bab 0001: Mahkota Api

---

Langit barat mulai merah, seakan terbakar oleh matahari yang tenggelam terlalu cepat. Asap mengepul dari lembah, membubung perlahan seperti roh-roh prajurit yang gugur. Bau darah dan logam memenuhi udara, dan tanah di bawah kaki telah lama kehilangan warna hijau—kini hanya merah, pekat, seperti lukisan kemarahan yang dilukis oleh perang.

Dari atas Bukit Daranor, seorang pemuda berdiri tegak, membisu. Angin meniup rambut hitam panjangnya, dan jubah perang hitam-merah yang ia kenakan berkibar liar, seperti sayap iblis yang baru saja bangkit dari kubur.

Namanya Kaelion. Usianya baru tujuh belas tahun, tapi matanya tak menyimpan keremajaan. Yang terlihat di sana hanyalah dingin, tajam, dan dalam—mata seorang raja yang sudah melihat terlalu banyak kematian.

Di belakangnya, pasukan kecil bersenjata berdiri berjajar. Jumlah mereka hanya tiga ribu, sebagian besar masih muda, wajah mereka pucat, tangan gemetar. Di hadapan mereka, di balik lembah yang luas, berkumpul sepuluh ribu prajurit dari Kerajaan Selatan, dipimpin oleh Jenderal Arakhan, tukang jagal dari Padang Garam.

“Pangeran,” suara serak terdengar dari belakangnya. Seorang lelaki tua bertubuh kokoh mendekat, mengenakan zirah perang yang usang tapi masih berkilau. “Izinkan aku memimpin serangan. Biar kami bertarung, sementara kau mundur ke Benteng Teyvan.”

Kaelion tidak berpaling. Ia hanya bertanya, pelan, “Apakah kau takut, Jenderal Ryl?”

Jenderal itu menggertakkan gigi. “Aku takut pada apa yang akan terjadi kalau kau mati. Kau bukan lagi anak biasa, Kaelion. Kau adalah—”

“Satu-satunya harapan dunia ini,” potong Kaelion pelan. “Itu yang mereka katakan. Tapi apa artinya harapan kalau hanya disembunyikan di balik tembok?”

Ia mengangkat tangannya perlahan. Langit seakan merespons. Awan berputar. Angin berhenti sejenak, lalu mulai menderu seperti binatang terluka.

“Lihatlah mereka,” bisik Kaelion. “Sepuluh ribu pasukan yang yakin akan menang. Mereka tertawa. Mereka meremehkan kita. Karena kita lebih sedikit. Karena kita lebih muda. Karena mereka pikir, darah mereka lebih mulia.”

Ia mengepalkan tangan.

Dan tanah bergetar.

“Karena itu, hari ini kita buktikan... bahwa darahku bukan milik manusia biasa.”

Tiba-tiba, tanah di bawah musuh retak. Dari dalam retakan itu, semburan api merah menyala, menghantam barisan depan musuh. Teriakan histeris menggema dari lembah.

Pasukan Kaelion terbelalak.

“Dewa...” bisik salah satu prajurit.

Tapi Kaelion berbalik, menatap pasukannya. Api membara di matanya. Tubuhnya mulai mengeluarkan aura merah menyala—sebuah kekuatan kuno yang tak dimiliki siapa pun di dunia ini.

“Aku bukan dewa,” katanya. “Aku hanya Kaelion. Anak dari Raja Liang. Pewaris takhta. Dan hari ini, kita rebut mahkota itu, dengan darah atau dengan kehormatan.”

Dan ia berlari menuruni bukit, membawa pedang hitam besar di tangan. Tanpa sihir. Tanpa jubah pelindung. Hanya dirinya sendiri.

Pasukannya, yang semula ragu, kini bersorak dan mengikuti. Pertempuran dimulai—dan dunia mencatat hari itu sebagai permulaan legenda.

---

Di sisi lain dunia

Dalam ruang takhta Istana Putih Utara, para raja, bangsawan, dan penyihir duduk mengelilingi peta besar. Di tengah ruangan, sebuah kristal merah menggantung, memperlihatkan apa yang terjadi di lembah barat.

Seorang wanita muda berambut perak berdiri mematung, menatap nyala api yang berkobar di peta tersebut. Tangannya gemetar, tapi bukan karena takut—melainkan karena firasat.

“Dia bangkit,” gumamnya.

Seorang lelaki tua dengan jubah biru menghampiri. “Kaelion.”

“Anak dari darah terlarang,” ucap sang wanita. “Kalau dia tidak dihentikan sekarang, dunia akan berlutut.”

“Apakah kau sanggup membunuhnya, Arysha?”

Wanita itu menghela napas panjang.

“Jika takdir menginginkan begitu… maka ya.”

