Bab 13, Mata yang Menilai

Desa Aurenya mendung sejak pagi. Awan menggantung berat seperti pertanda badai, meskipun hujan tak kunjung turun. Warga berjalan cepat, berbisik tentang tamu agung yang kabarnya akan datang hari ini.

Lana tidak tahu. Ia baru saja kembali dari ladang, bajunya kotor tanah, rambutnya diikat asal. Ia sedang menuangkan air ke kendi saat suara langkah-langkah kuda berhenti di depan rumahnya.

Ia mendongak. Tiga kuda, satu kereta kecil. Dari dalamnya turun seorang perempuan muda berbusana halus, bukan berkilau mencolok, tapi terlihat anggun dan mahal. Rambutnya disanggul rapi, matanya tajam seperti menilai dunia sekali pandang.

Lana berdiri, masih memegang kendi, bingung.

Perempuan itu menatap rumah kecil di depannya, lalu berkata tenang, “Apakah aku berbicara dengan… Lana?”

Lana mengangguk. “Ya. Ada yang bisa saya bantu?”

Perempuan itu tersenyum kecil. “Namaku Kalensa.”

Lana langsung merasakan dada yang mengencang.

Putri Kalensa berjalan maju, tanpa angkuh, tapi juga tidak merendah. “Aku tidak datang dengan perintah. Aku datang… karena penasaran.”

---

Mereka duduk berdua di teras rumah. Pelayan Kalensa menunggu jauh di sisi jalan, memberi ruang privat untuk mereka. Lana menyuguhkan air minum seadanya, lalu duduk bersila di bangku kayu.

Untuk sesaat, keduanya hanya saling memperhatikan.

“Jadi ini tempat yang membuat raja Aryan betah berlama-lama,” ujar Kalensa akhirnya, memecah sunyi.

“Tempat ini... sederhana,” jawab Lana. “Tapi jujur.”

Kalensa tersenyum, samar. “Sifat yang sangat jarang di istana.”

“Aku tidak tahu apa yang ada di istana.”

“Dan aku tidak tahu seperti apa rasanya memikul hidup di tanah yang harus kau bajak sendiri,” balas Kalensa pelan. “Kita berbeda, Lana. Tapi kita mencintai pria yang sama.”

Lana menggenggam roknya erat-erat. “Kalau kau datang untuk mengambilnya, maka kau tidak perlu susah payah ke sini.”

“Tidak,” Kalensa menatap lurus. “Aku datang untuk melihat… apakah aku kalah.”

Lana menoleh cepat, kaget.

“Kalah?” ulangnya.

“Dari dulu, perjodohan ini hanyalah politik. Aku tau raja Aryan tidak mencintaiku. Tapi aku tidak menyangka ia benar-benar akan jatuh cinta… pada seseorang yang tidak pernah muncul di daftar kerajaan.”

Lana menunduk. “Aku bukan siapa-siapa. Tapi… aku tidak berniat menyakiti siapa pun.”

“Namun tetap saja kau menyakitiku. Karena cintamu padanya nyata,” bisik Kalensa. “Dan itu… membuatku kalah.”

---

Hening kembali. Hanya suara angin dan ayam di kejauhan.

Kalensa menegakkan duduknya. “Tapi aku belum menyerah.”

Lana mengangkat wajahnya.

“Aku tidak akan menggunakan mahkota untuk merenggutnya. Tapi aku juga tidak akan pergi tanpa melihat seberapa dalam dia mencintaimu. Jika kau hanya mengandalkan simpati, kau akan kalah dariku.”

Lana berdiri perlahan. Bukan dalam marah, tapi ketegasan.

“Cintaku padanya bukan untuk menang atau kalah. Aku tidak ingin memenangi hati yang sedang dibagi. Tapi aku juga tidak akan lari karena aku gadis desa.”

Kalensa berdiri juga. Tatapan mereka bertemu. Tegak. Sama kuatnya, meski dari dunia yang jauh berbeda.

“Kau berani,” ucap Kalensa lirih. “Aku menghormati itu.”

Ia melangkah mundur. Tapi sebelum pergi, ia berkata, “Aku akan berada di rumah kepala desa. Tiga hari ke depan. Aku tidak akan menyembunyikan kehadiranku. Tapi aku juga tidak akan memaksa raja memilih... hari ini.”

Dan ia pun pergi. Lana terdiam di teras rumahnya, tangannya masih gemetar.

---

Malam harinya, Aryan mengetahui kedatangan Kalensa dari Caspar.

“Dia datang... ke rumah Lana?” tanya Aryan dengan napas tertahan.

Caspar mengangguk. “Berdua. Tanpa rombongan besar. Sepertinya bukan perintah Ratu. Tapi keinginannya sendiri.”

Aryan menatap langit. “Lana tidak memberitahuku apa pun.”

“Karena dia sedang memproses luka. Bukan untuk diobati, tapi untuk dipahami.”

Aryan menutup matanya sesaat. Hatinya terasa digulung ombak — keras, dingin, dan tanpa arah.

---

Di rumahnya, Lana menulis malam itu. Tidak dengan tangan yang tenang. Tapi dengan hati yang telah diuji.

> “Hari ini, aku belajar bahwa cinta bukan tentang menang dan kalah. Tapi tentang bertahan di tengah dunia yang ingin kita menyerah.

Dan aku… belum ingin menyerah. Belum hari ini.”

To Be Continued...