Kamar Arsitek Jiwa
Bangunan tua itu berdiri di tengah Ravelle, setengah runtuh tapi masih memancarkan aura yang tak bisa dijelaskan. Tidak ada pintu. Hanya celah sempit di antara dua batu raksasa—seolah tempat itu hanya bisa dibuka oleh mereka yang tidak seharusnya ada.
Rexa menyentuh dindingnya. Spiral di dadanya berdenyut. Batu retak, celah membuka perlahan, memperlihatkan ruang dalam yang tertutup lapisan kristal bening.
“Ini... bukan bangunan biasa,” ucap Kael, matanya menyipit. “Ini laboratorium. Atau lebih tepatnya, tempat di mana ‘mereka’ menulis ulang konsep hidup.”
Rexa mengangkat alis. “Tulis ulang? Kita ini buku apa, bisa di-edit seenaknya?”
“Kalau dunia ini skrip... maka tempat ini adalah ruang editornya,” jawab Kael.
Brugo menyalakan obor yang menyemburkan api ungu—jangan tanya dari mana dia dapat. “Welcome... to the workshop of madness.”
Di dalam, tidak ada meja. Tidak ada peralatan eksperimen. Hanya ruangan bundar, dinding-dindingnya dipenuhi ukiran berbentuk tubuh manusia yang terbelah... dengan pusaran di tengah dada.
Di lantai, ada lingkaran sihir berlapis tujuh, masing-masing diukir dengan simbol berbeda. Yang tengah... identik dengan segel Rexa.
Rexa melangkah mendekat. Begitu dia berdiri di tengah lingkaran, semua simbol menyala.
GEMA terdengar.
“Subjek R—eksperimen ke-8. Resonansi 73%. Pecahan keempat tidak terikat. Status: Tidak Stabil. Akses Darurat Disetujui.”
Kael membeku. “Mereka menyimpan data eksperimen ini di dalam ruang sihir? Ini bukan eksperimen biasa. Ini... kontruksi ulang eksistensi!”
“Aku... eksperimen ke delapan?” bisik Rexa. “Berarti ada yang lain... sebelum aku?”
Brugo diam. Wajahnya lebih serius dari biasanya.
“Kalau subjek ke-8 masih hidup... yang lain mungkin sudah hancur. Atau... jadi bagian dari sistem.”
Tiba-tiba, dari dinding, proyeksi cahaya muncul. Bukan orang. Lebih seperti sosok kabur, memakai jubah penuh spiral, wajahnya seperti dilapisi cermin retak.
“Jika kau mendengar ini... maka berarti salah satu dari kami gagal.”
“Pecahanmu terlalu sadar... terlalu bebas.”
“Dan jika kau terus berjalan... maka batas dunia akan retak.”
Rexa mengepal tangannya. “Jadi mereka gak nyari solusi... mereka cuma nyari cara buat kontrol.”
Kael angguk pelan. “Dan saat kontrol gagal, mereka buat sistem penghapus.”
Brugo mendekat ke ukiran dinding dan menepuknya. “Hei, teman spiral... siapapun kau, aku gak tahu siapa elu... tapi aku janji satu hal. Rexa bakal bikin sistem kalian jebol. Dan aku... ikut nendang dari samping.”
Rexa terkekeh.
“Kalau ini ruang edit dunia... saatnya kita coret bab lama dan nulis cerita baru. Tapi kali ini... ceritanya aku yang punya.”
Simbol di lantai pelan-pelan memudar, tapi satu ukiran bersinar.
Kael membacanya dengan suara pelan.
“Untuk menemukan pecahan berikutnya... ikuti ‘Nyanyian Tanpa Suara’ di Kuil Serakan.”
Rexa menghela napas panjang. “Nyanyian tanpa suara? Bisa gak... satu petunjuk aja gak kayak teka-teki sok misterius?”
Brugo tertawa, “Kalau petunjuknya gampang, nanti ceritanya gak seru, dong.”
“Mereka menciptakanku dari keheningan dan keraguan. Tapi aku bakal menjawab menggunakan suara dan pilihan.”
— Rexa, keluar dari Kamar Arsitek Jiwa