---

---

Tanah di bawah kaki Kaelion mendesis panas. Setiap langkahnya menimbulkan riak api samar yang berkilat di antara rerumputan yang kini gosong. Pedang hitam di tangannya, warisan dari ayahnya, tak berbentuk seperti pedang biasa—ia lebih menyerupai pecahan bayangan yang dipadatkan, hitam pekat, dan berdenyut seperti jantung yang hidup.

Musuh mulai menyadari. Sorakan mereka memudar digantikan kegaduhan penuh waspada. Ratusan pasang mata memandang satu titik: pemuda dengan mata menyala, yang berjalan sendirian seperti badai hidup.

Dari barisan musuh, Jenderal Arakhan mendorong kudanya maju. Tubuhnya besar, zirahnya mengilap keperakan, dan wajahnya ditandai bekas luka perang yang dalam. Ia mengangkat tombak panjang dengan ujung merah darah, dan berteriak lantang, “Itu bocah yang katanya anak raja!? Kalian takut pada BOC—”

Sebuah ledakan kecil memotong ucapannya. Kaelion tak berkata sepatah pun, hanya mengayunkan pedangnya dari jauh.

Tiba-tiba, tanah tempat Arakhan berdiri pecah seperti kaca dihantam palu raksasa. Kuda jenderal itu terjungkal, dan dia sendiri terlempar beberapa depa ke belakang, darah menyembur dari bibirnya.

“Jangan tunggu mati!” teriak salah satu komandan Selatan. “Bunuh dia sekarang!”

Ratusan prajurit menyerbu sekaligus, membentuk setengah lingkaran. Namun Kaelion hanya menundukkan kepala sebentar—seolah menghormati mereka yang akan mati.

Lalu semuanya bergerak sangat cepat.

Api melingkar dari tanah, melompat di antara tubuh-tubuh mereka, membakar tidak hanya daging, tapi juga jiwa. Kaelion mengayun pedangnya ke kanan, dan tiga puluh tubuh terlempar seketika. Ia melompat ke tengah kerumunan, tidak seperti ksatria, tapi seperti kilatan petir—mengiris, menghantam, menghancurkan.

Dalam lima menit, dua ratus pasukan Selatan tumbang. Tidak satu pun mampu menyentuh ujung jubahnya.

---

Di kejauhan, dari atas bukit

Jenderal Ryl tak bisa berkata-kata. Di sekelilingnya, para prajurit muda yang tadinya gemetar kini bersorak, mata mereka menyala—bukan karena keberanian mendadak, tapi karena melihat dengan mata kepala sendiri bahwa legenda itu nyata.

“Dia… lebih dari Liang,” bisik Ryl.

Seorang pemuda kurus di sebelahnya bertanya, “Apakah kita... menyerang sekarang, Jenderal?”

Ryl menghela napas panjang. Ia mencabut pedangnya.

“Tidak,” katanya, lalu tersenyum getir. “Kita ikut Kaelion.”

Lalu ia mengangkat pedangnya tinggi, berteriak, “UNTUK TAHTA MERAH!”

Ribuan prajurit berteriak bersamaan, seperti gelegar langit. Mereka berlari menuruni bukit, menyusul Kaelion yang sudah membelah barisan musuh seperti pisau panas membelah mentega.

---

Di Lembah Ordan, saat malam turun

Mayat berserakan. Asap melayang tenang seperti kabut kemenangan. Dan Kaelion berdiri di atas batu besar di tengah ladang kematian. Darah menetes dari pedangnya, tapi ia tidak terluka. Tidak satu gores pun.

Pasukannya berlutut di hadapannya. Mereka tak menunggu titah. Mereka tahu, hari ini, dunia telah berubah.

Jenderal Ryl maju pelan, lalu menekukkan lutut.

“Yang Mulia,” katanya dengan suara pelan, “Lembah Ordan milikmu.”

Kaelion menatap langit malam, di mana bintang-bintang mulai bermunculan perlahan. Di matanya, langit pun seperti harus bersujud.

“Belum,” gumamnya.

“Belum apa, Yang Mulia?”

Kaelion menatap jauh ke arah utara, ke Istana Putih, pusat kekuasaan tua yang selama berabad-abad memegang kendali benua.

“Mahkota masih belum kubakar.”

---

Di tempat lain, Istana Putih

Arysha terbangun dari meditasi dengan tubuh menggigil. Di hadapannya, bola kristal merah retak. Tanda bahwa kekuatan besar telah terbangkitkan.

Salah satu sesepuh mendekat dengan wajah muram.

“Dia telah memenangkan lembah itu. Dengan tiga ribu prajurit.”

Arysha menatap nyala lilin yang mulai meredup.

“Kaelion bukan hanya ancaman,” katanya. “Dia adalah awal dari akhir.”

--

---

Malam telah turun sepenuhnya. Di langit, bintang-bintang menatap dari kejauhan, seolah menyaksikan peristiwa yang hanya tercatat dalam kitab-kitab tua—kitab yang bahkan para pendeta pun takut untuk membacanya lantang.

