Langit pagi di Desa Renveil selalu terlihat damai. Kabut tipis menyelimuti ladang-ladang hijau, dan suara burung kecil menjadi alarm alami setiap harinya.
Aku duduk di depan rumah kayu milik Nenek Lyssa, menikmati semangkuk bubur hangat yang sedikit terlalu asin. Tapi entah kenapa, rasanya jauh lebih lezat dari semua makanan instan di duniaku dulu.
"Apa hari ini kau akan bantu ke kebun, Tatsumi?" tanya Lyssa sambil membawa keranjang herbal.
Aku mengangguk sambil tersenyum.
"Kalau aku tidak bantu, siapa lagi yang akan membawa akar-akar berat itu?"
Nenek Lyssa tertawa pelan. "Sudah seperti cucuku sendiri."
---
Hari-hari seperti ini, sederhana dan tenang, membuatku lupa bahwa aku pernah hidup di dunia yang keras.
Tapi tentu saja… hidup tidak akan selamanya damai.
Beberapa warga desa mulai datang lebih sering, membawa luka kecil, sakit kepala, bahkan penyakit lama. Mereka memanggilku "penyembuh muda", meski aku tidak pernah belajar apapun tentang sihir penyembuhan.
Yang ku tahu… cukup menyentuh dan berniat menyembuhkan, maka cahaya hijau itu keluar dari tanganku.
Mereka kagum.
Aku bingung.
Dan kadang, aku merasa… diawasi.
---
Suatu sore, aku sedang menanam bibit bersama dua anak kecil, Milia dan Fen.
"Tatsumi-nii, benarkah kau bisa menyembuhkan hanya dengan menyentuh?"
Milia menatapku dengan mata bulatnya, penuh rasa ingin tahu.
Aku tertawa kecil. "Entahlah. Mungkin aku hanya beruntung waktu itu."
Fen tiba-tiba berlari.
"Ada yang datang! Orang asing!"
Aku menoleh. Seorang pria tua dengan pakaian kelabu masuk ke desa dengan kuda. Di dadanya tergantung kalung berbentuk lambang gereja.
> Gereja…?
---
Pria itu memperkenalkan dirinya sebagai Pendeta Darven, utusan dari Gereja Penyembuh Pusat.
"Saya hanya lewat," katanya sambil menatapku dengan mata tajam.
"Tapi saya mendengar… ada seorang pemuda di desa terpencil ini yang mampu menyembuhkan tanpa mantra?"
Warga desa mulai berbisik. Aku tetap diam.
Nenek Lyssa berdiri di depanku, melindungi seolah aku anak kecil.
"Kau tahu, Nak," kata Pendeta Darven pelan, "banyak orang di luar sana... mencari penyembuh seperti kau. Tapi tak semua berniat baik."
Lalu dia pergi. Begitu saja.
---
Malam itu, aku duduk sendiri di bawah pohon.
Bayangan dari dunia lama kembali datang. Dunia yang penuh tekanan, di mana kerja keras bukan jaminan untuk hidup layak.
Dan kini… di dunia baru ini, aku mulai merasa takut.
> "Apa aku akan kehilangan kedamaian ini juga…?"
Namun angin malam berhembus lembut. Dan suara tertawa anak-anak desa masih terdengar dari kejauhan.
Aku menutup mata.
Tidak. Aku belum menyerah.
Aku akan tetap hidup di sini. Membantu mereka. Menyembuhkan. Tapi... tidak menjadi pahlawan.
Aku hanya ingin menjadi bagian kecil dari desa ini.
---
Tapi jauh di kejauhan...
Burung hitam kembali terbang, menuju utara.
Ke arah ibu kota kerajaan.
Dan tak ada yang tahu bahwa namaku…
sudah masuk ke catatan para bangsawan.
---