan dengan ekspresi penuh warna, membuat kisah sederhana menjadi hidup.

Aryan berdiri di balik semak, tak ingin mengganggu.

Dia melihat senyum Lana — bukan senyum sopan seperti saat mereka bertemu kemarin, tapi senyum lepas yang penuh cinta pada anak-anak itu, pada cerita-cerita, dan mungkin pada dunia yang ia bangun sendiri di tengah kesederhanaan.

Hatinya kembali bergetar.

Seorang wanita bisa cantik karena gaun dan perhiasan, tapi Lana… cantik karena cahaya dalam dirinya sendiri.

---

Hari itu, Aryan kembali membantu penduduk desa, menyamar sebagai pria biasa yang suka menolong. Ia membawa air dari sungai, membantu memperbaiki pagar, bahkan ikut mengangkat batu untuk menambal jalan.

Lana melihatnya dari jauh, dan tersenyum kecil. Ia tidak tahu kenapa pria itu sangat ingin membantu, tapi ia membiarkannya. Dalam diam, Lana merasa bahwa keberadaan Aryan — betapapun singkatnya — memberi warna baru pada desanya.

Dan ia tahu, pria itu bukan orang biasa. Tapi ia tidak peduli.

Karena ada rasa yang mulai tumbuh — pelan, diam-diam, tapi pasti. Seperti benih yang ditanam di ladang basah, yang hanya perlu waktu untuk mekar.

---

Malamnya, Aryan menulis sesuatu di buku hariannya:

> “Hari ini aku tidak merasa seperti raja. Tapi untuk pertama kalinya… aku merasa hidup.”

To Be Continued...