Kabut putih tipis telah lenyap sama sekali, meninggalkan Seika dan rombongannya terisolasi di tengah jalanan kota kuno yang asing. Keheningan mencekam menyelimuti, hanya terpecah oleh gema langkah kaki mereka yang memantul di antara dinding-dinding bangunan batu tinggi. Tidak ada tanda kehidupan—tidak ada suara binatang, tiupan angin, atau aktivitas manusia. Hanya aroma lembap lumut tua dan batu dingin yang memenuhi udara.
Ceyla meremas lengan sendiri, mencoba mengusir hawa dingin yang menusuk tulang. "Ini… di mana kita sebenarnya? Tidak ada catatan kota semacam ini dalam peta yang kita miliki."
Drest mendekati salah satu struktur, jemarinya menelusuri ukiran-ukiran aneh pada dinding batu pucat. "Material konstruksinya pun berbeda. Jelas bukan hasil teknologi era kita. Terasa… lebih purba." Batu tersebut terasa lebih berat dan padat dibanding batu biasa, dengan vein keemasan samar memancar saat tersentuh cahaya redup.
Seika menarik napas panjang, mengabaikan pegal di sekujur tubuhnya. "L-88 menyebutkan anomali temporal. Mungkin kita terlempar ke masa silam? Atau dimensi paralel yang menyerupai masa lalu?"
"Analisis lebih lanjut diperlukan," sahut L-88, unit AI-nya memancarkan sinar biru rendah saat melakukan pemindaian lingkungan. "Namun, parameter lingkungan saat ini menunjukkan tingkat keamanan stabil. Tidak ada tanda biologis atau energi berbahaya yang terdeteksi."
"Stabil? Setelah segala kejadian yang kita alami?" Marven mendengus skeptis, namun langkahnya tetap mendekati Seika, posturnya sedikit membungkuk seolah mencari perlindungan.
Faye memandang ke kejauhan, matanya berbinar. "Tapi… ada keindahan di sini. Lihat pohon-pohon di tepi kota itu." Ia menunjuk deretan flora tinggi berdaun keperakan yang memancarkan cahaya pendar alami, menciptakan siluet bercahaya melawan langit kelabu dan bangunan-bangunan megah yang mati. Cahayanya berdenyut lembut, seperti detak jantung yang tertahan.
"Penjelajahan lebih jauh diperlukan," ujar Seika, memimpin rombongan menyusuri jalan utama yang dipenuhi puing halus. "Berdiam diri bukan pilihan." Jalanan diaspal dengan lempengan batu besar, terukir pola geometris kompleks yang memudar dimakan zaman.
Bangunan-bangunan di kiri-kanan bercerita bisu tentang peradaban yang runtuh. Menara-menara runcing menjulang, beberapa patah di puncaknya. Pintu-pintu kayu berukir tebal menggantung di engsel yang karatan, sementara jendela kaca patri yang pecah memperlihatkan kegelapan kosong di dalam. Di beberapa fasad, mosaik kaca berwarna masih bertahan, menggambarkan bintang-bintang dan makhluk bersayap yang tak dikenal.
"Perhatikan ini," Orlan berhenti di depan monumen besar di pusat alun-alun kota. Patung batu itu menggambarkan sosok berjubah dengan tangan terentang, wajahnya terkikis namun masih memancarkan kesan kewibawaan. "Ada inskripsi di alasnya."
Niko membungkuk, menyipitkan mata. "Bahasa yang tidak dikenal. Simbol-simbolnya berliku, seperti aliran air atau akar pohon."
"L-88, terjemahkan," perintah Seika.
"Memproses… Teks teridentifikasi sebagai 'Bahasa Primordial', varian kuno pra-sejarah tercatat. Terjemahan: '*Di bawah tatapan Sang Penjaga Waktu, momen membeku abadi, dan kenangan tidak pernah pudar*'."
"'Momen membeku'? 'Kenangan abadi'?" Drest mengerutkan kening, matanya beralih ke patung lalu ke kota yang terhenti. "Apakah ini korelasi dengan anomali yang kita alami?"
"Potensial," jawab Seika, tangannya menyentuh kaki patung. Dinginnya batu meresap hingga ke tulang. "Pasti ada sumber pengetahuan lebih dalam di tempat ini." Ukiran di alasnya terasa halus, seolah sering disentuh selama berabad-abad.
Mereka melanjutkan, melewati lorong-lorong sempit dan plaza-plaza terbuka yang dipenuhi pilar roboh. Suasana sunyi yang tak wajar semakin terasa. Tiba-tiba, gerbang logam hitam besar berdiri menghadang di ujang jalan utama. Gerbang itu dihiasi permata-bermata kusam tersusun dalam konstelasi asing, dan terasa mengeluarkan getaran energi rendah yang membuat kulit bergidik.
