Bab 8, Di Hulu yang Tenang

Mentari baru saja naik saat Lana menuruni bukit dengan langkah ringan. Di punggungnya tergantung keranjang anyaman berisi bekal seadanya — nasi kepal, potongan mangga, dan air minum dalam kendi kecil. Angin pagi membawa aroma dedaunan yang segar dan suara burung saling bersahutan.

Di kaki bukit, Aryan — atau Sulaiman bagi semua orang di desa — sudah menunggu. Ia mengenakan pakaian sederhana seperti kemarin, namun sikap dan sorot matanya tak pernah bisa menyembunyikan latar belakangnya yang megah.

“Kau datang lebih awal dari yang kukira,” ucap Lana, sedikit terkejut.

Aryan tersenyum. “Aku tak ingin membuat pemandumu kecewa.”

Mereka mulai menyusuri jalan setapak menuju hulu sungai. Jalannya naik turun, sempit, dan sesekali licin oleh lumut. Tapi Lana tampak terbiasa. Ia bahkan sesekali berhenti, menunjukkan tanaman obat yang tumbuh liar, atau sekadar menunjuk burung langka yang hinggap di dahan tinggi.

“Tempat ini… sangat damai,” ujar Aryan, menatap sekeliling.

Lana mengangguk. “Aku selalu ke sini saat ingin sendiri. Tak banyak yang tahu jalur ini.”

“Dan kau membawaku ke sini.”

Ia menoleh. Tatapan mereka bertemu sejenak, sebelum Lana cepat-cepat berpaling.

“Aku hanya… butuh bantuan untuk angkut air dari hulu nanti,” jawabnya, berusaha terdengar ringan.

Aryan tertawa pelan. “Alasan yang bagus.”

---

Sampai di hulu, suara gemericik air terdengar lebih deras. Sungai mengalir jernih di antara bebatuan besar. Lana melepas sandalnya, mencelupkan kakinya ke air yang dingin. Aryan mengikutinya, lalu duduk di atas batu besar.

“Dulu,” kata Lana, “aku sering ke sini bersama ibu. Ia mengajariku cara mencuci luka dengan air sungai, cara mengenali arus yang berbahaya, dan cara… diam tanpa merasa kesepian.”

Aryan menatapnya. “Kau sangat dekat dengan ibumu?”

Lana mengangguk pelan. “Sampai dia meninggal tiga tahun lalu.”

Ada jeda. Udara terasa sedikit lebih sunyi.

“Ayahmu orang baik,” ujar Aryan, mengubah arah percakapan. “Meskipun sakit, ia tetap tersenyum padaku saat aku lewat depan rumah kalian.”

“Dia satu-satunya yang kupunya sekarang,” bisik Lana. “Dan aku… satu-satunya yang dia punya.”

Aryan menatap air yang mengalir di kakinya. Suara air, burung, dan daun-daun saling berpadu seperti lagu yang tak pernah ia dengar sebelumnya. Lagu tentang kesederhanaan. Tentang hidup yang bersahaja tapi dalam.

“Sulaiman,” suara Lana memecah lamunannya, “kau bilang ayahmu suka membangun alat-alat dari bambu. Apa kalian petani juga?”

Aryan sedikit terdiam. Ia telah menyiapkan berbagai jawaban, tapi saat melihat mata Lana yang polos dan jujur, ia merasa… tak ingin berbohong terlalu jauh.

“Tidak juga,” jawabnya akhirnya. “Ayahku lebih banyak bekerja untuk... istana. Tapi ia mengajarkan banyak hal padaku tentang rakyat. Tentang cara melihat dunia dari bawah, bukan dari atas.”

Lana diam. Ia menyimpan pertanyaannya.

---

Setelah mengisi beberapa kendi air, mereka duduk di rerumputan yang menghadap aliran sungai. Lana membuka bekal dan membagikan nasi kepal. Aryan menerimanya dengan senyum tulus, lalu mencicipinya.

“Rasanya… lebih enak dari makanan istana,” celetuknya tanpa berpikir.

Lana menoleh tajam. “Makanan istana?”

Aryan terdiam sejenak. Tapi alih-alih panik, ia tersenyum.

“Maksudku… makanan mewah yang pernah kucicipi di kota.”

Lana menatapnya lama. Ada rasa ingin tahu yang tumbuh dalam hatinya. Siapa sebenarnya pria ini?

Tapi ia tidak bertanya lebih jauh. Karena entah mengapa, ia merasa… jawabannya belum dibutuhkan sekarang.

---

Saat matahari mulai condong ke barat, mereka turun kembali ke desa. Jalanan yang tadi sepi kini mulai dilewati beberapa warga yang hendak ke ladang. Aryan membawa kendi air, Lana berjalan di sebelahnya.

Di tengah jalan, Aryan berkata pelan, “Terima kasih.”

“Untuk apa?”

“Untuk membawaku ke tempat yang penting bagimu. Itu bukan hal yang mudah.”

Lana hanya tersenyum kecil. “Aku juga berterima kasih. Karena kau mau melihatnya dengan cara yang benar.”

Langkah mereka berirama. Bayangan mereka memanjang tertimpa cahaya senja.

Dan di dalam hati masing-masing, ada sesuatu yang mulai tumbuh. Masih samar, masih belum terucap. Tapi nyata. Dan hangat.

---

Malam itu, Lana duduk di beranda lagi. Ia membuka buku catatannya dan menulis:

> "Hari ini, aku menemukan seseorang yang tahu caranya diam — bukan karena tidak tahu bicara, tapi karena tahu bahwa diam bisa mendengar lebih dalam."

Sedangkan di rumah kepala desa, Aryan menuliskan hal yang tak jauh berbeda:

> "Hari ini, aku tak ingin menjadi raja. Aku hanya ingin jadi pria biasa yang berjalan di samping gadis luar biasa."

To Be Continued...