Kabut masih menggantung di sepanjang jalan masuk desa saat seekor kuda hitam berhenti di depan kediaman kepala desa. Pengendaranya mengenakan jubah kelam dengan bordiran lambang kerajaan di bahu — seekor singa emas bersayap.
Caspar, yang sedari subuh berjaga dari bayangan pepohonan, segera mengenali pria itu. Utusan istana.
“Cepat juga mereka datang,” gumamnya pelan.
Ia berbalik dan berjalan cepat ke arah perbukitan, tempat Aryan biasanya memulai hari.
---
Aryan tengah membantu beberapa anak memperbaiki rakit kecil dari bambu. Tawa mereka menggema di tepi sungai, jernih dan polos, seolah tak ada beban di dunia ini.
Tapi begitu Caspar muncul, wajah Aryan berubah.
“Mereka datang?” tanyanya tanpa basa-basi.
Caspar mengangguk. “Seorang utusan. Sendirian. Tapi itu sudah cukup jadi peringatan. Ratu mulai gelisah.”
Aryan menatap aliran sungai, diam.
“Kau harus membuat keputusan. Kau tahu ini tak bisa berlangsung selamanya, Tuanku.”
“Aku tahu.”
“Aku bisa mengatur agar kau menghilang sementara—”
“Tidak,” potong Aryan cepat. “Jika aku pergi diam-diam, aku akan mengkhianati semua orang di sini. Termasuk… dia.”
Caspar menahan kata-katanya. Tatapan Aryan penuh tekad, meski jelas hatinya terombang-ambing.
“Lana,” gumam Aryan. “Dia terlalu jujur untuk kebohongan lain.”
---
Di rumah kepala desa, utusan istana bernama Sir Elbar duduk dengan tenang. Ia memandangi interior rumah yang sederhana namun bersih. Sang kepala desa, Pak Rima, menyuguhkan teh pahit.
“Ada yang bisa saya bantu, Tuan?” tanyanya sopan.
Sir Elbar menatap langsung ke matanya. “Saya mencari seseorang. Putra dari Ratu Dowager. Usianya dua puluh lima, wajahnya tampan, kulit sawo matang, sorot matanya tajam. Tapi kini ia menyamar sebagai musafir.”
Pak Rima tertegun. “Maaf, saya tidak tahu siapa—”
“Saya yakin Anda tidak berbohong,” potong Elbar lembut. “Tapi barangkali Anda tak sadar bahwa dia ada di antara warga Anda.”
Pak Rima menunduk.
Elbar berdiri. “Saya akan tinggal di desa selama beberapa hari. Jika Anda melihat seseorang yang cocok dengan deskripsi saya… harap beri tahu saya. Demi keamanan desa ini juga.”
Ia membungkuk pelan, lalu keluar, meninggalkan keheningan yang berat.
---
Di ladang, Lana merasakan keganjilan yang ia sendiri sulit jelaskan. Warga tampak gelisah. Beberapa dari mereka berbicara pelan tentang tamu dari istana, tentang seseorang yang mereka cari.
“Orang penting, katanya,” bisik Ibu-ibu pada temannya. “Pasti ada masalah besar kalau sampai kerajaan kirim utusan.”
“Jangan-jangan… si Sulaiman itu?”
“Ah, jangan sembarangan bicara!”
Telinga Lana panas. Ia menggenggam erat sabit di tangannya. Hatinya berdegup cepat. Tak mau percaya, tapi semua petunjuk mengarah ke sana.
Aryan datang saat senja. Kali ini tak lagi dengan senyum. Wajahnya serius, dan langkahnya berat.
“Aku perlu bicara,” ujarnya lirih.
Mereka berjalan ke tepi sungai, tempat pertama kali mereka duduk bersama. Suara air mengalir masih sama, tapi suasana jauh berbeda.
“Lana, aku… aku tidak pernah ingin menipumu.”
“Jadi mereka memang mencarimu?” tanya Lana langsung, menatapnya.
Aryan mengangguk perlahan.
“Kau siapa sebenarnya?”
Diam. Angin menggoyang ujung rambutnya. Akhirnya Aryan berkata,
“Namaku Aryan. Aryan Halven. Aku adalah putra Ratu Dowager dari Kerajaan Victoria.”
Dunia seperti berhenti sejenak. Lana terdiam, seluruh tubuhnya seperti ditarik angin dingin.
“Kau… pangeran?”
“Bukan hanya pangeran. Aku… raja.”
Lana mundur satu langkah. “Lalu kenapa kau di sini? Menyamar? Mengaku sebagai anak pekerja istana?”
“Aku memantau,” jawab Aryan jujur. “Keluar dari takhta yang belum siap ku pertimbangkan. Dari politik, dari tekanan, dari… perjodohan yang dirancang. Aku ingin tahu dunia luar. Aku ingin hidup sebagai manusia biasa. Aku ingin mengenal diriku tanpa mahkota. Dan... aku ingin melihat sendiri kondisi rakyat.”
Lana duduk perlahan di batu dekat sungai. Ia masih tak percaya.
“Dan semua ini? Kita? Apa itu cuma pelarian?”
Aryan mendekat. “Tidak. Kau satu-satunya hal yang nyata di antara semua kebohongan yang kupakai.”
Lana menatapnya. Matanya basah, tapi ia menahan tangis.
“Aku tak tahu harus percaya atau tidak. Hatiku ingin, tapi pikiranku bilang jangan.”
Aryan jongkok di hadapannya. “Berikan aku waktu. Aku tak akan lari. Kalau kau mau, aku akan menghadap utusan itu besok. Aku hanya minta satu hal… jangan tutup hatimu untukku sepenuhnya.”
Lana menggenggam tangannya sendiri. “Aku butuh waktu, Tuan. Ini terlalu banyak bagiku.”
---
Malam itu, Caspar menunggu Aryan di tepi bukit. Bintang bersinar redup di langit yang kelam.
“Jadi kau akan menyerahkan diri?” tanya Caspar.
“Aku akan bicara dengan Elbar. Tapi aku tak akan kembali ke istana tanpa… keputusan.”
“Dan kalau ratu memaksamu kembali?”
Aryan menatap jauh ke arah desa. “Maka aku akan bertarung. Bukan dengan senjata, tapi dengan kata-kata.”
Caspar tersenyum tipis. “Kau mulai terdengar seperti raja.”
“Bukan. Aku hanya seorang pria yang jatuh cinta pada gadis desa.”
---
Di rumahnya, Lana menatap bulan dari jendela. Tangannya menggenggam buku catatannya yang terbuka.
> "Saat kau mengenal seseorang tanpa nama dan mahkota, lalu menyadari siapa dia sebenarnya… hatimu diuji. Tapi mungkin, cinta yang sejati justru lahir dari hal yang paling sederhana: kejujuran."
To Be Continued...