Parepare, Sulawesi Selatan | Pukul 23.47 WITA
Arya Himawan tidak suka malam. Bukan karena takut gelap tapi karena malam memberinya terlalu banyak waktu untuk mengingat. Dan malam ini, semua terasa lebih sunyi dari biasanya.
Ia duduk di kursi besi beroda, di dalam bengkel kecil yang dulunya kontainer logistik sisa konflik lama. Dindingnya dilapisi rak-rak logam berisi komponen drone, baut, kabel, dan papan sirkuit. Monitor tabung tua menyala di depannya, menampilkan deretan kode hijau kehitaman.
Arya menggerakkan mouse. UAV uji coba terakhirnya sudah kembali dengan selamat, mendarat di tengah lapangan tandus di belakang kontainernya. Tapi ada yang aneh drone itu kembali sebelum ia kirim perintah pulang.
Ia membuka log penerbangan.
[AUTO-RETURN OVERRIDE – 23:42]
[REMOTE SIGNAL DETECTED – UNKNOWN SOURCE]
[>> RESET.0.0 SIGNAL INTERCEPTED]
Alisnya mengerut. Bukan bagian dari program. Bukan error sistem. Dan jelas bukan sinyal dari satelit militer resmi.
Arya membekap napas. Lalu perlahan berdiri, mengambil radio analog di bawah meja model TNI era 90-an yang masih ia simpan. Ia putar knop gelombang ke frekuensi lama yang seharusnya sudah mati.
Tapi di sana... terdengar suara lemah, terputus, seperti napas dari masa lalu:
“...nol… titik… komando… ulangi…”
Darahnya mengalir lebih dingin dari biasanya.
Ia meraih senter dan keluar. Angin malam mencambuk wajahnya, langit mendung gelap tanpa bintang. Di kejauhan, drone-nya berdiri diam di tanah, dengan lampu indikator masih menyala merah. Ia dekati perlahan, senter diarahkan ke bawah badan pesawat kecil itu.
Ada sesuatu yang menempel.
Benda kecil, berbentuk persegi seukuran koin logam. Bukan bagian dari dronenya. Arya mengenali bentuknya transmitter tak dikenal, model militer buatan luar negeri.
Ia menoleh ke sekeliling. Sepi. Hanya suara serangga dan desir angin. Tapi Arya tahu malam itu, ia tidak benar-benar sendirian.
Arya berjongkok. Ujung jemarinya menyentuh benda logam di bawah drone perangkat kecil dengan permukaan matte hitam, tak ada logo, tak ada tulisan. Tapi ia mengenali bentuknya: transmitter burst-pulse, teknologi yang biasa dipakai untuk komunikasi satu arah, hanya sekali kirim, hanya sekali tangkap. Teknologi ini tak biasa dipakai sipil. Ia nyaris yakin: ini milik badan intelijen.
Tangannya mencengkeram alat itu erat, lalu buru-buru membawa drone kembali ke dalam kontainer. Ia menutup pintu, menurunkan gorden kain isolasi panas, dan mematikan semua lampu kecuali layar komputer yang masih menampilkan sinyal aneh barusan.
Lalu ia duduk, menarik napas perlahan.
Malam itu, semua terasa lebih berat.
Pukul 00.17
Arya membuka kembali log penerbangan drone. Di titik tertinggi lintasan udara, drone sempat "menyerap" sinyal berkode dari lapisan atas spektrum. Ia menggabungkan data spektrum radio dengan algoritma spektralan yang ia sendiri rancang dan hasilnya menampilkan pola gelombang audio. Tapi yang membuatnya bergidik: bentuk gelombangnya menyerupai sinyal Morse, namun dimodulasi. Ia konversi perlahan.
“Kode... 0.0... inisiasi... ulang... langit… dikunci...”
Arya menyandarkan punggungnya ke kursi. Ia bukan agen. Bukan pula ahli kriptografi. Tapi pesan itu jelas bukan sebuah kesalahan.
