Bab 9, Riak yang Tak Terelakkan

Matahari pagi menyinari wajah Lana saat ia membuka jendela rumah. Udara masih sejuk, dan embun menempel di dedaunan seperti butiran kaca kecil. Tapi pagi ini terasa berbeda. Terlalu banyak mata yang menatap saat ia berjalan ke ladang kemarin sore bersama Aryan. Terlalu banyak bisik-bisik yang menggantung di udara.

Ayahnya, yang kini sudah mulai berjalan perlahan meski masih lemah, duduk di depan rumah dengan secangkir air rebusan jahe.

“Lana,” panggilnya pelan. “Kau terlihat gelisah.”

Lana tersenyum kecil. “Tidak, Yah. Aku hanya… memikirkan banyak hal.”

Sang ayah mengangguk pelan. “Orang-orang mulai berbicara. Tentangmu dan pemuda itu.”

Lana menunduk. “Aku tidak melakukan apa-apa yang salah.”

“Ayah tahu. Tapi kadang, orang tidak butuh alasan untuk berbicara. Mereka hanya butuh bahan.”

---

Di balai desa, Aryan membantu para lelaki dewasa mengukur bambu untuk membangun tandon air. Keringat menetes dari dahinya, namun ia tetap tersenyum, bahkan saat tangannya sedikit tergores bilah bambu tajam.

Namun saat ia bangkit dan menatap sekeliling, ia merasakan sesuatu yang asing — jarak.

Beberapa warga yang kemarin bersikap ramah, kini hanya menatapnya sekilas lalu berlalu. Beberapa pemuda berbisik saat Aryan lewat, lalu tertawa kecil. Dan yang paling mencolok adalah pandangan dari salah satu tetua desa, Pak Gatra, yang dari awal memang tampak tak suka dengan pendatang.

“Pemuda kota,” gumam Pak Gatra lirih pada temannya. “Datang, bekerja, lalu pergi. Meninggalkan jejak tak perlu.”

Aryan tidak mendengar langsung, tapi ia melihat sorot mata itu. Sorot mata yang menolak.

---

Di ladang, Lana bekerja sendiri. Biasanya Aryan datang menyusul untuk membantunya, tapi pagi ini tidak ada tanda kehadirannya. Padahal biasanya, langkah kaki pemuda itu selalu terdengar dari balik semak sebelum ia sempat menyadari.

Lana menggenggam sabitnya erat-erat. Ada rasa tak nyaman di dadanya. Bukan marah, tapi semacam... kekosongan yang tiba-tiba muncul.

Saat tengah hari datang, dan panas menyengat tanah, akhirnya Aryan muncul. Bajunya berdebu, wajahnya lelah, tapi senyumnya masih sama.

“Maaf aku terlambat,” ujarnya. “Ada urusan di balai desa.”

Lana hanya mengangguk. Tidak ada sambutan hangat, tapi juga tidak ada penolakan. Hanya... diam.

Aryan duduk di sampingnya, membantu memilah batang jagung yang sudah layu.

“Kau marah?” tanyanya perlahan.

“Tidak.”

“Tidak terdengar seperti ‘tidak’.”

Lana menatapnya. Tatapan yang tenang, tapi tajam. “Orang-orang mulai bertanya tentangmu. Siapa kau, dari mana asalmu, dan kenapa kau... terlalu tahu banyak hal.”

Aryan terdiam.

“Kau bisa membangun alat irigasi, tahu soal hukum pertanahan, dan bahkan bicara seperti orang yang terbiasa memberi perintah. Tapi kau bilang, kau hanya anak dari seorang pekerja istana.”

Suara angin menggesek dedaunan. Sunyi menggantung di antara mereka.

“Kalau aku memang bukan seperti yang kau pikir… apa itu membuat semua kebersamaan kita jadi tidak berarti?” tanya Aryan pelan.

Lana tak menjawab. Tapi hatinya bergetar.

“Aku tidak datang ke sini untuk menyakitimu, Lana. Apa pun yang orang katakan, kau harus tahu… aku tetaplah aku. Sulaiman, yang mendengarkan ceritamu di pinggir sungai. Yang tertawa saat kau mengejek caraku memanggul kendi.”

Lana memalingkan wajah. “Aku hanya… tidak ingin jadi bahan gosip.”

“Kalau begitu, biar aku yang menjauh,” ujar Aryan dengan suara hampir tak terdengar. “Untuk sementara.”

---

Hari-hari berikutnya, Aryan benar-benar menjaga jarak. Ia tetap membantu warga, tapi tidak mendekati Lana lagi. Tidak ke ladang, tidak ke rumah. Dan Lana merasa… kehilangan.

Ia tidak menunjukkan itu. Ia tetap bekerja, tetap berbicara pada tetangga, tetap tersenyum. Tapi malam-malamnya kembali sunyi, seperti sebelum Aryan hadir.

Sampai suatu malam, saat Lana duduk di beranda, ia melihat siluet seseorang berdiri di bawah pohon waru — pohon tempat Aryan sering menunggu.

“Aku tahu kau di situ,” ujar Lana tanpa menoleh.

Langkah itu mendekat. Dan suara lembut menjawab, “Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja.”

“Aku baik.”

“Benarkah?”

Lana menatapnya. “Aku rindu melihatmu membawa kendi air sambil mengeluh berat. Dan rindu cara bicaramu yang terlalu sopan untuk ukuran orang desa.”

Aryan tertawa pelan. “Aku juga rindu mendengar kau memarahiku saat aku salah menanam bibit.”

Mereka terdiam lagi. Tapi kini, diam itu terasa… hangat.

“Aku masih belum siap mendengar siapa dirimu sebenarnya,” bisik Lana. “Tapi aku tahu, kau tidak berbohong tentang caramu memperlakukan orang.”

Aryan menatapnya. “Sampai kapan pun, kau boleh memanggilku Sulaiman.”

“Dan sampai saatnya tiba,” Lana melanjutkan, “aku akan percaya padamu dengan cara yang kupilih sendiri.”

---

Di balik pohon besar itu, Caspar berdiri dengan tangan terlipat. Matanya tajam, penuh pertimbangan.

“Tuanku...” bisiknya lirih pada dirinya sendiri. “Anda terlalu dalam.”

To Be Continued...