Ara Kim tidak menangis malam itu.
Ia menyangka tubuhnya akan memberontak, bahwa hatinya akan pecah karena perasaan yang tersumbat di tenggorokan. Tapi yang terjadi justru sebaliknya.
Ia hanya duduk di dalam taksi menuju apartemennya, menatap lampu kota yang kabur di balik jendela, dan diam.
Diam.
Bukan ketenangan, melainkan mati rasa, seperti jiwa yang menolak merasakan apa pun lagi.
Tubuhnya masih menyimpan kehangatan sentuhan Seojin.
Bibirnya masih terasa asin karena jejak keringat dan ciuman yang terlalu dalam.
Dan di antara pahanya... masih ada sesnsasi yang menggelitik, basah, dan membakar.
Bukan karena kenikmatan. Tapi karena malu.
Karena menyerah pada sesuatu yang ia tahu akan menghancurkannya.
Ia sudah bersumpah tidak akan seperti ini lagi. Sudah berkali-kali mengatakan pada dirinya sendiri bahwa Seojin tak pernah benar-benar mencintainya. Bahwa apa pun yang mereka miliki dulu... persahabatan, keintiman, atau harapan, tak akan pernah cukup untuk dibangun menjadi apa pun selain kehancuran.
Tapi malam ini, ia tetap melangkah ke apartemen pria itu. Tetap membiarkan tubuhnya larut di bawah sentuhan Seojin. Tetap berharap... meski tahu tak ada rumah yang bisa mereka bangun bersama.
***
Keesokan paginya, Ara tersadar dengan kepala berat dan mata sembab, seolah malam tadi telah menguras nyawanya.
Langit di luar jendela apartemennya mendung, kelabu seperti suasana hatinya. Jam digital di meja samping ranjang menunjukkan pukul 10.42.
Sial.
Ia bolos kerja.
Tapi anehnya... ia tak peduli.
Ia bangkit, piyama kusut menempel di kulitnya, dan berjalan ke dapur kecil yang terasa terlalu sepi. menyeduh kopi instan, aroma pahitnya menyerang hidung sebelum menampar lidah, lalu duduk di meja makan yang terlalu rapi, kontras dengan kekacauan di dalam dirinya, cangkir panas di tangannya satu-satunya sumber kehangatan.
Handphone-nya bergetar sekali diatas meja.
Pesan dari Seojin.
Seo Jinwoo:
"Maaf soal tadi malam."
Ara menatap layar ponsel itu cukup lama, seolah berharap kata-kata itu bisa berubah jika ia menatap cukup lama.
Maaf?
Itu saja?
Setelah malam yang mengoyak batas terakhir di antara mereka, hanya itu yang ia tawarkan?
Tangannya gemetar saat mengetik balasan.
Tangannya gemetar saat mengetik balasan.
Ara:
"Kita bukan anak remaja yang bisa pura-pura kecelakaan, Seojin. Kita tahu apa yang kita lakukan."
Pesan itu terkirim, dan layar ponsel kembali gelap.
Tak ada balasan.
Selama dua jam.
Dua jam yang terasa seperti pengingat pahit kenapa ia pernah menjauh dari Seojin. Pria itu tak pernah bisa jujur. Ia selalu memilih diam saat Ara membutuhkan kejelasan, selalu meninggalkannya dengan pertanyaan yang tak terjawab. Hubungan mereka, jika bisa disebut begitu tak pernah normal. Tak pernah sederhana. Selalu penuh dengan luka yang mereka ciptakan sendiri.
***
Sore itu, Ara bertemu Minhyuk.
Makan malam ringan di restoran kecil dekat taman kota, sesuatu yang sudah mereka rencanakan sejak minggu lalu. Minhyuk menyambutnya dengan senyum teduh, kemeja biru mudanya rapi seperti selalu, rambutnya tersisir dengan hati-hati. Ia adalah kebalikan dari Seojin, ia terbuka, hangat, dan tak pernah membuat Ara meragukan niatnya.
"Kau baik-baik saja?" tanya Minhyuk begitu Ara duduk, nada suaranya penuh perhatian.
"Ya," jawab Ara, suaranya datar, bohong yang bahkan ia sendiri tak percaya.
Mereka berbincang seperti biasa. Tentang pekerjaan Ara yang penuh tenggat. Tentang novel baru yang sedang Minhyuk tulis, penuh dengan metafora tentang laut yang ia ceritakan dengan mata berbinar. Tentang tetangga apartemen Minhyuk yang memelihara ular dan membuat gaduh dengan kebiasaan anehnya.
Tawa kecil mengalir di antara mereka, tapi bagi Ara, semua terasa seperti sandiwara.
Ia ada di sana, tapi pikirannya tidak.
Karena di sela tawa Minhyuk, ia terus mendengar napas Seojin, berat, penuh kebutuhan, seperti malam tadi.
Karena di balik aroma teh hijau yang disajikan pelayan, ia masih mencium sisa bau tubuh Seojin yang melekat di kulitnya.
Dan ketika Minhyuk tanpa sadar menggenggam tangannya, dengan hangat, tulus, lembut, Ara menutup mata sejenak, berharap bisa merasakan sentuhan itu sepenuhnya.
Tapi bayangan Seojin melintas.
Dingin, liar, kasar, penuh dengan keinginan yang tak pernah ia ucapkan.
Dan yang lebih menyakitkan, tubuh Ara bereaksi lebih kuat pada bayangan itu daripada kehadiran nyata di depannya.
***
Pulang dari restoran, Ara merasa bersalah.
Bukan pada Minhyuk, tapi pada dirinya sendiri. Ia membenci bagaimana ia tak bisa lepas dari Seojin, bahkan ketika seseorang yang tulus ada di hadapannya. Ia membenci bagaimana hatinya masih mencari sesuatu yang ia tahu hanya akan menyakitinya.
Ia membuka pintu apartemennya, dan langkahnya terhenti.
Di depan pintu, ada sebuah buku catatan cokelat tua, usang, dengan sobekan kertas kecil di atasnya.
Tulisan tangan Seojin, huruf-hurufnya tegas tapi sedikit bergetar.
"Aku tidak tahu cara bicara tanpa menghancurkanmu.
Tapi aku tidak bisa lagi diam tanpa kehilanganmu."
– SJ
Ara membeku, jantungnya seperti berhenti berdetak.
Ia meraih buku itu, alu meremas buku itu ke dadanya. Seolah benda itu bisa menahan semua yang ia rasakan.
Dan untuk pertama kalinya sejak malam itu... air matanya jatuh.
Bukan karena sakit.
Tapi karena harapan, harapan yang ia kira sudah lama mati... ternyata masih bernapas, masih hidup di sudut hatinya yang paling rapuh.
***
Di tempat lain, Seojin duduk di dalam mobil, diparkir di sudut jalan yang menghadap apartemen Ara.
Ia menatap jendela ruang tamu yang kini menyala.
Ia tahu bahwa Ara telah membaca catatannya.
Ia tahu ia pengecut, karena tidak mengetuk pintu, tidak bicara langsung, tak menghadapi kekacauan yang ia ciptakan.
Tapi yang tidak ia tahu adalah...
Ia sedang dalam proses menghancurkan satu-satunya orang yang masih ia cintai... hanya karena ia tak pernah tahu cara mencintai yang benar.
Dan ketika akhirnya ia menyalakan mobil dan pergi, ia meninggalkan satu kalimat tertahan di bibirnya sendiri.
"Kita memang tidak pernah normal..."
Dan mungkin, itulah mengapa mereka tak pernah bisa benar-benar bersama.