Kaelion duduk di tepi jurang batu, memandang ke arah medan perang yang telah sepi. Hanya suara angin yang melintasi, membawa bau besi dan abu. Seperti nyanyian duka bagi mereka yang telah jatuh—baik kawan maupun lawan.

Di belakangnya, Jenderal Ryl mendekat. Langkahnya berat, bukan karena kelelahan, tapi karena sesuatu yang lebih dalam: kehormatan dan keraguan yang berkelindan dalam dada.

“Mayat sudah dibakar. Bendera Selatan telah diturunkan.” Suaranya pelan. “Apa yang kau inginkan kami lakukan pada tawanan?”

Kaelion tidak menoleh. “Berapa yang selamat?”

“Delapan puluh dua.”

“Berikan mereka dua pilihan. Mengangkat sumpah padaku... atau mati malam ini juga.”

Jenderal Ryl menunduk. Ia ingin bertanya, ingin membantah. Tapi satu pandangan ke arah punggung Kaelion yang menyala samar oleh aura api membuatnya menahan lidah. Ini bukan lagi seorang anak. Ini bukan sekadar pewaris. Ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar dari semua yang pernah dikenal manusia.

“Dan tentang rakyat lembah?”

Kaelion diam beberapa saat. Lalu ia berkata, “Beri mereka tanah. Air. Perlindungan. Tapi pastikan mereka tahu... mereka hidup bukan karena belas kasihan. Tapi karena aku memilih untuk tidak menghancurkan.”

Kata-katanya dingin, namun penuh kendali.

---

Jauh di kedalaman Istana Dewa Tua

Di bawah tanah yang tak pernah disentuh cahaya, sebuah suara terbangun dari tidur panjang. Suara itu bukan berasal dari tenggorokan atau paru-paru, tapi dari dinding batu, dari akar-akar tua yang merayap di lorong bawah dunia.

"Darah itu telah menyala kembali..."

Bayangan-bayangan bergerak, membentuk sosok-sosok besar, matanya menyala dengan cahaya kuning tua. Mereka adalah Para Penjaga Zaman, makhluk yang pernah menyegel Raja Liang puluhan tahun silam—dan kini merasakan kekuatan lebih besar muncul dari generasinya.

"Apakah kita akan membiarkannya bangkit?"

"Jika dia sampai menyatukan Tujuh Kerajaan, dunia akan kembali ke zaman darah."

"Maka kirimkan sang peringatan."

---

Di ruang tidur Kaelion malam itu

Api di tungku nyaris padam. Udara malam dingin, dan dinding batu tidak sepenuhnya menahan angin dari luar.

Kaelion duduk di atas dipan batu. Ia tidak tidur. Ia jarang tidur. Sejak kecil, mimpinya penuh api, darah, dan suara-suara yang memanggil namanya dalam bahasa yang tidak diajarkan siapa pun.

Dan malam itu, suara itu datang lagi.

> Kaelion... Kaelion, anak dari Liang, anak dari neraka... Singgasana yang kaurengkuh akan berduri... Dan yang kau bakar bukan hanya musuhmu... tapi juga dirimu sendiri.

Kaelion membuka matanya perlahan.

Di ujung ruang, berdiri sesosok bayangan berjubah gelap, tanpa wajah, tanpa suara napas. Hanya keberadaan dingin yang menusuk.

“Siapa kau?” bisik Kaelion.

Bayangan itu tidak menjawab. Tapi dari udara di sekitarnya, muncullah sepatah kalimat:

> Tujuh bulan dari sekarang, mahkota akan menuntut nyawa. Pertanyaannya, nyawa siapa?

Lalu bayangan itu lenyap. Dan Kaelion hanya duduk diam, kedua matanya menyala samar dalam gelap.

---

Tiga hari kemudian

Pasukan Kaelion mulai bergerak. Lembah Ordan kini menjadi miliknya, dan dari sanalah Kerajaan Pertama berdiri. Bendera merah-emas dikibarkan di setiap puncak, setiap gerbang, setiap dinding. Dan dunia mulai mendengar kabar:

> Seorang anak berapi membakar sepuluh ribu musuh dengan pasukan seadanya.

Seorang anak mengangkat tahta dari sisa-sisa abu.

Seorang anak... mungkin bukan lagi manusia.

Dan di Istana Putih, para bangsawan mulai gelisah.

Arysha duduk di ruang rahasia, membolak-balik lembaran ramalan tua.

Ia menemukan satu catatan yang membuat darahnya membeku:

> “Saat Kaisar Api bangkit, langit akan pecah, laut akan mendidih, dan hanya sang bayangan yang mampu memadamkannya.”

Ia menyentuh kalimat itu dengan jari gemetar. Lalu menatap wajahnya di permukaan cermin.

Apakah aku... sang bayangan itu?

---