Bab 30, Tatapan di Bawah Mentari

Setahun telah berlalu sejak hari pengangkatan itu.

Dan pagi ini, Victoria tak lagi terbangun oleh suara pengawal yang tergesa-gesa atau langkah-langkah terburu di koridor istana.

Hari ini, seluruh negeri merayakan Festival Mentari—hari di mana rakyat mengenang saat pertama kali forum rakyat dibuka… di desa kecil bernama Aurenya.

---

Di ladang desa Aurenya, seorang gadis kecil—Zara, yang dulu menarik jubah Aryan—berlari menyusuri pematang. Tangannya membawa gulungan kertas.

“Ibu! Lihat! Pesan dari istana!”

Ibunya tersenyum. “Dibacakan ya, Zara?”

Zara membuka kertas itu, dan dengan suara lantang membaca:

> “Untuk rakyat desa Aurenya, tempat di mana suara pertama bergema:

Hari ini kalian adalah tamu kehormatan.

Datanglah ke ibu kota.

Kami ingin Victoria mendengar cerita kalian secara langsung.”

Ditandatangani:

Aryan & Lana

Raja dan Permaisuri yang Mendengar

---

Sementara itu, Lana berdiri di taman istana, menatap matahari yang hangat menyentuh dedaunan. Ia mengenakan gaun putih sederhana, di tangannya secarik surat lama—surat dari mendiang ibunya yang dulu ia simpan dalam kotak kayu kecil.

> “Jika kau pernah mencapai dunia yang tinggi, jangan lupa daratan tempatmu berpijak.

Karena hanya mereka yang tetap membumi… yang bisa menjangkau langit sejati.”

Air matanya menetes perlahan. Tapi kali ini bukan karena luka.

“Lana,” panggil Aryan dari belakang. “Mereka sudah menunggu.”

---

Balai utama Victoria hari itu dibuka seluas-luasnya. Tidak ada jalur khusus untuk bangsawan. Semua orang masuk dari gerbang yang sama.

Zara, Kalensa, para petani, pedagang, guru, anak-anak, para wanita dari forum pertama, hingga anggota Dewan Muda—semuanya duduk bersama dalam satu lingkaran besar.

Aryan berdiri di tengah.

“Dulu, tempat ini hanya untuk yang lahir dalam silsilah.

Tapi hari ini, tempat ini adalah milik siapa pun yang memiliki suara.”

Lana berdiri di sampingnya.

“Dulu, aku bukan siapa-siapa. Tapi karena kalian—aku jadi sesuatu.

Maka izinkan aku mengembalikan suara itu kepada kalian semua.”

Tepuk tangan menggema. Tapi bukan tepuk tangan untuk dua pemimpin—melainkan untuk diri mereka sendiri, karena Victoria hari ini adalah hasil dari keberanian mereka bersuara.

---

Ketika mentari siang menggantung tinggi, Aryan dan Lana berjalan menyusuri taman belakang istana, tanpa penjaga. Hanya berdua. Seperti dulu, ketika keduanya hanyalah pria yang menyamar… dan gadis ladang dengan tatapan yang jujur.

“Apa kau pernah membayangkan semua ini akan terjadi?” tanya Aryan.

“Tidak,” jawab Lana. “Yang kupikir saat itu… adalah tanahku retak karena musim kemarau. Bukan hatiku.”

Aryan tertawa kecil. “Dan sekarang?”

Lana menatapnya, lalu menatap langit.

“Sekarang, retaknya sudah jadi akar.”

> Akar yang tumbuh dari tanah biasa,

menjulang menembus tembok istana,

dan menumbuhkan pohon yang menaungi rakyat dan rajanya.

---

Malam hari, bintang bersinar lebih terang dari biasanya. Di balkon utama istana, rakyat berkumpul menyaksikan lentera terbang—sebuah tradisi baru yang dimulai oleh Lana, sebagai simbol harapan yang akan terus terbang, tanpa batas, tanpa penghalang.

Dan di antara lentera yang terbang paling tinggi, tertulis satu kalimat:

> “Tatapan di bawah mentari... kini menyinari seluruh negeri.”

Tamat...