Gorzuga, yang kini benar-benar dibutakan oleh amarah, sama sekali tidak menyadari tebing curam yang menganga di belakang lawannya.
Yang ia lihat hanyalah manusia kurang ajar yang harus segera ia remukkan.
“ZUGGGAAA!!!”
Dengan raungan terakhir yang lebih mirip pekikan frustrasi, ia mengerahkan seluruh sisa kekuatannya. Mendorong tubuh raksasanya dari tanah dengan satu dorongan eksplosif, menerjang lurus ke arah Hariel.
Gada besi raksasanya terangkat tinggi, siap mengakhiri perlawanan bocah api itu untuk selamanya.
Melihat terkaman maut itu datang dengan kecepatan mengerikan, seringai di wajah Hariel justru semakin lebar.
Inilah saatnya! Kesempatanku!
"Sekarang!" teriaknya dalam hati.
Dengan gerakan yang tak terduga, Hariel menekuk kedua lututnya dalam-dalam. Bukan untuk menghindar.
Melainkan untuk melontarkan dirinya tinggi ke udara, melesat naik menyongsong Gorzuga yang sedang melompat lurus ke arahnya.
Selagi tubuhnya melayang di udara, menentang gravitasi untuk sesaat, api merah menyala dahsyat di sekeliling tubuhnya.
Api itu ditarik paksa dari sisa-sisa energi terakhir dalam tubuhnya, mengurasnya hingga ke titik penghabisan, didorong oleh tekad murni yang membara untuk menang.
Udara di sekitarnya terasa mendidih seketika.
Cahaya oranye pekat memancar begitu terang hingga mengubah keremangan hutan menjadi siang sesaat.
Energi panas itu terkumpul dengan cepat, bukan hanya di kedua tangannya, tapi seolah membungkus seluruh tubuhnya yang melesat ke atas.
"Red Flame… RED PHOENIX!!!"
SYUUUUUTTT—BRAAAKKK!!!
Api itu meletus keluar dengan kekuatan yang tak terbayangkan.
Ia tidak lagi berbentuk pukulan atau cambuk.
Melainkan membentuk siluet seekor burung phoenix raksasa yang membara, dengan tubuh Hariel sebagai jantung apinya yang berdenyut panas!
Sayap-sayap api raksasa membentang lebar, anggun namun penuh ancaman, menerangi langit-langit hutan dengan cahaya merah keemasan yang spektakuler.
Dengan pekikan api yang melengking tinggi, sang Phoenix Api menghantam dada bidang Gorzuga yang terbuka lebar di udara dengan kekuatan penuh!
CRAAAAASSSHHHH!!!
Pertemuan dua kekuatan itu menciptakan ledakan api dahsyat.
Gorzuga, yang momentumnya terhenti total di udara, meraung kaget sekaligus kesakitan yang luar biasa.
Ia terlempar keras ke belakang oleh kekuatan serangan sang Phoenix Api.
Tubuh raksasanya yang besar dan berat kini tak berdaya, melayang mundur tak terkendali melewati tepi tebing, sebelum akhirnya menghilang ditelan kegelapan pepohonan jauh di bawah sana.
Beberapa detik kemudian, terdengar suara debuman keras yang menggema dari dasar jurang.
Diikuti oleh keheningan yang pekat.
Daya dorong dari ledakan itu juga tak ayal melemparkan tubuh Hariel kembali dengan keras ke arah permukaan tebing.
Ia menghantam tanah dengan bunyi gedebuk yang menyakitkan, berguling beberapa kali hingga akhirnya berhenti dengan punggung menghantam batu. Asap tipis mengepul dari jaketnya yang kini semakin compang-camping.
"Hosh… hosh… hosh…"
Napasnya tersengal hebat. Pandangannya sedikit kabur, titik-titik hitam menari di pelupuk matanya. Seluruh tubuhnya bergetar hebat karena kelelahan ekstrem.
Tapi, saat dia perlahan mengangkat kepalanya yang terasa berat, menatap ke arah jurang tempat Gorzuga menghilang, sebuah senyum lebar—meski gemetar—terukir dengan susah payah di wajahnya yang kotor.
"Ber… hasil…!" pekiknya pelan, sebuah bisikan yang dipenuhi kelegaan dan rasa kemenangan yang meluap.
Akhirnya, tubuhnya benar-benar menyerah pada kelelahan total. Ia ambruk terduduk di tepi tebing yang retak.
