Queue to hell

Selamat Datang di Neraka, Silakan Ambil Nomor Antrian

Saat menuju ke bagian dalam ada tangga dan makin ke bawah makin terasa kayak hukuman. Udara berubah—dingin, lembap, dan sedikit sesak. Bahkan suara napas sendiri terdengar seperti pelan-pelan dikebiri oleh atmosfer penuh dendam.

“Aku nggak tahu siapa arsitek tempat ini,” gumam Rexa, “tapi dia pasti makhluk laknat bertulang dua belas.”

Kael di depan tetap diam. Langkahnya pasti, nyaris tak berisik. Seolah dia sudah biasa menyusuri lorong menuju kematian.

“Tempat ini disebut Terkungkung,” ucap Kael tanpa menoleh. “Sisa dari era yang bahkan para dewa enggan akui. Tempat segala yang dibuang... dan dikubur.”

“Luar biasa,” gumam Rexa. “Dibuang ke tempat buangan. Hidupku emang spesialis disia-siakan.”

Langkah mereka akhirnya berhenti di depan sebuah aula raksasa. Dindingnya penuh ukiran mirip makhluk melolong, wajah tanpa mata, dan tangan menengadah seperti minta tolong. Di tengah ruangan, berdiri lingkaran batu yang memancarkan cahaya redup biru kehijauan.

Dan di sana...

Seseorang berdiri.

Atau lebih tepatnya—sesuatu.

Tinggi, kurus, kulitnya pucat keabu-abuan, wajah tertutup topeng batu pecah. Tubuhnya kaku, tapi auranya bikin tengkuk merinding.

Lalu makhluk itu bicara. Dengan suara yang Rexa kenal.

“Datang juga akhirnya, tolol,” katanya dengan suara Rexa sendiri.

Rexa refleks melangkah mundur. “Oke, satu, kau nyolong suaraku. Dua, kau makhluk apa. Tiga, ngentot, ini makin absurd.”

Kael menatap lurus. “Itu cerminanmu. Bayangan yang tertinggal. Gema jiwamu sendiri.”

“Cerminan? Itu versi aku yang habis ngedrug campur trauma masa kecil,” desis Rexa. “Kenapa tampilannya kayak setan abis dibakar?”

Makhluk itu melangkah. Setiap langkahnya meninggalkan bekas hangus di lantai.

“Kau takut padaku?”

“Aku takut dompet kosong, bukan makhluk cosplay gagal sepertimu,” balas Rexa, meski tubuhnya gemetar pelan.

Kael mengangkat suara. “Lawan dia. Dia bagian dari dirimu yang perlu kau kalahkan.”

Rexa menghela napas. “Oke. Dengar, makhluk goblok. Aku sudah cukup muak jadi pecundang. Kalau kau mau berkelahi—ayo. Tapi jangan nyamar jadi aku sambil ngoceh kayak mantan nyindir status.”

Simbol di lantai menyala. Aura magis menggumpal. Bayangan itu mengangkat tangannya, dan ruangan berubah jadi arena.

Serangan pertama datang. Gelombang energi gelap meluncur dari tanah. Rexa terlempar ke belakang, nyaris mencium lantai.

“Ahhh..Brengsek!” umpatnya. “Ini nggak adil! Aku bahkan belum bisa memakai kekuatan aneh ini!”

“Bayangkan bentuk kekuatanmu!” teriak Kael dari sisi arena. “Panggil itu dari dalam dirimu!”

Rexa menggertakkan gigi. “Kekuatan? Sial, aku bahkan belum ngerti cara pakai celana dalam sihir!”

Tapi tubuhnya mulai merespons. Bayangan di bawah kakinya menggeliat. Naik ke lengan. Mengalir.

Lalu membentuk pedang. Tipis, hitam, menyatu dengan tangannya.

Rexa terdiam. “Wah. Ini keren sih. Gelap, nyolot, dan terasa kayak bagian tubuhku. Cocok buat ngebantai penagih hutang.”

Bayangan itu menyerang lagi. Rexa menangkis. Dentuman keras menggema. Gelombang energi menyebar ke seluruh dinding.

Rexa tertawa kecil—lelah tapi puas. “Rasain tuh, keparat. Aku mungkin belum ngerti apa-apa... tapi aku bisa bikin kamu menyesal karena keluar dari liang busukmu!”

Beberapa menit kemudian, Rexa berdiri terengah-engah. Bayangan itu sudah memudar, dan lingkaran sihir perlahan padam.

Kael melangkah mendekat. “Kau berhasil.”

Rexa meludah ke samping. “Belum. Tapi setidaknya aku nggak mati kayak tikus sialan.”

Dia menatap pedang bayangannya sendiri. Masih menyatu dengan tangannya. Masih berdenyut pelan.

Sesuatu di dalam dirinya telah bangun.

Dan meskipun itu gelap... jahat... kacau...

Rexa merasa cocok dengannya.