"PAGIIIIIIII! SARAPAAANNNN!!!"
Teriakan itu meledak, menggema dari dalam sebuah rumah jamur yang berdiri sedikit di tepian desa.
Suaranya lebih mirip gelegar seekor naga kelaparan, cukup kuat untuk membuat beberapa ekor burung pipit yang tengah asyik berkicau kontan semburat panik.
Namun di dalam rumah itu, sang sumber gelegar—seorang pemuda berambut merah—justru masih terlelap dengan damai di tempat tidurnya.
Teriakan dahsyat itu ternyata hanyalah gema dari mimpinya yang sangat berisik.
Ia sama sekali tidak bergeming oleh suaranya sendiri.
Justru sinar mentari pagi yang kurang ajar itulah yang berhasil menunaikan tugasnya. Ia menghantam jendela, menerobos tanpa izin, dan mendarat telak di wajah sang pemuda. Sengatan panas yang tiba-tiba itu memaksa kelopak matanya mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya menyerah dan terbuka dengan berat sebelah.
“Ugh…” desahnya. Ia berpikir sejenak.
Bahkan sang surya di sini punya cara yang ajaib—dan, harus diakui, sedikit menyebalkan—untuk memulai hari.
Saat itulah, hembusan angin pagi masuk melalui jendelanya yang terbuka lebar.
Angin itu membawa sebuah aroma yang sangat ia kenal. Aroma roti pedas manis dari "Hellfire Bakery".
Matanya yang masih mengantuk langsung membelalak.
SARAPAN!
Seketika, seolah ada saklar yang ditekan, seluruh rasa kantuknya lenyap.
Dengan sekali sentak, ia melompat dari tempat tidur.
Bukan ke arah pintu, tentu saja. Pintu terlalu biasa untuknya.
Ia melesat lurus menuju jendela yang terbuka lebar.
GEDUBRAK!
Hariel Achilla, pemuda tujuh belas tahun, mendarat dengan hentakan mantap di tanah.
Gumpalan kecil debu berputar malas di sekitar kakinya.
Rambut merah gelapnya—yang seolah punya nyawa sendiri—mencuat ke segala penjuru. Saksi bisu pertarungan sengitnya dengan bantal beberapa saat lalu.
Dan uniknya, di bawah belaian mentari pagi...
...percikan-percikan api kecil sungguhan tampak menari lincah di ujung beberapa helai rambutnya yang paling bandel.
Senyum terlebar di Inspiriaville merekah di wajah Hariel.
Sepasang mata oranye keemasannya berputar cepat, pupilnya melebar dan menyempit dengan liar.
Tak salah lagi.
Ia sedang memburu sumber aroma masakan lezat yang berhembus terbawa angin pagi.
"OKE! HARI INI AKAN JADI PETUALANGAN YANG LUAR BIASA!" teriaknya lagi, tangannya yang terkepal diacungkan tinggi.
Seketika, udara di sekelilingnya berdesir.
Api sungguhan—bukan sekadar percikan iseng—berkobar hidup di kedua telapak tangannya.
Pertanyaan yang sama kembali muncul di benaknya. Warisan dari siapa? Mengapa aku?
Ia menatap nyala api itu sesaat, lalu menarik napas panjang dan mengembuskannya dengan keras, seolah ikut meniup pergi semua pertanyaan rumit itu dari kepalanya.
Persetan. Sarapan jauh lebih penting.
Pikiran itu saja sudah cukup untuk menjadi bahan bakarnya.
Tanpa jeda sedetik pun lagi, Hariel melesat.
Angin pagi meniup tudung hoodie hitam-merahnya yang compang-camping ke belakang.
Bulu-bulu di tepiannya yang acak-acakan ikut menari liar seiring kecepatannya.
Kedua kakinya seolah tak menyentuh tanah saat ia berlari melewati rumahnya sendiri—sebuah jamur raksasa yang berdiri pongah. Ia berbelok tajam, sol sepatu botnya yang usang berdecit pelan di atas jalan setapak yang meliuk aneh mengikuti alur sungai berkilauan.
Ia melambai cepat ke arah rumah tetangga yang berbentuk punggung kucing malas, lalu melanjutkan larinya melewati menara berbentuk kue ulang tahun yang menjulang nekat ke langit.
Tujuannya hanya satu, sebuah tempat paling sakral di jam-jam seperti ini.
"Hellfire Bakery."
"NEK! ROTI PAGIKUUU!" teriaknya lagi, meluncur berhenti dengan gaya khasnya tepat di depan toko roti yang bangunannya sendiri berbentuk oven batu bata raksasa.
"Berisik, bocah tengil!" Suara Nenek Ivana yang serak namun tegas balas terdengar dari dalam. Nadanya galak seperti biasa, tapi ada jejak geli yang tak bisa disembunyikan di sana. "Jangan kau bakar desa ini sebelum sarapanmu siap, dengar itu?!"
"Siaaap, Nek Jenderal!" balas Hariel, memberi hormat asal-asalan.
Dari sudut matanya, ia melihat Pak Tua Ed, tetua desa yang bijaksana, sudah duduk tenang di kursi goyang kesayangannya. Pak Tua Ed hanya tersenyum maklum, menggelengkan kepalanya pelan menyaksikan tingkah Hariel yang tak pernah berubah.
"Hellfire Cracker-nya mana, Nek? Yang pakai bubuk naga super pedas itu!" seru Hariel tak sabar, mengintip lewat jendela dapur yang terbuka.
Nenek Ivana muncul, menyeringai lebar. "Tentu saja sudah siap! Spesial untuk perut karetmu itu, ekstra bubuk naga!"
"YATTAAA!" seru Hariel girang, mata oranye keemasannya berbinar lebih terang dari api di tangannya tadi.
Tanpa menunggu lebih lama, ia menyambar sebongkah roti "Hellfire Cracker" yang masih mengepulkan uap panas dan langsung melahapnya di bangku kayu sederhana di depan toko.
"WHOAA! INI DIA RASANYA!"
Gigitan pertama langsung meledakkan sensasi pedas membara di mulutnya. Bukan sekadar pedas yang menyiksa. Melainkan jenis pedas aneh yang justru seolah menyalakan mesin petualangan di dalam dirinya, membangkitkan semangat dan energi yang meluap-luap.
Gigitan demi gigitan... Panasnya roti yang meresap... ...entah mengapa, menyeret ingatannya kembali.
Jauh. Ke suatu sore yang cerah bertahun-tahun lalu.
Rasa pedas yang membakar itu bukan hanya menyalakan semangatnya. Itu juga membuka sebuah gerbang ingatan. Gerbang menuju hari di mana mimpinya yang setinggi langit... pertama kali dilahirkan.