Pagi itu berbeda dari biasanya.
Langit cerah, tapi udara terasa berat. Warga desa berkumpul di pinggir jalan tanah, bukan karena ada pasar atau perayaan, melainkan karena seseorang yang mereka kenal akan pergi — bukan karena diusir, tapi karena ingin pulang sebagai versi terbaik dari dirinya.
Lana berdiri di sisi gerobak tua yang akan membawanya ke kota seberang. Tas goni kecil tergantung di pundaknya. Tidak banyak barang — hanya baju, buku catatan, dan secuil harapan.
Aryan berdiri di hadapannya, mengenakan pakaian sederhana, tapi sorot matanya tak bisa menyembunyikan siapa dia sebenarnya.
“Kau yakin dengan ini?” tanyanya pelan.
Lana tersenyum kecil. “Aku tidak pernah yakin pada banyak hal. Tapi… aku yakin bahwa aku ingin menjadi kuat, agar bisa berdiri di sampingmu.”
“Bukan di belakangku?”
“Bukan. Di sampingmu.”
Aryan mengangguk. Matanya memerah.
Caspar berdiri beberapa meter dari mereka, pura-pura tidak melihat, tapi sebenarnya mengawasi dengan perasaan ikut terikat. Warga desa, diam-diam tersentuh, melihat cinta dua insan ini yang jauh lebih nyata daripada dongeng yang biasa mereka dengar.
“Aku akan menunggumu,” ujar Aryan. “Di sini, atau di mana pun kau ingin bertemu.”
Lana mengangguk. Lalu tanpa ragu, ia memeluk Aryan. Bukan pelukan penuh drama, tapi erat, seperti ingin menanamkan seluruh kenangan dalam satu momen.
“Jangan jadi raja yang lupa caranya mencintai,” bisik Lana.
“Dan kau… jangan jadi seseorang yang kehilangan hatinya hanya karena dunia berkata kau tak pantas.”
---
Gerobak mulai bergerak pelan. Roda kayu berderak di atas batu jalanan. Lana duduk di bagian belakang, melambai pada Aryan dan warga desa.
Aryan tidak berpaling. Ia berdiri di tempat sampai bayangan Lana lenyap di balik tikungan jalan.
---
Hari-hari berlalu lambat di desa Aurenya. Aryan kembali membantu warga — mengatur irigasi, menanam bibit, bahkan sesekali menjaga pasar. Tapi hatinya tak pernah benar-benar di sini sepenuhnya.
Ia menulis lebih sering dari biasanya. Kadang ia membacakan isi catatannya ke Caspar, hanya untuk memastikan pikirannya tetap waras.
> “Kerinduan bukan tentang jarak. Tapi tentang bagian dari diri kita yang ikut pergi bersama seseorang, dan kita hanya bisa berharap ia kembali membawa itu kembali pulang.”
Caspar menatapnya. “Tuanku, izinkan saya bertanya… jika dia tidak kembali, apa yang akan Anda lakukan?”
Aryan diam sejenak. Lalu menjawab, “Maka aku akan pergi mencarinya.”
---
Sementara itu, Lana menapaki kehidupan baru di kota kecil bernama Darsena — tempat yang terletak di perbatasan antara wilayah pertanian dan pusat pendidikan rakyat.
Ia tinggal di rumah singgah bagi pelajar dewasa. Bersama gadis-gadis lain yang juga datang dari desa, ia belajar membaca lebih dalam, menulis dengan struktur, bahkan berbicara di depan umum. Setiap malam ia menulis di bukunya:
> “Aku takut. Tapi aku tidak akan menyerah. Jika aku harus kehilangan cinta untuk menemukan diriku sendiri, aku akan tetap melangkah. Tapi aku berharap… cinta itu menunggu.”
Setiap kali rindu datang, Lana menatap secarik kain yang diberikan Aryan sebelum ia pergi — kain kecil berwarna merah anggur, dengan sulaman sederhana berbentuk matahari.
Tatapan di bawah mentari. Itulah yang selalu Aryan ucapkan — bahwa Lana adalah sinar yang datang dari tempat yang tak pernah diduga.
---
Tiga minggu kemudian, sebuah utusan kerajaan datang ke desa Aurenya — bukan untuk menjemput Aryan, tapi membawa surat dari Ratu Dowager.
Caspar menyerahkannya langsung.
> *“Putraku Aryan,
Waktu berlalu. Aku tahu kau tak bisa selamanya menyembunyikan dirimu dari takhta.
Kalensa bersedia menunggu hingga kau siap. Tapi kerajaan tidak bisa.
Jika kau ingin tetap bersama rakyatmu, maka datanglah ke istana dan ajukan syaratmu sendiri.
Jika kau tetap diam, maka Dewan akan menunjuk pengganti.”*
Aryan membaca surat itu perlahan. Lalu menatap Caspar.
“Siapkan kudaku. Aku akan pergi ke istana.”
---
Tapi sebelum malam tiba, ia menulis satu surat — ditujukan pada seseorang di Darsena. Ia tidak tahu pasti apakah akan sampai atau tidak, tapi ia harus mencoba.
> *"Lana,
Kau tidak pernah benar-benar pergi dari hatiku.
Jika kau masih memikirkan aku — maka tunggulah sedikit lagi.
Karena aku akan memperjuangkan hak untuk mencintaimu, bukan sebagai seorang lelaki yang lari dari takdir, tapi sebagai raja yang memilih dengan seluruh kesadarannya.
Aku akan menemuimu di bawah mentari. Sama seperti saat pertama kali aku melihatmu — bukan sebagai raja, bukan sebagai pangeran, tapi sebagai Sulaiman yang dulu kau kenal."*
To Be Continued...