Ujian pertama... selesai!
Namun, Hariel mengernyit. Sesuatu terasa mengganjal.
Apakah itu benar-benar akhir dari Raja Hutan? Jatuh begitu saja?
Rasanya ada suara dahan-dahan besar yang patah berderak sebelum debuman terakhir itu terdengar... Mungkinkah? Makhluk sekuat Gorzuga... rasanya terlalu mudah jika hanya berakhir karena jatuh.
Keraguannya terjawab.
Terdengar suara gemeretak dahan patah dari bawah. Diikuti geraman kesakitan yang tertahan.
BRAK! GRRR... KRUK!
Hariel sontak menoleh, matanya membelalak tak percaya. Dengan susah payah yang luar biasa, mencengkeram setiap tonjolan batu dengan cakarnya yang kini tampak terluka, sosok raksasa Gorzuga merangkak naik kembali ke atas tebing.
Tubuhnya dipenuhi luka bakar, salah satu tanduk kebanggaannya retak parah hingga nyaris patah.
"HAH?! KAU... TIDAK JATUH?!" pekik Hariel, campuran antara kaget dan sejumput kekaguman.
Gorzuga akhirnya berhasil menyeret seluruh tubuhnya ke atas permukaan tebing. Dia mengangkat kepalanya dengan susah payah.
Api amarah di mata merahnya kini telah padam, digantikan oleh kelelahan yang sangat dalam dan... sebersit rasa hormat.
"Zuggaa..." Gorzuga memulai, suaranya serak dan parau. "...manusia kecil... ternyata... kuat juga..."
Sebuah seringai tipis, yang lebih mirip ringisan menahan sakit, muncul di moncongnya.
"Aku... Gorzuga... Sang Raja Hutan Onivira... mengaku kalah..."
Dengan susah payah, dia mencengkeram tanduknya yang sudah retak parah. Dengan satu tarikan kuat yang jelas menyakitkan, diiringi ringisan tertahan, dia mematahkan sisa tanduk itu dari kepalanya.
Darah hitam kental mengalir dari pangkal tanduknya.
Lalu, dengan sisa tenaganya, ia melemparkan potongan tanduk yang besar dan berat itu ke arah kaki Hariel.
"Ambil... ini..." kata Gorzuga, terengah-engah. "Tanda... kau telah menaklukkanku... Aku... takkan pernah lagi... mengganggu... desamu..."
Hariel menangkap tanduk bergerigi itu. Permukaannya kasar dan berat, namun ada energi hangat samar yang mengalir darinya.
"WAH! SERIUS?! Ini buatku?! Keren banget!" serunya, rasa lelahnya sedikit terabaikan oleh rasa girang. "Eh... ternyata kau baik juga ya, Gorila Tua!"
Gorzuga hanya mendengus pelan, terlalu lelah untuk marah. Ia lalu perlahan bangkit berdiri, tubuhnya masih bergoyang karena luka dan kelelahan. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia berbalik badan, siap untuk kembali ke kedalaman hutan.
"Tunggu!" seru Hariel.
Ia cepat-cepat merogoh kantongnya, menggenggam jimat batu hijau pemberian Pak Tua Ed. Tanpa ragu, ia melemparkannya ke arah Gorzuga.
"Ini, ambillah! Anggap saja tanda terima kasih... atau bayaran karena kau akan melindungi desa selagi aku pergi!"
Gorzuga menangkap batu permata kecil itu. Ia menatap benda berkilauan itu sejenak, mungkin merasakan kehangatan aneh yang sama.
"Aku akan pergi mencari ZERO ONE dan Kakekku!" teriak Hariel lagi dengan semangat baru. "Jadi, aku benar-benar mengandalkanmu untuk melindungi Inspiriaville selagi aku tidak ada, ya!"
Kali ini, Gorzuga berhenti sedikit lebih lama. Ia tidak menoleh, tetapi ia mengangkat salah satu tangannya yang penuh luka itu tinggi ke udara—sebuah gestur pengakuan.
Sebelum akhirnya, ia benar-benar menghilang ditelan keremangan hutan lebat untuk memulihkan diri.
Hariel memandangi tanduk Gorzuga yang kokoh di tangannya, lalu menatap ke arah hutan.
Seringai lebar khasnya kembali terukir di wajah.
"Hehe... Ujian pertama..."
"LULUS!"