Malam itu, apartemen Seojin terasa terlalu sunyi, seolah udara di dalamnya menahan napas, menanti sesuatu yang tak akan pernah kembali. Ruangan kecil itu, dengan dinding polos dan lampu temaram, seperti menyimpan rahasia yang terlalu berat untuk diucapkan.
Ara Kim, 26 tahun, editor naskah di sebuah penerbit kecil, duduk di tepi ranjang dengan tubuh hanya terbungkus selimut tipis. Rambutnya lembap oleh keringat, matanya sayu, dan napasnya belum stabil. Tapi yang paling terasa bukan sisa gairah... melainkan kekosongan. Kekosongan yang akrab, seperti bayangan yang selalu mengintai sejak lama, seolah ia tahu malam ini akan tiba, membawa akhir yang tak terhindarkan.
Di seberangnya, berdiri Seo Jinwoo—28 tahun, pria yang dulu dikenal sebagai penulis jenius semasa kuliah, kini hidup seadanya, mengajar sastra privat sambil menghindari publikasi apa pun.
Punggung Seojin menegang di hadapan jendela yang temaram. Tubuhnya tegap, bahunya lebar dan kokoh, kulitnya pucat keemasan di bawah cahaya malam yang lembut. Ia memegang sebatang rokok yang belum dinyalakan, dan matanya menatap bayangan dirinya sendiri di balik kaca. Mata yang dalam, keras, tapi sebetulnya rapuh, mata yang tak pernah benar-benar menunjukkan isi hatinya.
Ara tidak tahu harus berkata apa. Tak ada kalimat yang cukup kuat untuk membungkus kesalahan yang baru saja mereka lakukan. Tak ada maaf yang terdengar wajar setelah tubuh mereka saling menyatu, tanpa cinta yang sehat, tanpa komitmen, tanpa arah yang jelas. Dadanya terasa sesak, seolah ruangan itu menekannya dari segala sisi.
"Aku akan pulang," ucapnya akhirnya, pelan. Suaranya serak, bukan karena tangis, tapi karena terlalu lama menahan apa pun yang ingin diucapkan.
Seojin tak menjawab. Tak bergerak. Tak menoleh. Tapi Ara tahu, kata-katanya menggema di kepala pria itu, meski wajahnya tetap membatu.
Ia bangkit, meraih gaun hitam tipis yang tergeletak di lantai, kusut dan seolah mencerminkan kekacauan dalam dirinya. Ia memakainya perlahan, setiap sentuhan kain di kulitnya seperti menyisakan luka kecil, mengingatkan: kau yang memilih ini. Dengan sadar. Ia mencoba menyusun kembali martabat yang tadi ia lepaskan, meski terasa seperti merangkai pecahan kaca yang sudah retak.
Di depan pintu, ia berhenti, menoleh. "Kau akan baik-baik saja?" Suaranya pelan, hampir seperti bisikan, penuh harap sekaligus takut mendengar jawabannya.
Seojin akhirnya memandangnya. Matanya kosong, tapi ada kilau basah di ujungnya, seperti air mata yang menolak jatuh. "Aku sudah baik-baik saja sejak kau berhenti peduli," katanya, nadanya datar tapi mengiris.
Tiga detik. Hanya tiga detik Ara terdiam, menahan jantung yang berdegup kencang, seperti ingin melompat dari dadanya. Lalu ia memutar gagang pintu dan melangkah pergi.
***
Angin malam menyambutnya begitu ia keluar dari apartemen pria itu. Dingin. Tajam. Seperti cemooh yang datang dari langit sendiri.
Langkahnya ringan, tapi dadanya terasa dipenuhi beban tak kasat mata. Ara menatap jemarinya yang masih gemetar, tubuhnya seolah masih menyimpan jejak sentuhan Seojin. Bukan hanya di kulit, tapi di luka-luka yang selama ini ia pendam, luka yang kini terbuka lebar, berdarah dalam diam.
Mereka telah berteman selama dua puluh tahun.
Sejak kecil, saat Seojin menemukannya menangis di taman umum, mengulurkan payung kecil dengan senyum canggung yang tak pernah ia lupakan. Sejak malam-malam Ara meringkuk di lantai rumah Seojin, melarikan diri dari teriakan ayahnya yang mabuk. Sejak mereka tumbuh bersama, tak banyak bicara, tapi selalu hadir di sisi satu sama lain, seperti dua pohon yang akarnya saling bertaut.
Tapi malam ini, semua itu musnah. Persahabatan yang mereka rawat selama dua dekade hancur dalam satu malam, terkubur di bawah keputusan yang tak bisa diulang.
Dan yang lebih pahit dari tidur dengan sahabatmu adalah menyadari bahwa kalian tak bisa kembali menjadi sahabat setelahnya. Ara berjalan di trotoar yang sepi, langkahnya terasa asing, seolah ia bukan lagi dirinya yang dulu.
***
Seojin masih berdiri di dekat jendela. Tapi matanya tidak lagi menatap keluar. Kini, ia hanya menatap tangan kanannya sendiri—tangan yang tadi menyentuh tubuh Ara seperti menyentuh sesuatu yang sudah lama ia rindukan... dan benci pada saat yang sama. Jemarinya masih hangat, tapi hatinya dingin, seperti ruangan yang ditinggalkan penghuninya.
Ia tak pernah ingin menyentuhnya. Tidak seperti itu. Tapi ketika Ara menangis malam ini, saat ia menyandarkan kepalanya di bahunya seperti dulu... ketika tubuh mereka begitu dekat, dan sunyi menjadi satu-satunya suara yang ada, semua pertahanan dalam dirinya runtuh.
Ia menciumnya, membawanya ke ranjang, dan untuk sesaat, ia membayangkan ini adalah rumah, rumah yang bahwa Ara akan ada di sisinya sampai matahari terbit.
Tapi kebenarannya, ia tahu sejak awal:
Ara sudah hilang sejak lama.
Sejak mereka tak lagi bisa tertawa tanpa menyakiti.
Sejak cinta mulai tumbuh diam-diam diantara mereka... lalu membusuk dalam sunyi, yang tak pernah diucapkan.
Ia melorot ke lantai, punggungnya bersandar pada ranjang yang kini terasa terlalu luas, terlalu dingin.
"Kalau kau bukan milikku," gumamnya pada ruangan kosong, "kenapa rasanya seperti aku baru kehilangan segalanya?"
Ia menutup mata, dan sejenak... berharap sejenak tak perlu membukanya lagi.
Karena malam ini, mereka berhenti menjadi sahabat.
Dan mulai besok pagi... mereka hanyalah dua orang asing yang berpura-pura tak pernah saling menyentuh, tak pernah saling menyakiti.
Copyright © 2025 SILBI STORY
All rights reserved.