Saat Seika melangkah mendekat, cahaya kuning temaram tiba-tiba berkedip dari jendela sebuah bangunan kecil di samping gerbang.
"Cahaya!" seru Faye, suaranya bergetar halus.
"L-88, analisis sumber!" Seika bersiap, sistem *armor biru*-nya bersumring dengan tenaga rendah.
"Terdeteksi satu tanda kehidupan organik. Tingkat ancaman: minimal. Probabilitas: penghuni lokal." L-88 terdengar tidak biasa, seolah datanya bertentangan dengan logika lingkungan.
"Penghuni? Di kota yang mati ini?" Marven berbisik kasar.
Seika memberi isyarat diam. Dengan langkah hati-hati, ia mendekati bangunan itu. Pintu kayu tua yang dihiasi ukiran matahari dan bulan itu sedikit terbuka. Kehangatan dan aroma herbal—kayu manis, akar presiden, dan roti gandum panggang—menyambut mereka, kontras nyata dengan dinginnya jalanan.
Seika mendorong pintu perlahan. Di dalam, sebuah ruangan kecil tersinari api unggun di perapian batu. Perabotan kayu sederhana berderet rapi. Di meja bundar tengah ruangan, seorang wanita berambut perak yang terikat rapi duduk tenang, menyeruput teh dari cangkir keramik. Wajahnya penuh kerutan seperti peta pengalaman hidup panjang, namun matanya—warna abu-abu seperti kabut pagi—menatap langsung ke Seika begitu mereka masuk. Senyum tipis mengembang di bibirnya yang tipis.
"Ah," suaranya serak namun jernih, mengisi ruangan sunyi. "Kaliansampai juga. Telah lama saya menanti kedatangan kalian."
Rombongan itu terdiam, saling memandang penuh keheranan. Wanita tua itu mengangkat teko keramik. "Silakan duduk. Perjalanan melintasi kelokan waktu pasti melelahkan. Teh dan roti hangat akan memulihkan tenaga." Gesturnya ramah namun penuh otoritas alami.
Dengan ragu, mereka duduk di bangku kayu yang tersedia. Kehangatan api dan aroma makanan sulit ditolak. Seika merasakan keanehan—ketenangan wanita itu tidak wajar di tengah kota mati. Namun, tidak ada alarm dari L-88 atau nalurinya yang berteriak bahaya.
"Nenek… boleh kami tahu siapa Anda?" Seika akhirnya bertanya, matanya meneliti ruangan. Rak-rak penuh botol kaca berisi rempah aneh dan gulungan perkamen tua memenuhi dinding.
"Saya hanyalah penjaga," jawabnya, menuangkan teh berwarna emas ke cangkir-cangkir. "Penjaga kenangan kota ini. Kota yang terperangkap dalam satu nafas waktu." Ia melirik ke arah patung di alun-alun melalui jendela kecil. "Seperti yang terpahat pada Sang Pengawas."
"Anda memahami fenomena temporal ini?" Orlan bersandar ke depan, suaranya penuh harap.
"Memahami?" Wanita tua itu tertawa lembut, suaranya seperti gemerisik daun kering. "Saya *hidup* di dalamnya. Dan kalian… kalian bukanlah korban kebetulan. Kalian adalah yang ditakdirkan untuk memijakkan kaki di Eternal. Mereka yang akan menggerakkan kembali roda waktu yang terhenti."
Perkataannya menggantung di udara hangat. Niko memegang cangkirnya erat. "Jadi… kita tidak bisa pulang?"
"Terperangkap adalah persepsi sempit," jawabnya, menatap Seika dengan intensitas yang membuat gadis itu merasakan dingin yang berbeda. "Ini adalah kesempatan. Kesempatan untuk menyelami masa lalu yang membatu, dan mungkin… membentuk ulang aliran masa depan." Matanya yang abu-abu menyipit, menembus lapisan armor Seika. "Dan engkau, anak muda dengan baju zirah kebiruan itu. Takdirmu jauh lebih dalam dan berliku dari yang engkau sangka."
Seika meneguk, rasa hausnya tiba-tiba lenyap digantikan oleh beban berat. Kehangatan ruangan terasa palsu di tengah kebekuan kota Eternal. Wanita tua itu mengangkat tangannya yang berkeriput, menunjuk ke luar jendela ke arah gerbang logam gelap yang megah.
"Perjalanan panjang telah menanti, para pengembara dari dunia yang berdetak berbeda. Dan di sini, di jantung kota Eterna yang membisu ini, kalian akan menemukan kunci pertama. Kunci untuk membuka rahasia yang terkubur jauh lebih dalam dari lapisan batu kota ini—rahasia yang memicu kebekuan waktu itu sendiri."