Istana Victoria pagi itu tidak sunyi seperti biasa.
Para pelayan berbisik, para penjaga saling melirik, dan isu yang menyebar dari lorong ke lorong bukan lagi soal cinta sang raja—tetapi tentang pengkhianatan, pengaruh, dan ancaman.
> “Reformasi mengancam ekonomi bangsawan.”
“Dana untuk Forum Rakyat diambil dari pajak keluarga kerajaan.”
“Lana menyusun jaringan pengaruh untuk menurunkan kuasa darah biru.”
Fitnah tak lagi bersembunyi. Kini ia memakai jubah logika dan mulut-mulut terhormat.
---
Di ruang kerja Aryan, Kalensa meletakkan selembar dokumen.
“Ini surat protes resmi dari tujuh bangsawan senior. Mereka meminta agar program rakyat dihentikan sementara. Termasuk forum wanita, Dewan Muda, dan kunjungan ke desa.”
Aryan membaca surat itu perlahan. Tidak satu pun dari nama yang tercantum adalah kejutan.
“Dan ini…” tambah Kalensa. “Adalah pengumuman bahwa para bangsawan akan mengadakan forum tandingan. Dengan tema: 'Menjaga Keagungan Takhta dari Arus Populisasi'.”
Aryan terdiam. “Mereka ingin mempermalukanku di istanaku sendiri.”
“Dan Lana,” sambung Kalensa pelan. “Adalah simbol yang akan mereka hancurkan lebih dulu.”
---
Di tempat lain, Lana berjalan melewati lorong istana. Beberapa bangsawan wanita membalikkan badan ketika ia lewat. Yang lainnya hanya menatap dengan senyum sopan yang menyakitkan.
Tapi yang paling menyakitkan… adalah ketika Lady Reitha—kepala pelayan yang dulu mendukung—memalingkan wajah.
Lana menghampirinya. “Apa yang berubah?”
Lady Reitha menunduk. “Bukan aku yang berubah. Tapi mereka yang sekarang bisa menjatuhkan siapa pun dengan mulut mereka. Dan aku sudah terlalu tua untuk berperang di antara bisikan.”
Lana menatapnya. “Aku tidak meminta kau berperang. Hanya untuk tetap berdiri.”
---
Hari forum tandingan tiba. Aula megah istana diisi dengan para bangsawan lengkap dengan pakaian terbaik mereka. Di tengah ruangan, panggung tinggi telah disiapkan—berkebalikan dengan lingkaran duduk Forum Rakyat.
Lord Rivon berdiri pertama. Suaranya lantang:
> “Rakyat perlu raja. Tapi raja tidak harus merendahkan takhtanya demi suara jalanan!”
“Jika ratu berasal dari tanah biasa, maka negeri akan menganggap bahwa darah tidak lagi berharga.”
Tepuk tangan terdengar. Tapi juga... gumaman. Beberapa bangsawan muda mulai tampak ragu.
Lalu, suara lain menggema dari ujung ruangan.
> “Maka biarkan darahku tidak berharga,
jika yang berharga hanyalah keangkuhan.”
Semua menoleh.
Lana berdiri di ambang pintu.
---
Tanpa diundang, tanpa pengawal, ia melangkah ke tengah ruangan.
“Jika kalian ingin menjatuhkanku… maka aku berdiri di sini. Bicaralah. Hadapilah aku. Jangan hanya bersembunyi di balik gelar.”
Lady Viviera berdiri. “Kau bicara seperti pemimpin. Tapi kau bukan siapa-siapa.”
Lana menatapnya tajam.
> “Aku tidak punya warisan,
tapi aku punya kebenaran.
Dan jika warisan lebih penting daripada kebenaran,
maka takhta ini sudah lama kehilangan artinya.”
Lord Rivon menunjuk. “Ini bukan tempat untuk rakyat biasa!”
Lana mengangkat suara. “Tempat ini milik semua orang yang peduli pada negeri. Dan jika aku adalah cermin yang mengganggu kalian—maka lihatlah lebih dalam, siapa yang sebenarnya kalian takuti?”
---
Tiba-tiba, pintu aula terbuka lagi. Rakyat.
Perwakilan desa Aurenya, para wanita muda dari forum Lana, dan pemuda-pemudi Dewan Muda mulai berdatangan.
Bukan untuk menyerang. Tapi untuk menyaksikan.
Aryan masuk terakhir.
Ia tidak berkata apa-apa. Hanya berdiri di samping Lana.
Dan dengan satu isyarat tangan, ia menurunkan panggung.
Simbol bahwa tidak ada lagi suara yang lebih tinggi hanya karena silsilah.
---
Kalensa mendekat ke Lady Viviera.
“Aku sarankan kalian berhenti. Karena rakyat sudah melihat siapa yang berdiri… dan siapa yang bersembunyi.”
---
Forum tandingan bubar bukan karena kalah argumentasi,
tapi karena cahaya tidak bisa dibendung oleh bayangan.
Dan malam itu, Lana berdiri di halaman istana. Ia menangis. Tapi bukan karena sedih.
Melainkan karena akhirnya ia tidak sendiri.
> Dan pada malam yang penuh tekanan,
cinta tidak datang dalam pelukan.
Tapi dalam berdiri bersama,
di hadapan dunia yang tak lagi bisa membungkam.
To Be Continued...