Why should I?

Nama yang tertulis dalam takdir

Menara itu berdiri diam seperti kutukan yang tidak pernah tidur. Tingginya menjulang, hitam kelam, seolah menantang langit untuk menggugatnya. Tidak ada suara burung, tidak ada hembusan angin. Hanya keheningan... dan tekanan aneh yang menusuk ke dalam dada.

Rexa mendongak menatapnya.

“Tempat ini... rasanya kayak dikutuk oleh arsitek yang dendam sama dunia,” gumamnya.

Kael hanya menjawab singkat, “Karena memang begitu.”

Rexa menatapnya. “Bro, jangan mulai lagi. Setiap kali kau ngomong kayak gitu, pasti ada hal tolol yang bakal nyambut kita.”

Dan benar saja.

Saat mereka melangkah ke pintu masuk, sebuah suara menggema dari dalam menara—berlapis, berat, dan seolah berasal dari ruang antara mimpi buruk dan kenyataan.

“Rexa Setrya… yang membawa celah, yang mencuri tempat dalam lembaran takdir…”

Pintu menara terbuka sendiri. Batu-batu yang membentuk gerbang bergeser dengan suara parau, dan di baliknya—gelap total, seperti menatap ke dalam kerongkongan naga mati.

“Wah, dipanggil langsung. Ini kehormatan atau ancaman pembunuhan ya?” Rexa menoleh ke Kael.

“Masuk,” ucap Kael. “Dan jangan bicara macam-macam. Raelion... tidak suka main-main.”

Langkah pertama ke dalam menara itu seperti menjejak mimpi buruk. Setiap lantai tampak lebih luas dari yang seharusnya. Langit-langit tak terlihat, dan dinding-dindingnya berubah bentuk perlahan. Seolah ruangan itu hidup.

Sosok itu menunggu di tengah—berjubah panjang berwarna abu-abu kelam, wajahnya tersembunyi di balik topeng berbentuk jam pasir.

Dialah Raelion.

Tanpa gerakan, tanpa sapaan. Hanya menatap Rexa. Atau... mungkin menembusnya.

“Aku tahu kenapa kau ke sini,” katanya. Suaranya seperti bisikan ribuan orang yang tumpang tindih.

Rexa menyilangkan tangan. “Kalau kau tahu, kasih tahu aku juga, karena aku sendiri masih bingung ini semua buat apa.”

Raelion tak tertawa, tak bicara. Dia hanya mengangkat satu tangan.

Tiba-tiba... tubuh Rexa terangkat ke udara. Bayangan dari dalam dirinya terseret keluar, seperti benang dari luka lama. Pedang hitamnya bergetar.

“Bajingan! Kau mau cabut jiwaku, hah?!”

Raelion bicara lagi, “Kau bukan bagian dari sistem ini. Keberadaanmu adalah anomali yang tidak kami rencanakan.”

Rexa tertawa getir, menggeliat di udara. “Wah, baru kali ini ada yang bilang aku terlalu ‘tidak normal’ buat dunia! Terima kasih, menyentuh sekali!”

Raelion menurunkan tangannya. Rexa jatuh ke lantai, mengerang.

“Namun... anomali sepertimu... telah ada sebelumnya,” lanjut Raelion. “Dan setiap kali muncul... bencana mengikuti.”

Rexa bangkit perlahan, memegangi dadanya. “Jadi... kau mau ngebunuhku sebelum aku jadi masalah, ya?”

“Jika itu perlu. Tapi... aku ingin melihat.”

“Melihat apa?”

“Apakah kau akan jadi perusak... atau pemecah rantai.”

Tiba-tiba, di dinding menara, muncul simbol—berputar, menyala. Nama-nama mulai muncul satu per satu, dalam bahasa kuno yang Rexa tak mengerti. Sampai satu di antaranya bercahaya merah darah.

REXA SETRYA

Rexa melongo. “Oke. Aku resmi terdaftar di neraka sekarang, ya?”

Raelion menjentikkan jari. Dan simbol itu membekas—masuk ke dalam dada Rexa, tanpa luka, tapi terasa panas seperti luka bakar spiritual.

“Kau... telah terikat.”

Kael menatap Rexa penuh kekhawatiran. “Kita harus pergi.”

Raelion berkata lagi, “Satu langkah telah kau ambil. Sisanya... akan membakar segalanya.”

Rexa berdiri dengan napas berat. “Ya... mungkin. Tapi kalau dunia ini emang menuliskan aku sebagai kesalahan... maka biar kutulis ulang pakai darah.”

Saat mereka keluar dari menara, langit sudah berubah. Angin kencang bertiup. Dan dari kejauhan... lonceng terdengar berdentang.

Pertanda bahwa sesuatu... telah dimulai.

“Kadang kau tidak memilih takdir. Tapi kau bisa memilih untuk menamparnya balik dengan keras.”

Rexa, setelah didaftarkan paksa dalam sistem langit