Bab 11, Antara Mahkota dan Hati

Pagi itu datang dengan angin yang tidak biasa. Tidak lembut, melainkan kencang dan menusuk. Seolah langit ingin memberi isyarat bahwa sesuatu akan berubah hari ini.

Raja Aryan — atau sebutan itu kini mulai kembali melekat — berdiri di depan balai desa. Bajunya tetap sederhana, tapi sikapnya berbeda. Tidak lagi menyamar. Ia berdiri tegak, tenang, dengan mata yang penuh tekad.

Di dalam, Sir Elbar sedang menunggu. Ia duduk di bangku panjang, dikelilingi beberapa tetua desa yang dipanggil untuk menjadi saksi pembicaraan yang tak bisa ditunda lagi.

Begitu Aryan melangkah masuk, ruangan itu sunyi.

Sir Elbar berdiri dan membungkuk. “Yang Mulia.”

Aryan menahan napas sejenak. Ia belum terbiasa dengan sapaan itu kembali, terlebih saat Lana — yang diam-diam hadir di antara kerumunan — mendengarnya langsung dari mulut orang lain.

“Sir Elbar,” sapa Aryan singkat. “Apa yang membuatmu datang menjemputku ke desa sekecil ini?”

“Sang Ratu cemas, Tuanku. Anda pergi selama hampir dua bulan. Dewan mulai berselisih, dan rakyat mulai bertanya. Anda pewaris takhta.”

Aryan berjalan pelan ke tengah ruangan. “Lalu sekarang, kalian ingin membawaku pulang seperti anak nakal yang kabur dari pelajaran?”

“Tidak,” jawab Elbar tenang. “Saya diutus untuk mendengar. Bukan memaksa.”

Para tetua saling pandang. Mereka kini sadar siapa pria yang selama ini bekerja, membantu, dan hidup bersama mereka.

“Kalau begitu, dengarkan aku baik-baik,” ujar Aryan mantap. “Aku pergi bukan karena aku lemah. Aku pergi karena aku ingin tahu bagaimana situasi berbagai desa terpencil dengan mata terbuka, hingga akhirnya aku nyaman disini.”

Elbar tidak membantah.

“Aku menemukan bahwa menjadi raja bukan soal memerintah dari singgasana. Tapi berjalan bersama rakyatnya. Dan aku… menemukan sesuatu yang jauh lebih penting di sini.”

Ia menoleh. Matanya mencari Lana — dan menemukannya berdiri di sisi jendela. Mata mereka bertemu, dan seluruh isi ruangan seolah menghilang.

“Aku menemukan seseorang yang mengajariku makna hidup yang sesungguhnya.”

---

Setelah pertemuan itu selesai, Aryan berjalan keluar disambut tatapan warga yang campur aduk — antara kaget, hormat, dan takut.

Lana menghindari tatapannya. Tapi ia tidak menjauh.

Aryan menyusulnya sampai ke ladang, berjalan cepat menyusuri jalan setapak yang kini tak lagi terasa ringan. Saat mereka berdua akhirnya berhenti di bawah pohon jambu, Lana berbicara duluan.

“Jadi, ini benar. Kau benar-benar seorang raja.”

“Bukan raja,” ralat Aryan. “Penerus raja. Dan untuk pertama kalinya, aku ingin memilih jalanku sendiri.”

Lana menggenggam keranjang kecil di tangannya. “Jalan yang melibatkan aku?”

Aryan mendekat. “Jika kau izinkan.”

“Tapi aku bukan siapa-siapa, Tuan,” ujarnya lirih. “Aku hanya gadis desa yang bahkan tidak tamat sekolah, yang setiap hari berkutat dengan lumpur dan panen.”

“Kau punya sesuatu yang tidak semua bangsawan miliki: hati yang kuat dan jujur.”

Lana memandangnya lekat. “Jika suatu hari Tuan kembali ke istana, dan semua ini menjadi kenangan... apakah aku hanya akan jadi satu nama dalam sejarah singkatmu di desa?”

Aryan mendekat, jaraknya hanya satu langkah darinya. “Tidak. Kau akan jadi alasan kenapa aku ingin memimpin dengan cara berbeda.”

---

Hari itu, desas-desus tentang Aryan menyebar cepat. Tapi anehnya, tak ada yang marah. Sebagian warga justru merasa bangga bahwa seorang raja pernah membantu mereka membangun tandon air, mengangkut kendi, bahkan memanggul karung padi.

Pak Gatra, yang paling awal mencurigai Aryan, hanya menggeleng-geleng sambil tersenyum tipis. “Ya sudah, ternyata bocah itu bukan sok tahu. Memang tahu.”

Caspar berdiri di pinggir pasar desa, memperhatikan semua dengan mata pengamat.

“Kau masih ingin tetap tinggal, Tuanku?” tanyanya saat Aryan menghampirinya.

Aryan tertawa pelan. “Tidak. Tapi aku juga tidak ingin pulang sebelum semuanya siap.”

“Dan kalau ratu mengirim lebih banyak pasukan?”

“Maka aku akan melindungi desa ini seperti rumahku sendiri.”

Caspar menepuk pundaknya. “Akhirnya… kau mulai berpikir seperti seorang raja.”

Aryan memandang langit senja. “Bukan. Aku mulai berpikir seperti seorang pria… yang tak ingin kehilangan satu-satunya orang yang membuat dunia ini masuk akal.”

---

Malamnya, Lana duduk di tempat biasa. Buku catatannya terbuka, tapi belum satu kata pun ditulis. Suaranya hanya keluar dalam hati:

> "Apa yang terjadi jika seorang raja mencintai gadis biasa? Apakah cinta cukup kuat untuk menyatukan dunia yang berbeda? Aku tak tahu. Tapi aku tahu, hati yang bicara jujur tak akan pernah diam."

Dan di tempat yang sama, tapi dalam buku yang berbeda, Aryan menulis:

> "Jika aku bisa memilih di antara kerajaan dan kebahagiaan… maka aku akan bertarung agar bisa memiliki keduanya — bersamamu."

To Be Continued...