Legenda ZERO ONE

Kriiiing... kriiiing...

Suara lonceng kecil yang aneh dan riang memecah ketenangan sore itu.

Hariel kecil, yang waktu itu mungkin baru berusia tujuh atau delapan tahun, sedang sibuk mengunyah remah terakhir "Hellfire Cracker" di tangga depan rumah jamurnya. Ia mendongak penuh rasa ingin tahu, dan matanya yang bulat langsung membelalak takjub.

Sebuah kereta—lebih mirip kotak mainan raksasa berwarna-warni yang ditarik oleh seekor kuda kurus berbulu cokelat—berhenti persis di depannya. Kereta itu dipenuhi ukiran-ukiran misterius yang seolah berputar dan berubah jika dilihat dari sudut yang berbeda.

Seorang wanita eksentrik melangkah turun dengan anggun.

Rambutnya... wow!

Bak gulali pelangi yang baru keluar dari mesin, sarat hiasan manik-manik berkilauan, jepitan berbentuk bintang, dan beberapa helai bulu burung eksotis yang warnanya tidak pernah Hariel lihat seumur hidupnya.

Pakaiannya bahkan lebih ajaib lagi. Seolah merupakan gabungan acak dari jubah penyihir, rompi petualang, dan gaun bangsawan yang entah bagaimana terlihat serasi membalut tubuhnya.

"Halo, bocah manis," sapa wanita itu, suaranya merdu bak alunan musik. Senyumnya lebar dan ramah, tapi sepasang mata hijau zamrudnya berkilat penuh rahasia seru.

Aura petualangan menguar begitu kuat dari dirinya, membuat Hariel kecil seketika lupa pada remah roti yang masih ada di genggamannya.

"Aku Lusi, si pedagang keliling! Mau lihat barang-barang ajaib dari perjalananku?"

Hariel kecil, yang biasanya langsung lari terbirit-birit jika bertemu orang asing, kali ini hanya bisa mengangguk kaku. Ia terpukau bukan main.

Lusi tertawa kecil melihat reaksinya. Dengan gerakan teatrikal, ia membuka beberapa peti kayu besar di atas keretanya.

Isinya... WAH!

Ada batu yang bersinar redup dengan sendirinya, bulu merak yang bisa berubah warna saat disentuh, dan berbagai cairan berkilauan dalam botol-botol kristal kecil berbentuk unik.

"WAAAAAHHHH! KEREEEN SEKALI!" Hariel kecil sampai melongo, mulutnya sedikit terbuka.

Tawa Lusi terdengar lagi, merdu seperti denting lonceng angin. "Ini belum ada apa-apanya, Nak. Dunia di luar sana itu luaaas sekali, penuh dengan hal-hal yang jauh lebih keren dan lebih ajaib dari ini!"

Entah keberanian dari mana datangnya, Hariel kecil memberanikan diri bertanya dengan suara yang hampir berbisik, "Bibi... Bibi tahu soal... ZERO ONE?"

Nama itu sering sekali didengarnya dari cerita-cerita petualangan Kakek sebelum tidur.

Senyum Lusi sedikit memudar. Ekspresinya menjadi lebih serius, tapi matanya justru semakin bersinar penuh teka-teki.

"ZERO ONE... ah, maksudmu legenda harta karun terbesar sepanjang masa itu?"

Hariel mengangguk cepat, matanya berbinar.

Lusi melanjutkan, "Yang katanya bisa mengabulkan semua keinginan bagi siapa pun yang menemukannya?"

"Benar ada, Bibi? Benar ada, kan?" desak Hariel kecil, rasa penasarannya sudah tak tertahankan lagi.

Lusi mendekat, sedikit membungkukkan badannya. Suaranya kini berbisik penuh rahasia, seolah membagikan konspirasi terbesar di dunia. "Siapa yang tahu pasti, Nak? Dunia ini kan tempatnya hal-hal yang mustahil menjadi mungkin!"

Ia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya meresap.

"Ada banyak orang-orang nekat di luar sana," lanjutnya berbisik, "mereka menyebut diri mereka para Zero Chaser. Mereka percaya harta itu benar-benar ada dan rela mempertaruhkan nyawa mereka hanya untuk mencarinya."

"Zero Chaser?" ulang Hariel kecil, kata itu terasa asing namun begitu menggugah di telinganya.

"Orang-orang gila!" Lusi tertawa lepas, suaranya kembali riang. "Gila bertualang, gila mencari kekuatan dan kebenaran... tapi mereka juga adalah orang-orang yang berani punya mimpi sebesar langit! Berani mengejar apa yang paling mereka inginkan, walau harus mempertaruhkan segalanya!"

"Mengejar mimpi...?"

"Tentu saja!" seru Lusi. "Mereka bahkan punya kendaraan impian sendiri untuk membantu mereka! Namanya Sky Ark, kapal terbang yang bisa membawa mereka menjelajah langit!"

Mata Hariel membelalak lebar. "Kapal... bisa terbang?"

"Bukan hanya terbang, tapi menaklukkan angkasa!" Lusi menegakkan tubuhnya, matanya menatap cakrawala seolah melihat sesuatu yang tak bisa dilihat Hariel. "Ada yang bentuknya seperti burung besi raksasa dengan sayap mekanik yang mengepak perkasa. Ada yang mirip istana megah yang melayang anggun di atas awan, lengkap dengan taman gantungnya!"