Itu perintah. Perintah dari jaringan yang sudah seharusnya mati.
Pukul 00.31
Ia membuka lemari baja kecil yang selama ini ia kunci rapat tak pernah ia sentuh sejak keluar dari unit UAV TNI AU tiga tahun lalu. Di dalamnya, dua benda tersimpan rapi dalam kain hitam: satu senapan laras pendek APC9 PRO buatan Swiss, dan satu modul decoding satelit langka hasil “oleh-oleh” dari masa lalu yang tak pernah ia laporkan ke atasannya.
Arya menghela napas, lalu berkata pelan:
"Aku tak pernah benar-benar keluar dari medan operasi, ya?"
Radio di belakangnya tiba-tiba menyala sendiri. Tak ada tombol yang ditekan. Tak ada bunyi klik. Tapi suara dari dalamnya jelas:
“Panggilan pertama: Arya Himawan... perhatikan frekuensi 89.777... Reaktifkan Nol Titik Nol...”
Arya membeku. Suara itu tidak asing. Bekas atasan lapangan. Lelaki yang dikabarkan hilang tiga tahun lalu dalam misi diplomatik ke Ankara.
Ia tahu sekarang, malam ini adalah awal dari sesuatu. Sesuatu besar.
Sesuatu yang akan menyeretnya kembali ke dalam perang yang tak lagi pakai seragam, tapi jauh lebih mematikan.
Dan semuanya... dimulai dari Nol Titik Nol.
Pukul 00.44
Tangan Arya bergerak cepat. Ia melepas peluru dari APC9 PRO dan memeriksa ruang peluru sebelum memasangnya kembali. Belasan kebiasaan lama yang dulu terasa asing, kini berjalan otomatis. Ia menarik napas pendek, lalu mendekati panel sensor di dinding dekat pintu masuk.
Panel itu dulunya hanya pemindai suhu biasa. Tapi dengan sedikit oprekan, Arya menyambungkannya ke sistem sinyal perambat. Jika ada pergerakan di radius lima meter dari kontainer, notifikasi visual akan muncul di monitor tanpa suara, tanpa bunyi klik.
Dan notifikasi itu baru saja muncul.
[ZONE 2 – LINTASAN RATA | 1 UNIT DETEKSI | KECEPATAN < 3KM/H]
Bukan binatang. Terlalu stabil. Terlalu lambat untuk kendaraan. Arya mematikan semua sistem listrik. Cahaya dari monitor mati. Bengkelnya tenggelam dalam gulita. Namun ia tetap duduk, tangan menggenggam senjata. Napasnya dikontrol. Tak bergetar.
Ia mendengar langkah. Satu. Dua. Pelan. Seperti telapak sepatu taktikal di atas kerikil halus.
Arya tidak bergerak.
Tiba-tiba... ketukan dua kali di dinding luar kontainer.
Sunyi.
Lalu... ketukan tiga kali. Lebih pelan. Lebih berat.
Arya mengepal. Pola ketukan itu bukan kebetulan. Itu pola panggilan operasi unit Spectra, unit bayangan TNI AU yang ia tinggalkan tiga tahun lalu tanpa sepatah ucapan pun.
Mereka datang. Atau... seseorang yang tahu tentang unit itu datang.
Pukul 00.56
Ketika ia yakin langkah di luar menjauh, Arya membuka kembali komunikasi radio. Ia menyesuaikan frekuensi ke 89.777 seperti perintah suara sebelumnya. Lalu menunggu. Static. Sunyi. Hingga suara itu muncul lagi:
"Jika kau masih hidup, itu artinya mereka belum masuk. Dengarkan baik-baik. Kode Nol Titik Nol sedang diaktifkan ulang. Bukan oleh kita. Tapi oleh tangan yang kita kira sudah dimakamkan."
"Dronemu bukan disabotase. Itu diberi undangan."
"Jangan dekati siapa pun yang bawa lencana. Dan jika kau melihat tanda silang biru di langit… larilah."
