prolog

---

Angin di Pegunungan Veylan malam itu berhembus dingin, menusuk hingga ke tulang dan membekukan napas siapa pun yang berdiri terlalu lama di luar. Langit kelam menggantung seperti murka dewa, penuh awan hitam dan kilat yang sesekali menyambar gunung, menyulut gema menggetarkan tanah.

Di atas puncak tertinggi, berdiri sebuah bangunan tua yang telah lama dilupakan dunia: Kuil Darah Pertama. Dindingnya terbuat dari batu obsidian yang tak bisa retak, dan gerbangnya dijaga dua patung naga yang sudah ratusan tahun tidak bernapas—namun malam itu, mata mereka menyala merah.

Di dalam kuil, suara tangisan pertama menggema. Tangisan bayi. Tapi itu bukan tangisan biasa. Ia tidak lemah atau merengek. Ia dalam, serak, dan penuh getaran. Tanah di bawah kuil berguncang, lentera-lentera padam satu per satu, dan seekor burung gagak mati seketika di ambang pintu.

Pendeta tertua, seorang lelaki dengan jubah abu-abu panjang, mengangkat bayi itu dengan tangan gemetar. Matanya terbelalak melihat cahaya merah menyala dari bola mata sang bayi—api kecil yang berputar seperti pusaran neraka.

“Dia... bukan anak manusia,” bisiknya dengan suara hampir tak terdengar.

Raja Liang Valdros, yang berdiri tak jauh, hanya menatap anak itu tanpa berkata-kata. Ia tahu. Ia sudah tahu bahkan sebelum anak ini dilahirkan. Dua belas tahun ia mengadakan ritual rahasia, mempersembahkan darah bangsawan, tulang naga, dan roh prajurit yang jatuh dalam perang—semuanya untuk satu tujuan: menciptakan pewaris yang akan membawa dunia bersujud.

Anak ini... adalah hasil dari perjanjian terlarang dengan entitas yang telah lama disegel di alam bawah tanah, Dewa Perang yang Diusir Langit, yang darahnya mengalir kembali ke dunia lewat nadi bocah itu.

“Namanya?” tanya pendeta, masih terpaku.

“Kaelion,” jawab Raja Liang, suaranya datar seperti batu.

“Artinya?”

“Api yang tak bisa padam.”

Sejenak, keheningan menyelimuti kuil. Tapi di kejauhan, ribuan kilometer jauhnya, di tanah-tanah yang bahkan belum mengetahui kelahiran ini, para peramal terbangun dari tidur mereka dengan tubuh berkeringat. Langit mendadak bergemuruh, bintang jatuh satu demi satu, dan seekor naga tua yang bersembunyi di dasar laut membuka mata kuningnya untuk pertama kalinya dalam tiga abad.

Takdir telah berubah malam itu.

Seorang anak telah lahir—bukan sebagai pewaris tahta semata, tetapi sebagai penantang seluruh dunia. Darahnya bukan darah satu bangsa. Di dalam tubuh kecil itu mengalir kekuatan yang mampu membelah benua dan membangkitkan reruntuhan. Ia bukan sekadar manusia. Ia bukan sekadar dewa.

Ia adalah Kaelion.

Dan dunia akan menyesal karena membiarkannya hidup.

---