Ujian Pertama Calon Penakluk Langit

"APA KATAMU?!"

Nenek Ivana sampai menjatuhkan lap basah yang sedang dipegangnya. Matanya membelalak ngeri mendengar tekad bulat Hariel.

"Jangan gila, Hariel! Hutan Onivira itu berbahaya! Di sana ada..."

Namun, sebelum Nenek Ivana sempat menyelesaikan rentetan peringatannya, Hariel menoleh padanya.

Bukan dengan tampang bocah keras kepala yang siap membantah seperti biasanya. Kali ini, ia tersenyum—senyum lebar yang begitu percaya diri hingga seolah menyilaukan mata. Senyum yang sama sekali tidak menunjukkan keraguan, apalagi rasa takut.

"Justru karena itu aku harus ke sana, Nek!" potong Hariel. Nadanya ceria, namun ada ketegasan yang tak terbantahkan di sana.

Dia menepuk dadanya dengan bangga. "Anggap saja ini pemanasan! Kalau aku mau jadi Penakluk Langit dan menemukan ZERO ONE, aku harus bisa melewati tantangan pertama ini, kan? Tenang saja, aku pasti kembali! Mungkin bawa oleh-oleh tanduk Raja Hutan sekalian!"

Nenek Ivana terdiam, mulutnya masih sedikit terbuka. Ia melihat binar keyakinan yang tak tergoyahkan di mata oranye keemasan itu. Meski rasa cemas melilit dadanya, ada bagian kecil dari dirinya yang tak bisa menahan percik kekaguman pada semangat membara tersebut.

Ia hanya bisa menghela napas panjang, sebuah helaan napas yang membawa campuran antara pasrah dan doa.

Tanpa menunggu sanggahan lebih lanjut, Hariel sudah berbalik dan melesat kembali ke rumah jamurnya.

Keputusannya tak tergoyahkan.

Gerakannya cepat dan efisien saat ia menyambar ransel bututnya dari sudut kamar. Beberapa bungkus "Hellfire Cracker"—bahan bakar wajibnya—sebotol air minum, dan pisau lipat kesayangannya, semua ia masukkan dalam sekejap mata.

Terakhir, ia menyentuh liontin matahari biru peninggalan Kakek yang setia menggantung di lehernya. Permukaannya terasa dingin, seolah menyimpan kenangan yang dalam. Ia memejamkan mata sejenak, meminta restu dalam diam.

"Oke, Kek," gumamnya pelan sambil mengencangkan tali ransel. "Lihat saja nanti, aku pasti akan lewati ujian ini dengan gemilang!"

Saat dia melangkah keluar lagi, suasana di alun-alun kecil desa terasa berbeda.

Sebagian besar penduduk Inspiriaville, dari anak-anak hingga para tetua, sudah berkumpul. Wajah-wajah mereka menunjukkan campuran antara cemas yang tak bisa disembunyikan dan rasa penasaran yang menggelitik.

Mereka semua tahu kenekatan Hariel, tapi Hutan Onivira bukanlah tempat main-main.

"Apa dia benar-benar akan masuk ke sana?" "Kudengar hutan itu menelan siapa saja yang lancang." "Semoga dewa-dewa hutan melindunginya..."

Bisikan-bisikan itu terhenti ketika Ed Wan, tetua yang dihormati dan dijuluki "Pak Tua Batu", melangkah maju. Lengan kekarnya yang sekeras kayu jati bersedekap di dada. Wajahnya yang dipahat oleh waktu tetap datar, namun tatapan matanya yang tajam mengunci sosok Hariel.

"Jadi, kau benar-benar akan masuk ke sana, Nak?" tanya Ed Wan, suaranya yang dalam dan tenang berhasil memotong keramaian.

"Tentu saja!" sahut Hariel lantang, seringai lebar khasnya terpasang mantap. "Ini ujian pertama! Kalau mau jadi Penakluk Langit, masa hutan di depan rumah sendiri saja tidak bisa aku taklukkan?"

Ed Wan terdiam sesaat, mengamati binar tak tergoyahkan di mata oranye Hariel. Akhirnya, ia mengangguk pelan.

"Semangatmu itu bagus, Hariel. Mengingatkanku pada diriku sendiri di masa muda," katanya. Seulas senyum tipis yang langka terukir di sudut bibirnya.

"Tapi Hutan Onivira bukan lawan yang enteng."

Nasihatnya berlanjut, "Ingat pesanku, kekuatan sejati bukan hanya terletak pada api di tanganmu. Gunakan juga kepalamu." Ed Wan menunjuk pelipisnya sendiri.

Ia lalu menunjuk ke arah dada Hariel.

