Bab 14, Mundur Selangkah, Luka Tetap Tinggal

Langit desa Aurenya pagi itu cerah, tapi hati Lana berkabut. Sudah dua hari sejak Putri Kalensa datang ke rumahnya. Sejak saat itu, segalanya terasa berubah — bukan karena Kalensa berbuat apa-apa, tapi karena Lana mulai melihat bayangan dirinya sendiri di mata semua orang.

Dan bayangan itu... terlihat kecil.

---

Di pasar, beberapa orang menatap Lana dengan pandangan berbeda. Mereka tersenyum, tapi senyuman itu terasa... penuh pertanyaan.

“Lana tetap kuat, ya,” kata salah satu dari mereka. “Tapi Putri Kalensa... terlalu sempurna untuk tidak diperhitungkan.”

Lana mendengarnya. Ia tersenyum, lalu berjalan menjauh. Tapi di dalam dadanya, sesuatu mulai runtuh pelan-pelan.

---

Siang itu, Aryan datang ke rumahnya.

“Maaf aku tidak langsung datang setelah kau bertemu Kalensa,” katanya dengan lembut. “Aku ingin memberimu ruang.”

Lana mengangguk. “Dia berbeda, Tuan. Dunia kalian berbeda.”

Aryan menggenggam tangannya. “Tapi hatiku tetap memilihmu.”

“Apa hatimu cukup untuk menahan badai kerajaan?” tanya Lana, lirih.

Aryan terdiam.

“Kalensa bilang ia tidak akan memaksa. Tapi dunia kalian... tak perlu memaksa untuk membuatku merasa tersingkir.”

Lana menarik napas dalam. “Aku tidak ingin hidup dengan terus-menerus merasa tidak cukup. Bukan karena kau salah, tapi karena aku sendiri yang takut.”

Aryan mencengkeram tangannya lebih erat. “Kalau begitu biarkan aku yang menaklukkan ketakutan itu bersamamu.”

Lana menatap matanya. “Bahkan jika suatu hari kau harus kembali ke istana dan aku tidak bisa ikut...?”

“Kalau kau tidak ikut, aku takkan pergi,” jawab Aryan yakin.

Tapi justru kata-kata itu membuat hati Lana perih. Ia tahu... satu-satunya alasan Aryan bisa bertahan di desa adalah karena ia. Dan ia tak ingin menjadi alasan seorang raja gagal memenuhi takdirnya.

---

Sore itu, Lana duduk sendiri di tepi sawah. Hembusan angin membelai rambutnya, dan matanya kosong menatap cakrawala.

Lalu suara langkah kaki terdengar. Kalensa datang, tanpa pelayan. Tanpa kereta. Hanya ia sendiri.

“Aku tidak ingin datang lagi,” katanya pelan. “Tapi aku tahu... kau sedang berperang di dalam dirimu.”

Lana menoleh, heran.

“Aku pernah mengalami hal yang sama. Mencintai seseorang yang tidak bisa kugenggam karena dunia tidak izinkan,” Kalensa melanjutkan. “Tapi aku belajar... bahwa cinta sejati bukan tentang menggenggam. Tapi tentang memilih untuk tetap tinggal, bahkan ketika kau bisa pergi.”

Lana menghela napas. “Dan bagaimana kau tahu kapan harus tinggal… dan kapan harus melepaskan?”

Kalensa menatap mata Lana. “Ketika kau bisa memaafkan dirimu sendiri… karena memilih kebahagiaan yang mungkin tidak diterima dunia.”

---

Malamnya, Lana membuka kembali catatan kecilnya yang penuh tulisan-tulisan lama. Tentang hujan pertama, tentang Aryan yang mengeluh pegal memanggul karung, tentang tawa di bawah pohon jambu. Lalu matanya berhenti pada satu kalimat:

> “Kalau dunia menolakku, asal kau menerimaku, aku cukup.”

Ia menutup buku itu, memeluknya erat-erat. Tapi air matanya jatuh untuk pertama kalinya sejak lama.

Ia tahu, ia tidak bisa lari dari kenyataan. Tapi mungkin… ia bisa belajar berdiri di dalamnya.

---

Keesokan paginya, Lana mendatangi Aryan. Ia membawa satu surat kecil yang dilipat rapi.

“Aku tidak ingin menjauh karena takut,” ucapnya. “Tapi aku juga tak ingin mencintaimu setengah hati, sambil terus bertanya apakah aku cukup.”

Aryan membuka lipatan surat itu. Isinya pendek.

> "Berilah aku waktu. Aku akan pergi ke kota terdekat, belajar, mengenal dunia. Jika hatiku tetap ingin kembali padamu setelah itu, maka aku tak akan pernah meninggalkanmu lagi — meski dunia berbalik arah."

Aryan menatapnya. “Kau mau pergi?”

“Untuk menjadi kuat. Bukan untuk lari. Jika aku akan menjadi bagian dari hidupmu… maka aku ingin datang dengan kaki yang siap berdiri di dunia yang keras.”

Aryan tersenyum, matanya berkaca.

“Kalau begitu, aku akan menunggu.”

Lana mengangguk. Lalu berbalik, berjalan pergi — bukan menjauh karena menyerah, tapi untuk membangun dirinya sendiri, agar saat ia kembali... ia tak lagi merasa kecil di hadapan istana.

---

Dan malam itu, Aryan menulis dalam catatannya:

> “Dia tidak memilihku sekarang. Tapi dia memilih dirinya sendiri. Dan untuk itu, aku mencintainya lebih dari sebelumnya.”

To Be Continued...