Rasa Sakit Tak Selalu Butuh Darah
Rexa duduk di lantai batu yang dingin, napasnya berat, peluh mengalir dari pelipis, dan tangan kanannya masih menyatu dengan bayangan. Pedang hitam itu kini seperti tidur—diam, tapi siap mencabik kapan saja.
Kael duduk di seberang, menyandarkan tubuhnya pada batu besar dengan wajah datar khasnya.
“Gimana rasanya?” tanya Kael.
Rexa melirik tangan kirinya. “Kayak abis mimpi buruk, terus bangun... tapi mimpinya masih nyantol di kepala, dan ada yang ngebisikin, ‘Selamat datang di neraka, silahkan pilih senjata’.”
Kael mengangguk pelan. “Itu... lebih baik daripada kebanyakan yang terjadi pada mereka yang pernah menyentuh segel.”
“Jangan bilang yang lain meledak. Serius, jangan.”
Kael mengangkat bahu. “Ada yang meledak, ada yang teriak tiga hari tiga malam sampai suaranya hilang. Ada juga yang kepalanya kebakar dari dalam.”
Rexa melongo. “Persetan. Dan aku cuma dapet upgrade gratis dari kegelapan? Harusnya aku syukuran.”
“Aku rasa... sesuatu dalam dirimu memang berbeda.”
“Ya. Kayak... kutukan berbulu domba,” gerutunya sambil merebahkan diri.
---
Setelah beberapa saat, mereka kembali berjalan menyusuri lorong lain yang terbuka dari balik dinding altar. Kali ini jalannya lebih sempit, tapi udara terasa lebih... stabil. Masih dingin, tapi tidak menusuk. Hanya... menggantung. Seperti ada yang mengawasi dari celah-celah bayangan.
Rexa menyipitkan mata. “Tempat ini makin hari makin terasa kayak rumah sakit jiwa yang dibangun di atas kuburan kuno.”
“Karena mungkin memang begitu,” balas Kael.
“Hebat. Tambah satu lagi tempat yang bisa kumasukkan ke daftar lokasi terkutuk paling menyebalkan sejagat.”
Mereka tiba di sebuah ruangan melingkar yang dindingnya ditutupi simbol kuno. Di tengahnya, berdiri sebuah patung—manusia tanpa wajah, satu tangan menunjuk ke atas, satu lagi menggenggam sesuatu.
Rexa mendekat. “Apa ini? Patung tribute untuk pemujaan makhluk tak dikenal?”
Kael menunduk, membaca tulisan di bawahnya.
“Yang tak memiliki nama, adalah pemegang hak akan dua jalan: hancur... atau melampaui.”
Rexa mendengus. “Filosofi kayak gini biasanya diikuti sama jebakan maut.”
Tiba-tiba simbol di patung menyala. Lingkaran kecil terbentuk di kaki patung, dan dari sana muncul tiga bayangan kecil—makhluk gelap bermata merah, pendek, tapi bergerak seperti binatang lapar.
“Mampus. Muncul lagi mahkluk aneh.”
---
Bayangan-bayangan itu menyerbu. Gerakannya cepat. Tajam.
Rexa langsung melompat ke belakang. “Wah wah wah, kalian ini kenapa, ya? Gatel pengen dicabik? Mari, sini, BANGSAT!”
Salah satu makhluk lompat ke arahnya. Rexa reflek mengayunkan pedangnya. Bayangan hitam itu terbelah jadi dua—menghilang dalam sekejap. Tapi dua lainnya menyebar, menyerang dari dua sisi.
Kael bertarung dengan cepat dan efisien, sihir anginnya membentuk bilah tipis yang menghantam tepat ke mata makhluk pertama.
Sementara Rexa... masih berusaha seimbang.
“Kenapa yang satu ini larinya kayak anjing kecanduan?” teriaknya sambil hampir terjatuh.
Dia mengayun lagi. Pedangnya menabrak dinding, menghasilkan semburan energi kecil. Makhluk terakhir menggigit lengannya.
“AARRRGH! GIGIT GIGITAN APA KAU, ANJING RABIES?!”
Dengan satu gerakan kasar, Rexa membanting makhluk itu ke tanah, lalu menusuknya dengan amarah.
Bayangan itu menghilang. Tapi napas Rexa tersengal.
Kael mendekat. “Kau mulai terbiasa.”
“Terbiasa? Aku baru aja dicakar makhluk bocah dari neraka, dan kamu bilang itu terbiasa? Kael, serius... dunia ini rusak.”
Kael hanya menyeringai tipis.
---
Mereka kembali diam, berjalan keluar dari ruangan patung yang kini padam.
“Kael,” panggil Rexa, masih sedikit terengah.
“Hm?”
“Kalau kekuatan ini bukan milikku dari lahir... dan segel itu mengaktifkannya... maka sebenarnya siapa aku?”
Kael terdiam sejenak. “Mungkin kau adalah orang yang seharusnya tidak pernah ada.”
Rexa mendongak. Tatapannya kosong. Lalu dia tertawa pelan.
“Yah... bagus. Tambahan lagi buat trauma masa depan.”
Di belakang mereka, lorong kembali tertutup.
Dan sesuatu di dalam Rexa... berdenyut lagi.