"...dan yang paling penting, gunakan hatimu. Jangan pernah meremehkan hutan ini."

"Siap, Pak Tua! Aku mengerti!" Hariel mengangguk mantap.

"Bagus," Ed Wan mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari sakunya. "Ini, bawa. Jimat keberuntungan dari hutan ini sendiri. Anggap saja tambahan semangat dari kami semua."

Di dalam bungkusan itu, tergeletak sebuah batu permata berwarna hijau zamrud yang berkilauan indah, terasa hangat saat disentuh.

"WAH! KEREN SEKALI INI! TERIMA KASIH BANYAK, PAK TUA!" seru Hariel, matanya berbinar kegirangan.

Saat itulah, matanya tanpa sengaja menangkap sosok Alina yang berdiri sedikit terpisah di pinggir kerumunan. Gadis itu tampak begitu mungil, jemarinya saling bertaut erat di depan dada, jelas sekali menunjukkan kecemasan yang ia coba sembunyikan.

"Alina!" panggil Hariel, senyumnya sedikit melembut. "Hei, jangan pasang wajah begitu! Doakan saja aku berhasil, ya?"

Alina hanya bisa mengangguk kecil, pipinya bersemu merah.

"Hati-hati, Hariel..." bisiknya begitu lirih, nyaris hilang ditelan angin.

"Pasti!" jawab Hariel dengan senyum lebar yang meyakinkan.

Lalu, tanpa keraguan sedikit pun, dia melambaikan tangan sekali lagi ke arah seluruh penduduk desa. Ia mulai berlari kecil, langkahnya mantap dan penuh semangat, menuju batas tak terlihat yang memisahkan Desa Inspiriaville dengan Hutan Onivira yang misterius.

Begitu ia melangkahkan kakinya melewati batas itu, atmosfer seketika berubah drastis.

Udara menjadi lebih berat, lebih lembap.

Kesunyian yang hampir menekan gendang telinga menggantikan riuh rendah suara desa.

Cahaya matahari yang tadi bersemangat kini harus berjuang keras menembus kanopi pepohonan raksasa, menciptakan pola-pola bayangan aneh yang seolah menari dan mengintai.

"Whoaa... Dulu rasanya tidak seseram ini..." gumam Hariel, matanya bergerak liar, waspada.

Ia ingat pernah bermain petak umpet di sini saat kecil, tapi sekarang hutan ini terasa berbeda. Ini bukan lagi tempat bermain.

Ini adalah medan pertarungan pertamanya.

Kalau rintangan pertama ini saja aku gagal, bagaimana mungkin aku bisa menyebut diriku sebagai Penakluk Langit? pikirnya, menguatkan tekad.

BRUUUMMM!

Getaran hebat tiba-tiba menjalar dari tanah di bawah kakinya, membuatnya sedikit terhuyung. Pohon-pohon raksasa bergoyang keras, dan sekawanan burung hitam legam melesat panik dari dahan-dahan tinggi.

Lalu, dari balik bayangan pohon terbesar, sesosok makhluk raksasa melangkah keluar.

Setiap langkah beratnya membuat bumi kembali bergetar.

Tubuhnya yang masif berwarna hitam legam, sekeras dan sekokoh batu obsidian, dengan otot-otot kekar yang menonjol mengerikan. Dua tanduk raksasa melengkung gagah dari atas kepalanya, sementara cakar-cakar panjang dan tajam di tangannya berkilat mengancam.

Dua mata merah yang membara menatap lurus ke arah Hariel, memancarkan aura permusuhan murni yang dingin.

"GRRRROOOOOAAAAARRRR!"

Auman dahsyat itu meledak, getarannya bukan hanya terasa di tanah, tapi merayap masuk mengguncang rongga dada Hariel.

"ZUGGAAA... MANUSIA KECIL BODOH!" geram makhluk itu, suaranya berat dan serak seperti gempa. "KAU TELAH MELANGGAR BATAS WILAYAH KEKUASAANKU!"

"DAN UNTUK KELANCANGAN ITU... KAU AKAN MEMBAYARNYA DENGAN NYAWAMU!"

Ancaman berat itu menggantung di udara.

Namun, bukannya menciut, mata oranye Hariel justru berkilat lebih terang.

Seringai khasnya mulai terbentuk.

"Heh, jadi benar kau ini penguasa hutan yang legendaris itu!" serunya, suaranya lantang menantang.

Dengan gerakan cepat, kedua tinjunya terkepal.

Seketika, api merah menyala dahsyat, melingkari kepalan tangannya dengan desisan panas.

"Jangan kecewakan aku, Raja Hutan!"

"Ayo bertarung!"