Kabut pagi belum sepenuhnya menghilang saat Raja Aryan berdiri di depan rumah kepala desa, menatap ladang yang membentang di kejauhan. Semalam ia tidak banyak tidur. Bukan karena tempat yang tidak nyaman, melainkan karena pikirannya dipenuhi oleh satu nama: Lana.
Ia tahu, seharusnya ia sudah kembali ke istana. Agenda negara menunggunya, dan ketidakhadirannya bisa menimbulkan pertanyaan. Namun ada sesuatu di desa ini — sesuatu yang tak bisa dijelaskan oleh logika, tapi sangat dirasakan oleh hati.
Ia ingin tinggal lebih lama. Tapi tidak bisa hanya karena "ingin".
---
Caspar berdiri di dekat tangga, menatap rajanya dengan raut penuh tanya. “Tuanku… kami sudah siapkan kereta kuda jika Anda ingin kembali ke istana hari ini.”
Aryan menoleh perlahan. “Tidak. Aku akan tinggal beberapa hari lagi.”
“Alasannya, Tuanku?”
Aryan menatap Caspar dengan tatapan datar. “Aku ingin melihat sendiri kondisi desa-desa di perbatasan. Bukankah itu tanggung jawabku?”
Caspar diam sejenak, lalu mengangguk. “Jika itu keputusan Anda.”
“Dan Caspar…”
“Ya, Tuanku?”
“Panggil aku Sulaiman di sini. Jangan ada yang tahu siapa aku sebenarnya.”
---
Sementara itu, Lana sedang menyiram tanaman di kebun kecilnya. Ayahnya sudah mulai membaik, dan pagi ini ia bangkit lebih awal untuk membereskan pekerjaan rumah sebelum kembali ke ladang. Namun pikirannya terus terbang, tak bisa diam di satu tempat.
Ia menatap langit, teringat pada percakapan singkat dengan Sulaiman dua hari lalu. Tatapan pria itu, cara bicaranya, ketertarikannya pada hal-hal kecil — semuanya membuatnya berbeda. Tapi perbedaan itu tidak membuat Lana takut. Justru, membuatnya penasaran.
Ia menggigit bibir pelan. Kenapa aku terus memikirkannya?
---
Siang itu, Lana dan beberapa warga berkumpul di balai desa. Ada musyawarah kecil membahas irigasi yang rusak dan butuh perbaikan. Aryan — atau Sulaiman, dalam penyamarannya — hadir di sana. Ia duduk di antara penduduk, tak bersuara, hanya mendengarkan.
Namun perhatian Lana teralih saat melihat Aryan berdiri dan menawarkan ide perbaikan saluran air dengan sistem tandon dari bambu — solusi yang bahkan belum terpikirkan oleh orang desa sekalipun.
“Dari mana kau tahu tentang itu?” tanya salah satu warga dengan heran.
Aryan tersenyum ringan. “Ayahku dulu suka membangun alat-alat seperti ini. Aku belajar sedikit darinya.”
Lana menatapnya dengan kening sedikit berkerut. Lagi-lagi, jawabannya terlalu sempurna.
Namun suara hatinya lebih keras daripada kecurigaan.
Siapa pun dia, dia peduli. Itu cukup.
---
Sepulang dari musyawarah, Lana mendekati Aryan yang sedang berdiri sendiri di dekat pohon waru. “Kau serius ingin membantu membangun tandon itu?”
“Tentu saja,” jawab Aryan sambil tersenyum. “Kalau kau tidak keberatan, aku juga ingin belajar lebih banyak tentang desa ini… darimu.”
Lana tertegun. Pipinya sedikit memerah, tapi ia mengalihkan tatapan. “Kalau begitu, bangun pagi besok. Aku akan membawamu ke hulu sungai. Di sanalah awal semua aliran air berasal.”
Aryan mengangguk. “Besok pagi.”
---
Malamnya, Lana duduk di beranda rumah, menatap bintang-bintang di langit yang cerah. Ayahnya sudah tidur. Suara jangkrik menemani malam yang hening. Namun hatinya... tidak sunyi.
Ia menulis di buku catatannya, buku kecil tempat ia menyimpan puisi dan renungan:
> "Aku belum tahu siapa dia. Tapi aku tahu, ketika dia ada di dekatku, dunia terasa... lebih hidup. Apakah ini yang dinamakan rindu?"
Ia menutup buku perlahan, memeluk lututnya, dan tersenyum kecil — untuk dirinya sendiri.
Di sisi lain desa, Raja Aryan pun memandangi langit yang sama. Ia duduk di balik jendela, menulis di lembar catatan yang sama yang ia bawa ke mana pun:
> "Aku menyebut ini pengabdian. Tapi mungkin, jauh di dalam hatiku, aku hanya mencari alasan agar bisa terus melihat senyumnya."
To Be Continued...