📙 Bab 8 – Bagian 4: Luka Yang Tak Bisa Disembuhkan
(癒し手: Tatsumi si Healer – Season 1)
💔 Nuansa: kehancuran batin, rasa bersalah, dan ketegangan psikis ekstrem
---
Malam telah tiba.
Langit kota Aurielle tampak damai. Tapi di dalam gua reruntuhan, hanya ada diam dan bau darah.
Kami bertiga duduk diam. Luka fisik telah kusatukan dengan sihir penyembuh.
Tapi luka di hati… masih menganga.
Kara menunduk. Leo hanya diam memandangi tanah.
Seraphina masih belum membuka matanya sejak tadi.
Suhu tubuhnya turun. Napasnya pendek.
> Dan sihirku… tak bisa menyentuhnya.
---
Aku mencoba menyembuhkan lagi.
Tanganku bersinar tapi tak ada perubahan.
Bahkan denyut sihirku hanya terpental seolah ditolak oleh tubuhnya sendiri.
> "Kenapa…?" bisikku.
"Kenapa aku tak bisa menyelamatkanmu?"
---
Leo melempar batu ke dinding gua.
"Karena kau terlalu sibuk mencoba menyembuhkan semuanya, tapi lupa pada yang paling penting."
Kara melirik pelan.
"Kalau kau menyembuhkan tubuh, tapi membiarkan jiwanya hancur… apa kau bisa menyebut dirimu penyembuh?"
---
Aku tidak menjawab.
Mataku berkaca-kaca.
Seraphina…
> Dia telah menanggung semuanya demi kami.
Dia mencoba menstabilkan segel, menyerap energi yang harusnya menghancurkan semua…
Dan sekarang dia… hilang dalam pikirannya sendiri.
---
Tiba-tiba, Seraphina berbisik. Sangat pelan.
> "…Tatsumi…"
Aku mendekat.
Dia menggenggam tanganku erat, dingin, gemetar.
> "Kalau aku tak bangun lagi…
tolong… jangan salahkan dirimu…"
Air mataku menetes.
> "Berhentilah bicara seperti itu…"
"Aku… aku tidak mau kehilangan siapa pun lagi…"
Dia tersenyum… lalu tak sadarkan diri lagi.
---
Aku menjerit.
Tanganku menyala terang.
Cahaya hijau membuncah, menabrak gua, menghancurkan batu-batu di sekeliling.
> Tapi tetap tak ada yang terjadi.
Sihirku gagal.
> "KENAPA!?"
---
Aku berlari keluar gua.
Langkahku tak tentu arah.
Angin malam menusuk kulitku, tapi tak separah rasa hancur di dada.
> "Apa gunanya semua kekuatan ini…"
"…kalau aku tetap tak bisa menyelamatkan orang yang paling dekat denganku?"
---
Di tengah padang ilalang yang sepi, aku berlutut.
Langit di atas kosong, bintang pun enggan muncul.
Aku memukul tanah.
Berulang kali. Hingga tanganku berdarah.
> "Kalau aku benar-benar pewaris cahaya…"
"Kenapa semua orang di sekitarku terluka… karena aku?"
---
Saat itulah, bayangan seorang wanita muncul.
Suara lembut, tak asing, berbicara dari kegelapan:
> "Karena kau belum menyembuhkan luka terbesar, Tatsumi…"
Aku menoleh. Tak ada siapa-siapa.
Hanya gema suara dan udara dingin.
> "Luka yang tak bisa disembuhkan… adalah luka dalam dirimu sendiri."
---
Aku menatap kedua tanganku.
Tangan seorang penyembuh…
Tapi juga tangan yang telah gagal.
Dan di tengah malam sunyi itu, aku sadar:
> "Aku… mulai takut menyentuh orang lain."
"Karena setiap yang kusentuh… selalu berakhir terluka."
---