"Wow..." hanya itu yang bisa keluar dari mulut Hariel.

"Bahkan," tambah Lusi dengan nada konspiratif, "aku pernah melihat satu yang anehnya seperti kura-kura raksasa bersayap yang membawa seluruh perpustakaan di punggungnya! Keren sekali, kan? Di dunia para Chaser, imajinasi saja yang jadi batasnya!"

Mata Hariel kecil berkilat-kilat mendengar semua cerita itu. Kapal terbang, harta karun legendaris, orang-orang gila yang berani bermimpi. Sesuatu di dalam dadanya terasa hangat dan bergejolak. Kepalan tangan mungilnya terkepal begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih.

"AKU MAU JADI KAYAK MEREKA!" serunya tiba-tiba, sebuah ledakan tekad yang mengejutkan dirinya sendiri. "AKU MAU JADI ZERO CHASER! AKU MAU CARI ZERO ONE!"

Lusi tersenyum lagi, kali ini senyumnya berbeda, seperti menyimpan sebuah tantangan tersembunyi. "Oh ya? Kau yakin, bocah pemberani? Perjalanan mereka itu sangat berbahaya, lho. Tidak semua orang cukup kuat dan cukup beruntung untuk selamat."

"Aku tidak takut!" Hariel kecil membusungkan dadanya, mencoba terlihat gagah. "Aku akan jadi... Penakluk Langit!"

Tawa Lusi kembali terdengar renyah, memenuhi udara sore. "Bagus! Semangat seperti itu yang paling penting! Ingat baik-baik ya, bocah petualang... dunia ini jauh, jauh lebih besar dari desamu yang damai ini. Jadi, jangan pernah berhenti berjalan, jangan pernah berhenti merasa penasaran, dan yang paling, paling penting... jangan pernah berhenti bermimpi besar!"

Rasa pedas dari gigitan terakhir roti "Hellfire Cracker" seolah membakar kembali semangat dari sore yang penuh keajaiban itu.

Janji masa kecil yang pernah terucap dengan begitu lantang itu kini terasa begitu nyata dan membara di dalam dadanya.

Dunia ini memang luas. Penuh petualangan yang menunggu untuk dijelajahi.

"Nek," kata Hariel tiba-tiba, suaranya kini lebih serius. Ia menoleh pada Nenek Ivana yang sedang sibuk membersihkan remah-remah roti dari meja di dekatnya.

Nenek Ivana berhenti dari pekerjaannya. Senyum di wajahnya sedikit memudar saat melihat tatapan berbeda di mata Hariel. "Ya, ada apa, Nak?"

"Soal Kakek..." Hariel ragu sejenak, menelan ludah. "Nenek benar-benar tidak tahu dia pergi ke mana?"

Wanita tua itu menghela napas pelan, pandangannya menerawang jauh, seolah menembus dinding kedai menuju kenangan masa lalu.

"Tidak ada yang tahu pasti, Hariel, Sayang. Dia hanya bilang pergi sebentar..." Nenek Ivana terdiam, matanya menyiratkan kesedihan yang dalam. "Tapi 'sebentar'-nya Kakekmu itu bisa berarti berhari-hari, berminggu-minggu, atau bahkan..."

Ia tidak melanjutkan kalimatnya.

"Pergi sebentar ke mana? Untuk apa dia pergi?" kejar Hariel, nada blak-blakannya yang khas kembali muncul, menuntut jawaban yang jelas.

"Mungkin... ada urusan penting yang harus diselesaikikannya," Nenek Ivana menjawab hati-hati, menghindari tatapan tajam Hariel. "Dia... dia selalu menjadi orang yang penuh rahasia. Atau... mungkin dia sedang mencari sesuatu."

"Sesuatu seperti... ZERO ONE?" tebak Hariel langsung.

Mata oranye keemasannya menajam, mengunci pandangan Nenek Ivana, tak memberinya ruang untuk menghindar.

Nenek Ivana terdiam cukup lama, helaan napasnya terdengar berat. Ia memandang Hariel, tatapannya seolah menimbang-nimbang antara melindungi seorang anak atau menghormati keinginan seorang pria.

Akhirnya, ia berkata pelan, nyaris seperti bisikan, "Mungkin saja... Kakekmu itu adalah Zero Chaser paling keras kepala yang pernah Nenek kenal."

Saat itu juga, angin bertiup sedikit lebih kencang dari biasanya.

Angin itu membawa aroma khas dari kejauhan—bau tanah basah setelah hujan semalam, wanginya dedaunan yang membusuk, dan... sesuatu yang lain.

Sesuatu yang terasa seperti panggilan samar, sebuah undangan tak terucapkan.

Aroma Hutan Onivira.

"Nek," kata Hariel lagi.

Kali ini, suaranya mantap. Matanya kini menatap lurus ke arah hutan lebat yang membentang angkuh di batas desa.

Tekadnya terbentuk seketika, sekeras baja yang baru ditempa.

"Aku mau ke Hutan Onivira."