Tiga hari telah berlalu sejak Aryan mengakui jati dirinya di balai desa. Dan sejak itu, desa Aurenya berubah. Bukan menjadi kota besar, bukan pula penuh istana. Tapi menjadi pusat bisik-bisik, sorot mata penuh pertanyaan, dan diam yang menyimpan harapan.
Beberapa warga mulai bersikap lebih hormat pada Aryan. Beberapa lainnya menjaga jarak. Namun yang mencolok adalah kehadiran Sir Elbar yang kini tinggal sementara di rumah kepala desa. Diam-diam ia mengirimkan surat melalui burung pos ke arah barat—arah menuju kerajaan.
Dan pagi itu, jawaban dari istana pun datang.
---
Caspar menerima surat lebih dulu. Stempel kerajaan itu tak salah lagi: Ratu Dowager sendiri yang menulis.
Ia membaca cepat, lalu segera menemui Aryan yang sedang memeriksa pengerjaan tandon air bersama warga.
"Tuanku," ucapnya pelan namun tegas, "Ratu mengirim surat."
Aryan mengangguk tanpa menoleh. "Apa isinya?"
Caspar menyodorkan surat yang terlipat rapi. Aryan membuka dan membaca:
> *"Putraku Aryan,
Jika kau ingin tetap dipercaya memimpin negeri ini, maka kembalilah.
Kami akan mengumumkan pernikahanmu dengan Putri Kalensa dalam dua pekan.
Ini bukan tentang cinta. Ini tentang perdamaian dua kerajaan.
Ingat, mahkota bukan beban bagi yang tahu tujuan.
– Ratu Dowager"*
Aryan diam.
“Putri Kalensa?” bisik Aryan. “Perjodohan itu belum dibatalkan?”
Caspar menatapnya hati-hati. “Perdamaian antara Victoria dan Kerajaan Valer tergantung pada ikatan itu, Tuanku.”
Aryan menghela napas panjang. Angin seolah ikut berhenti.
“Jika aku menolaknya, mereka bisa menyalahkan Lana…”
---
Sementara itu, Lana berada di ladang. Tapi pikirannya jauh dari cangkul di tangannya. Ia mendengar dari seorang ibu bahwa utusan lain sedang dalam perjalanan — kali ini bukan hanya satu, tapi rombongan dari istana.
"Aku tidak pernah merasa sekecil ini," bisik Lana sendiri. "Sekalipun aku ditolak karena miskin, aku bisa menerima. Tapi... ditolak karena menghalangi perdamaian dua kerajaan?"
Ia berhenti mencangkul. Air matanya nyaris jatuh, tapi ia tahan. Ia terlalu sering menahan air mata, hingga kini ia tahu cara menyembunyikannya dari siapa pun — kecuali dirinya sendiri.
---
Malam hari, Aryan datang ke rumah Lana. Ia tidak membawa kendi, tidak membawa tawa. Hanya membawa kabar yang berat.
"Aku harus kembali ke istana… dalam waktu dekat," katanya.
Lana tidak terkejut. Hanya mengangguk pelan. “Aku sudah mendengar.”
“Mereka ingin aku menikah dengan Putri Kalensa.”
“Dan kau…?”
Aryan menghela napas. “Aku tidak bisa membiarkan perang terjadi hanya karena hatiku menolak perjodohan.”
“Jadi kau akan menikahinya?” tanya Lana, kali ini matanya menatap tajam.
Aryan menatap ke bawah. “Aku belum tahu. Tapi aku tahu satu hal—aku tidak bisa… kehilanganmu.”
Lana berdiri. Tangannya gemetar.
“Lalu kenapa rasanya seperti aku sudah kau tinggalkan?”
Diam.
“Tuan, kau bukan satu-satunya yang punya beban. Kau pikir aku tidak bertanya setiap hari… apakah aku cukup pantas? Apakah aku cukup kuat? Atau apakah aku hanya jadi ‘penghalang’ dalam cerita kerajaanmu?”
“Aku mencintaimu,” bisik Aryan.
“Tapi cinta tidak selalu cukup,” jawab Lana, suara seraknya nyaris pecah. “Apalagi ketika dunia tidak mengizinkan cinta itu tumbuh.”
---
Di istana, jauh dari desa, Putri Kalensa menerima kabar bahwa Aryan masih menolak kembali. Ia membaca surat Ratu Dowager dengan alis terangkat.
“Jadi, dia jatuh cinta pada gadis desa?” ucap Kalensa sinis.
“Ya, Putri. Dan tampaknya… ia cukup serius.”
Putri Kalensa bangkit dari kursinya. Ia berjalan ke jendela, memandang taman kerajaan.
“Kalau begitu… mungkin aku harus melihat sendiri siapa wanita itu. Yang membuat seorang raja rela menolak takdir.”
Ia tersenyum. Senyum tipis yang penuh bahaya.
---
Sementara itu, Lana duduk sendiri di beranda rumahnya. Angin malam dingin, tapi hatinya lebih dingin lagi. Ia menulis:
> "Aku tidak ingin menjadi alasan pertempuran. Tapi aku juga tak ingin melepaskan seseorang yang membuat dunia ini terasa lebih manusiawi. Jika mencintainya adalah kesalahan… maka biarkan aku menjadi pendosa yang setia."
To Be Continued...