Perpustakaan Terbenam
Tangga spiral dari batu tua itu meliuk ke bawah, seolah mengajak mereka menelusuri isi perut bumi yang telah lama lupa akan cahaya. Udara makin dingin, tiap langkah menimbulkan gema yang terdengar... terlalu hidup.
Rexa menatap kegelapan di bawah. “Oke, serius. Siapa pun yang membangun ini pasti punya hobi ngeri-ngeri sedap.”
Brugo di belakangnya bersiul. “Ah, suasana seperti ini sangat pas untuk puisi atau... pembantaian mendadak.”
Kael mengaktifkan kristal cahaya kecil yang melayang di atas telapak tangannya. Sinar putih pucat menerangi dinding yang dipenuhi ukiran simbol kuno, sebagian mirip seperti simbol spiral di dada Rexa—hanya saja lebih... rusak.
Setiap langkah menurunkan suhu. Dan tekanan. Seakan dunia ingin menekan mereka keluar.
“Kalau ini perpustakaan, kenapa rasanya kayak masuk ruang penyiksaan?” Rexa menggumam, menggenggam gagang pedangnya lebih erat.
Setelah beberapa menit menuruni lorong spiral, mereka sampai di sebuah ruangan besar.
Langit-langit menjulang tinggi, menopang ribuan rak batu yang menjulur hingga bayangan. Tapi yang tersisa bukan lagi buku—hanya pecahan, kertas lapuk, dan tumpukan abu. Di tengah ruangan, ada satu lingkaran sihir kuno yang masih menyala samar.
Kael mendekat, wajahnya serius. “Lingkaran ini... pengunci. Mungkin menyegel ingatan tertentu.”
“Ingatan? Gimana cara nyegelin ingatan?” tanya Rexa.
“Dulu, para penyihir tingkat tinggi bisa mengikat pengetahuan ke ruang tertentu. Hanya bisa diakses oleh mereka yang memiliki resonansi.”
Brugo menempelkan telinganya ke lingkaran. “Hmmm... aku tidak mendengar apa-apa. Tapi mungkin aku terlalu jenius untuk sinyal lemah begini.”
Rexa, iseng, menyentuhkan jarinya ke lingkaran. Seketika, simbol spiral di dadanya menyala terang.
SRAAKK!
Lingkaran bercahaya. Udara bergetar. Rak-rak buku yang rusak bergemuruh pelan. Dan... ruangan berubah.
Tidak secara fisik. Tapi dalam pikiran Rexa.
Ia berdiri di dunia hitam putih. Bentuknya seperti cermin retak dari dunia nyata. Tapi semuanya kabur. Tidak ada warna, tidak ada suara. Hanya satu sosok di tengah lingkaran bayangan: seorang anak lelaki, tubuhnya dibalut jubah hitam kelam, matanya spiral berputar.
Rexa mencoba melangkah, tapi tubuhnya tak bergerak.
Anak itu menatapnya... atau lebih tepatnya—menembusnya.
“Kau... datang terlalu cepat,” ucap anak itu.
“Atau mungkin... kau datang tepat waktu untuk dihancurkan.”
Kilatan cahaya memecah bayangan. Gema tawa menggema—tawa mirip miliknya sendiri, tapi lebih dingin. Lebih tajam.
Rexa tersentak kembali ke dunia nyata. Nafasnya memburu. Peluh dingin membasahi pelipisnya.
Kael menatapnya serius. “Kau melihat sesuatu?”
Rexa mengangguk. “Anak... atau entitas... matanya spiral. Dia tahu aku. Dia... kayak bagian dariku.”
Brugo duduk bersila. “Well, kalau dia anakmu dari masa depan, aku akan tertawa sekeras mungkin. Tapi kemungkinan besar... dia adalah potongan jiwamu yang ‘tertinggal’ di tempat lain.”
Kael menimpali. “Mungkin... salah satu pecahan dari kekuatan anomali-mu. Sebagian lain dari ‘dirimu’ yang tidak berada dalam tubuh ini.”
Rexa terdiam.
“Berarti... aku bukan cuma eksperimen gagal... aku juga... pecahan?”
Kael menjawab pelan. “Mungkin... anomali itu bukan dibuat. Tapi dilahirkan... tersebar... dan mencoba berkumpul kembali.”
Mereka memeriksa sisa ruangan. Brugo menemukan sebuah gulungan yang setengah terbakar, dengan potongan simbol yang mirip dengan lambang 10 penguasa—terbakar sebagian, tapi bisa dikenali.
Kael memicingkan mata. “Ini... terlalu dini. Kita belum seharusnya menemukan ini.”
Rexa melipat lengan. “Tapi kita udah kadung nemu. Dunia ini ngasih bocoran skrip terlalu cepat.”
Brugo berdiri, dengan wajah serius untuk pertama kalinya.
“Kalau simbol itu benar... maka tak lama lagi, satu dari ‘mereka’ akan bergerak.”
Rexa menatap ke kegelapan yang menanti di balik rak-rak usang.
“Aku cuma pengen bebas. Tapi ternyata jalan ke sana... dilapisi darah, tawa sinis, dan misteri bangsat yang gak pernah selesai.”