Bab 29, Mahkota Tak Lagi Sendirian

Malam itu, istana Victoria kembali tenang.

Namun bukan tenang yang seperti dulu—bukan sunyi karena ketakutan, melainkan diam karena sebuah badai telah mereda… dan puing-puingnya masih berserakan.

Aryan duduk di ruang dewan, bersama Kalensa, Ratu Dowager, dan beberapa anggota Dewan Muda yang kini mulai resmi diakui.

“Pembersihan dimulai malam ini,” ujar Kalensa. “Aku punya daftar nama yang harus diinterogasi. Beberapa dari mereka sudah kabur. Tapi sebagian… masih di dalam dinding ini.”

Aryan menatap daftar itu. Nama-nama seperti Lord Rivon, Lady Viviera, dan Dain berada di urutan paling atas.

“Jangan penjarakan mereka,” kata Aryan pelan. “Beri mereka pilihan. Meninggalkan istana dan menyerahkan gelar... atau diadili secara terbuka di hadapan rakyat.”

Ratu Dowager mengangguk setuju. “Istana ini butuh hukum… bukan balas dendam.”

---

Di sisi lain, Lana duduk sendiri di balkon timur. Malam ini, tidak ada acara resmi. Tapi besok… pengumuman pengangkatan permaisuri akan diumumkan. Dan ia tahu, setelah hari itu, hidupnya tidak akan pernah menjadi milik dirinya sendiri lagi.

Ia menatap langit. Bintang-bintang terang, seolah memberi ruang bagi satu permintaan diam-diam yang tak pernah sempat ia ucapkan.

> "Biarkan aku tetap menjadi Lana…

bahkan ketika dunia mulai memanggilku dengan gelar yang asing."

Aryan muncul di belakangnya. Ia tak berkata apa-apa. Hanya duduk di sebelahnya.

“Besok,” gumamnya, “aku akan mempersembahkan mahkota itu bukan hanya untuk seorang permaisuri… tapi untuk seseorang yang pernah menanam padi di ladang desa.”

Lana menatapnya. “Dan jika suatu hari rakyat mulai meragukanku?”

Aryan memandang lurus. “Maka aku akan menjadi orang pertama yang mengingatkan mereka bahwa kamu adalah alasan mereka mulai percaya.”

---

Pagi hari, istana Victoria berubah.

Bendera berganti warna menjadi biru-emas—warna baru dari Era Victoria Terbuka.

Balai besar istana dibuka untuk rakyat. Bukan hanya bangsawan yang hadir—petani, guru desa, pemuda, dan wanita dari berbagai sudut negeri ikut menyaksikan.

Di hadapan mereka, Aryan berdiri.

> “Selama ini, kita mengira kerajaan adalah tempat di mana hanya darah yang berbicara.

Tapi aku di sini untuk menyatakan—mulai hari ini, kerajaan ini adalah milik nilai.

Dan perempuan yang akan berdiri di sampingku… bukan berasal dari silsilah.

Tapi dari suara yang tak pernah berhenti meski tak didengar.”

Lana melangkah perlahan ke tengah. Gaunnya tidak mewah, tapi indah. Rambutnya tidak bertabur mahkota, tapi disemat bunga padang Aurenya.

Dan saat Aryan menyematkan mahkota kecil di kepalanya, rakyat bertepuk tangan.

Tidak karena mewah. Tapi karena mereka percaya.

---

Sementara itu, di ruang tertutup bawah istana, Lady Viviera dan Lord Rivon duduk berhadapan dengan pengawal.

“Kami tidak akan tunduk,” kata Rivon. “Kami adalah darah tua. Kami lahir untuk memimpin.”

Kalensa menatap mereka.

“Maka mati sebagai bayangan. Karena dunia sudah memilih cahaya.”

Dan pada hari itu, nama-nama yang menolak perubahan secara damai… dicatat sebagai pelajaran. Bukan musuh. Tapi peringatan.

---

Malam harinya, Aryan dan Lana berdiri di balkon yang sama.

Istana tak lagi terasa asing bagi Lana. Tapi juga belum sepenuhnya rumah.

“Aku akan butuh waktu,” katanya pelan.

Aryan meraih tangannya. “Aku tidak memilihmu untuk hari ini, Lana. Aku memilihmu… untuk setiap hari yang belum kita mengerti.”

> Dan dalam senyap malam pertama sebagai permaisuri,

Lana tahu: ini bukan akhir dari perjuangan.

Tapi awal dari perjalanan bersama.

Dengan mahkota… dan dengan cinta yang telah bertahan.

To Be Continued...