Chapter 19 - Jantung Kota Yang Terbaring Membeku

Ruangan kecil itu terasa seperti gelembung waktu yang terpisah dari kekakuan Eternal. Kehangatan perapian dan aroma honeyroot tea yang dituangkan wanita tua ke cangkir-cangkir keramik menciptakan kontras nyata dengan dinginnya batu kota di luar jendela. Seika memegang cangkirnya, uap hangat membasuh wajahnya yang lelah.

"Eternal..." gumam Drest, matanya menyapu ruangan penuh gulungan papirus dan botol rempah. "Namanya menyiratkan keabadian. Tapi kota ini... terasa lebih seperti kuburan megah."

Wanita itu tersenyum, keriput di sudut matanya berlipat seperti peta kuno.

"Benar, anak cerdas. Eterna memang berarti Yang Tak Berkesudahan. Tapi bukan keabadian dalam arti pertumbuhan atau kejayaan..."

Tangannya yang keriput menunjuk keluar jendela, ke patung Sang Penjaga Waktu di alun-alun. "...melainkan penghentian. Seperti jam pasir yang butir terakhirnya menggantung selamanya di tengah udara."

"Mengapa?"** Ceyla bersuara lirih. "Siapa yang menghentikan waktu?"

"Kami sendiri," jawabnya datar. "Seribu tahun silam, ketika Kabut Penelan Waktu (The Devouring Mist) datang menghancurkan peradaban di luar tembok ini. Para Tetua memilih membekukan Eterna dalam satu nafas waktu—mengorbankan kemajuan demi penyelamatan kenangan terpenting umat manusia."

Faye menyentuh ukiran matahari-bulan di meja. "Tapi... tanpa perubahan, tanpa kematian, bukankah itu penyiksaan?"

"Lihatlah keluar," wanita tua itu berdiri

langkahnya ringan menuju jendela. Mereka mengikutinya. Di luar, pepohonan keperakan tetap memancarkan cahaya sama persis seperti saat mereka tadi. Tak ada daun berguguran. Tak ada angin bertiup.

"Lihat lukisan dinding itu," ia menunjuk fresko di dinding bangunan seberang yang menggambarkan pesta panen.

"Sudah 30 generasi saya menjaga ini. Lukisan itu tak pernah pudar. Tapi tak pernah ada tawa baru mengisi alun-alun itu." Suaranya getir.

"Kami menyelamatkan sejarah... dengan membunuh masa depan."

"Lalu mengapa kami bisa masuk?" Seika melangkah maju.

"L-88 mendeteksi anomali temporal. Kami seperti... ditarik ke sini."

Wanita itu menatapnya, mata kabutnya menyoroti armor biru Seika. "Karena engkau membawa Chroniton dalam darahmu, anak muda. Partikel waktu yang langka. Dan mesin kecilmu itu—" ia mengangguk ke L-88 "—adalah kunci yang tidak sengaja membuka Gerbang Antara."

"Chroniton?" Marven menyeringai. "Bualan apa lagi ini?"

"Bukan bualan," bantahnya lembut. Ia mengambil kotak kayu dari rak, membukanya. Di dalamnya, kristal biru pucat sebesar kelereng mengambang di atas bantalan beludru. "Ini sumber energi Eterna. *Chroniton Core*. Ia bereaksi terhadap kehadiranmu." Saat Seika mendekat, kristal itu berdenyut lembut.

"Analisis: Unsur chroniton terdeteksi dalam komposisi biologis Seika pada tingkat 0.03%," L-88 berbunyi mendadak. "Tingkat abnormal. Kemungkinan mutasi genetik langka."

Keheningan menyergap. Seika menatap tangannya sendiri, bingung.

"Dan tradisi..." Orlan bersuara, memecah kebisuan. "Anda bilang kota ini punya tradisi?"

Wanita tua itu menutup kotak kristal, wajahnya tiba-tiba berat.

"Setiap seratus tahun—menurut hitungan waktu normal—Eterna menggelar Ritus Penyeimbangan. Ritual untuk mencegah kebekuan waktu merobek jalinan realitas. Besok... adalah waktunya."

Dia berjalan ke lemari, mengeluarkan selimut-selimut linen tebal dan bantal berisi rumput kering.

"Dan kalian," ia menatap mereka satu per satu,

"memegang peran kunci. Tapi malam ini, kalian harus istirahat. Tidurlah lelap. Besok... segalanya akan berubah."

"Tapi—!" Niko protes.

"Tidak ada 'tapi'," potongnya, suaranya tiba-tiba berwibawa seperti gemuruh guntur jauh. "Energi chroniton dalam diri kalian harus stabil. Tidur di Eterna bukan sekadar istirahat. Ia adalah persiapan untuk menyelami arus waktu yang akan kalian kendalikan besok."

Ia menyalakan dupa beraroma lavender dan chamomile. Asapnya berputar lembut, dan rasa kantuk tiba-tiba menyerang mereka seperti gelombang.

"Tidurlah, Pengembara Waktu," bisiknya saat Ceyla sudah terkulai di bantal. "Besok... kalian akan menjadi tumpuan harapan kota yang terlupakan ini."

Seika berusaha melawan kantuk, matanya tertuju pada kristal chroniton di kotak kayu yang masih memancarkan cahaya biru pucat.

"Apa yang harus kami lakukan dalam ritus itu?" pikirnya berat. Tapi tubuhnya tak bisa lagi melawan. Perlahan, dunia gelap menyergap, dan satu-satunya suara yang tersisa adalah desau asap dupa dan detak jantungnya sendiri— yang terdengar semakin lambat, seperti menyesuaikan irama kota yang terhenti.