Langit di atas istana Victoria tidak menunjukkan tanda badai. Tapi angin politik telah berubah arah.
Malam itu, Kalensa bergegas masuk ke ruang kerja Aryan. Di tangannya, selembar kertas yang baru saja diterimanya dari salah satu mata-mata rakyat.
“Yang Mulia,” katanya tegas. “Mereka bergerak.”
Aryan menatapnya.
“Perhimpunan Dalam Bayangan telah menyusup ke dalam Dewan Istana. Mereka akan mengadakan sidang luar biasa, esok pagi. Tujuan utamanya: mencabut hak atas program reformasi… dan mengajukan pemilihan raja baru.”
---
Di ruang istirahat, Lana duduk dengan Ratu Dowager. Mata keduanya menatap keluar jendela, ke arah taman dalam yang kini sepi.
“Mereka tak hanya ingin menjauhkan aku dari Raja,” bisik Lana. “Mereka ingin merobek akar perubahan dari dalam.”
Ratu Dowager menggenggam tangannya.
“Dulu, aku pernah hampir kehilangan takhta. Bukan karena cinta, tapi karena diam. Jangan biarkan itu terjadi padamu. Jangan pernah diam, Lana.”
Lana menatapnya, matanya mulai berkaca.
“Aku takut. Bukan pada mereka. Tapi pada saat Raja harus memilih antara mempertahankan aku… atau mempertahankan tahtanya.”
Ratu Dowager tersenyum kecil. “Jika dia memilih tahta, dia tidak layak mendapatkanmu. Tapi jika dia memilihmu, dia akan menunjukkan kepada dunia… bahwa tahta hanya pantas untuk orang yang berani kehilangan segalanya demi yang benar.”
---
Pagi itu, sidang Dewan Istana digelar secara tertutup.
Aryan berdiri sendiri di tengah ruangan yang dikelilingi oleh dua puluh kursi kosong… yang kini telah terisi oleh wajah-wajah dengan senyum tipis dan niat tersembunyi.
Lord Rivon membuka suara.
> “Yang Mulia Raja Aryan telah menunjukkan kecenderungan yang membahayakan kestabilan istana. Ia lebih berpihak pada rakyat daripada bangsawan. Ia menurunkan martabat takhta demi kepentingan emosional pribadi.”
Lady Viviera menyambung.
> “Kami, sebagai perwakilan garis tua kerajaan, mengajukan mosi: agar seluruh kebijakan reformasi dibekukan, dan kekuasaan diserahkan sementara kepada Dewan Kerajaan.”
Aryan tak menyela. Ia menatap mereka semua—tenang, namun matanya menyimpan bara.
“Jika kalian ingin mencabut kekuasaanku karena aku mencintai rakyat… maka lakukanlah. Tapi ingat: seorang raja bisa digulingkan, tapi kepercayaan rakyat tidak bisa dicuri.”
---
Di luar ruangan, Lana berjalan cepat menuju aula istana. Kalensa menyusul di belakangnya.
“Mereka akan mengumumkan keputusan pada siang hari,” ujar Kalensa. “Kau harus pergi. Sekarang juga.”
“Pergi ke mana?” tanya Lana. “Meninggalkan semua ini? Membiarkan Aryan sendiri?”
“Ini bukan soal menyerah,” sahut Kalensa. “Ini soal bertahan untuk hari esok. Jika mereka mencabut takhta Raja, kau akan jadi sasaran. Bukan hanya sebagai rakyat biasa… tapi sebagai simbol yang mereka ingin musnahkan.”
Lana menggenggam gaun yang dikenakannya. “Kalau aku pergi… aku kehilangan dia. Tapi kalau aku tetap tinggal… mungkin aku kehilangan diriku sendiri.”
Kalensa mendekat. “Jadi pilihlah bukan berdasarkan siapa yang akan kau kehilangan. Tapi siapa yang akan kau selamatkan.”
---
Siang hari. Dewan keluar dari ruang sidang.
Aryan berdiri di anak tangga istana, sendirian. Di hadapannya, rakyat telah berkumpul. Desas-desus telah menyebar. Dan di antara mereka… Lana tidak ada.
Lord Rivon maju, suara lantang:
> “Kami, Dewan Kerajaan, menyatakan bahwa Raja Aryan dicabut hak penuh atas kekuasaan, dan mulai hari ini, segala urusan negara dikendalikan oleh Dewan sampai pengangkatan raja baru.”
Tapi belum selesai kalimat itu bergema, satu suara dari kerumunan menerobos:
> “Dan siapa yang memberi kalian kuasa untuk melangkahi suara rakyat?”
Semua menoleh.
Lana berdiri di antara rakyat.
Gaunnya sederhana. Rambutnya terikat. Tapi sorot matanya tak bisa diabaikan.
“Raja kami tidak sempurna. Tapi ia mendengar. Ia datang ke desa. Ia merendahkan diri, bukan untuk kehilangan kehormatan, tapi untuk memberikannya kepada kami yang tak punya. Dan kalian—apa yang telah kalian beri, selain nama dan ketakutan?”
Rakyat mulai bergerak. Satu suara. Dua suara. Lima. Sepuluh.
“Hidup Raja Aryan!”
“Kami tidak pernah memilih kalian!”
“Istana ini milik semua yang berjuang!”
---
Kalensa berdiri di samping Lana.
“Kau tidak pergi,” gumamnya.
“Aku tidak bisa,” jawab Lana. “Karena jika aku pergi, bukan Aryan yang kalah—tapi semua yang percaya bahwa mimpi bisa tumbuh dari tanah biasa.”
Aryan turun tangga. Ia berdiri di samping Lana.
“Kau datang.”
Lana menatapnya. “Selalu.”
> Dan ketika rakyat berdiri, dan cinta berdiri bersama mereka,
kekuasaan lama tidak roboh karena perang…
tapi karena akhirnya, mereka berdiri sendirian.
To Be Continued...