Heading for disaster

Setengah Langkah Menuju Bencana

Langit di atas lorong keluar akhirnya terlihat—warna ungu tua dengan semburat biru, seolah dunia ini sudah menua tapi belum siap mati. Udara segar tapi tetap menusuk, seperti mengingatkan bahwa mereka masih berada di dalam wilayah terkutuk bernama Lorong Relik.

Rexa menjatuhkan diri ke tanah yang keras dan berlumut.

“Akhirnya keluar juga… Rasanya kayak keluar dari perut iblis yang sembelit selama ribuan tahun,” gerutunya, mengusap wajah yang kotor oleh debu dan darah kering.

Kael berdiri di sampingnya, memeriksa sekeliling. “Tenanglah. Ini baru gerbang luar. Belum sampai markas utama.”

Rexa menatap Kael dengan ekspresi setengah hidup. “Jadi maksudmu semua penyiksaan tadi itu cuma pemanasan? Cuma?”

“Setidaknya kau belum mati.”

“Setidaknya, kau bilang?” Rexa mendesis. “Kael, aku hampir digigit, ditusuk, dan dihina oleh versi emosional-ku sendiri. Itu bukan pemanasan, itu pemakaman yang ditunda.”

Kael hanya menanggapi dengan senyum miring. “Tapi kau bangkit. Dan kau menang.”

---

Mereka melangkah menuju sebuah jembatan batu yang menghubungkan reruntuhan dengan lembah gelap di seberangnya. Di bawah sana, kabut ungu menggulung seperti lautan roh yang kelaparan.

“Aku mulai curiga dunia ini dibangun sama orang yang sangat benci kebahagiaan,” komentar Rexa sambil berjalan hati-hati.

Di tengah jembatan, sesuatu menghentikan mereka.

Suara.

Bukan dari depan. Bukan dari belakang.

Tapi dari bawah.

Rexa menunduk, dan dari kabut tebal, muncul siluet. Tipis, panjang, dan tidak manusiawi.

Makhluk itu muncul perlahan, mendaki sisi jembatan seperti laba-laba raksasa. Tubuhnya kurus, berkulit perak retak, dan mulutnya seperti sobekan panjang di wajahnya yang tak berbentuk.

“Hah… bajingan, satu lagi?” Rexa bersiap menarik pedangnya.

Kael melangkah maju, tangan sudah bersinar hijau pucat.

Namun makhluk itu… tertawa.

“Bayangan telah bangkit. Dunia merespons... dan penguasa akan melihat…”

Lalu—makhluk itu meledak menjadi kabut kehitaman.

Rexa melongo. “Oke, itu disturbing. Dan dramatis. Dan disturbing lagi.”

Kael tampak lebih serius dari biasanya. “Mereka sudah tahu.”

“Siapa mereka?”

Kael menatap Rexa dengan tatapan berat. “Yang di atas. Yang mengatur semuanya. Mereka yang memegang keseimbangan.”

“Wah, wah, wah… ini bukan cuma tentang kekuatan konyol ya?” Rexa menegakkan tubuh. “Ini tentang konspirasi besar skala dunia, ya? Bagus. Tambahin alien sekalian, biar lengkap.”

---

Mereka sampai di ujung jembatan, dan di hadapan mereka tampak bayangan menara hitam raksasa, berdiri di tengah lembah seperti tusuk gigi neraka yang menusuk langit.

Kael menunjuk ke arah bangunan itu.

“Di sana... kita akan bertemu Raelion.”

“Raelion? Siapa lagi itu? Juru takdir? Master iblis? Mantanmu?”

“Dia yang mengamati semua jiwa yang ‘tidak seharusnya ada’.”

Rexa menegang. “Aku masuk dalam daftar itu, ya?”

“Lebih parah,” ucap Kael. “Kau mungkin... satu-satunya yang bisa merusak urutan yang sudah ditetapkan.”

Rexa tertawa pendek. “Tentu. Kenapa tidak? Aku—Rexa, manusia biasa yang suka tidur dan makan roti basi—sekarang jadi ancaman eksistensial. Dunia ini betul-betul suka guyon.”

Namun meski dia mencoba bersikap santai, langkah Rexa terasa berat. Dalam dirinya, sesuatu terus berbisik. Seperti kekuatan yang belum puas, seperti bayangan yang lapar akan lebih.

Dan di depan sana, menara hitam menjulang. Menunggu mereka.

---

“Ketika dunia menolakmu, kau hanya punya dua pilihan: menyerah… atau gigit balik.”

— Catatan pinggiran Rexa, yang ditulis di atas batu karena nggak ada kertas