Lalu hening.
Arya mematikan radio. Tangannya dingin. Tapi pikirannya tajam. Ia tahu satu hal:
Sesuatu sedang menyala di balik langit Indonesia dan itu bukan satelit komunikasi.
Malam itu, sebuah skenario perang tanpa deklarasi baru saja dimulai. Dan Arya Himawan, mantan teknisi biasa yang hanya ingin menyendiri, kembali menjadi bagian dari konflik yang bahkan pemerintah sendiri belum menyadarinya.
Pukul 01.09
Arya memandangi tangannya sendiri. Telapak yang dulu cekatan menyusun motherboard UAV kini menggenggam senapan seperti dulu ketika ia masih bagian dari unit Spectra. Tapi yang lebih ia kenali bukan senjatanya.
Melainkan sensasi lama yang mulai merambat: diam-diam berharap tidak ada yang masuk... dan sekaligus berharap ada.
Ia menutup matanya.
Tiga tahun lalu.
Timnya sedang bertugas memantau koridor udara sengketa di perbatasan utara. Misi pemantauan UAV biasa begitu katanya. Tapi pada malam ketiga, drone yang ia kendalikan menangkap sinyal panas dari darat: konvoi dengan sistem komunikasi tak terdaftar, dan sinyal koordinat yang... cocok dengan salah satu protokol internal mereka.
Ada dua opsi: abaikan, atau minta izin menindak.
Arya memilih yang kedua.
Hasilnya: satu drone melakukan serangan otomatis.
Apa yang tidak ia tahu adalah konvoi itu milik sekutu diam-diam pemerintah. Operasi penyamaran yang bahkan komandannya sendiri tidak diberi tahu.
Dua orang tewas.
Satu di antaranya: sahabatnya, Rama yang menyamar dalam unit logistik konvoi itu.
Arya tidak pernah memaafkan dirinya.
Kini, suara Rama muncul kembali di kepalanya. Suara terakhirnya sebelum sinyal drone memutus sambungan:
"Arya... kenapa...?"
Sejak hari itu, ia keluar. Membawa luka yang tidak tercatat di laporan. Hanya diberi dua kata: mundur sukarela.
Tapi ia tahu… malam ini, semuanya kembali. Dan kali ini, jika ia tak bertindak akan lebih dari dua nyawa yang menghilang.
Ia menyentuh modul decode satelit di tangannya. Perangkat ilegal yang bahkan belum tentu legal dipakai di konflik militer. Tapi untuk malam ini, ia tahu: aturan tak berlaku.
Pukul 01.22
Terdengar satu ketukan pelan dari atap kontainernya. Bukan ranting. Bukan angin.
Arya bergerak cepat. Dalam hitungan tiga detik, ia sudah menunduk di bawah meja kerja sambil mengarahkan senapan ke atap. Detak jantungnya tidak panik justru perlahan. Teratur. Seperti ritme yang ia hafal.
Lalu... suara langkah pelan.
Seolah sesuatu atau seseorang sedang berjalan di atas atap, memindai dari ujung ke ujung.
Arya menunggu.
Dan pada momen ketika langit hampir hening, satu bayangan turun melewati jendela ventilasi, cepat, kecil bukan manusia melainkan drone pengintai seukuran tangan, melayang tanpa suara, dengan lensa merah menyala di bawahnya.
Arya segera menembak.
Satu letupan pendek. Drone terjatuh, terbakar di udara sebelum menyentuh lantai.
Ia membuka ventilasi darurat, membidik ke luar.
Kosong.
Tapi ia tahu... ini bukan peringatan.
Ini undangan.
Pukul 01.37
Langit di atas Parepare mulai berubah. Awan yang semula kelabu biasa kini tampak seperti berpendar. Bukan cahaya petir, bukan juga pantulan lampu kota. Ini sesuatu yang berbeda.
Arya berdiri di atap kontainer, senjata disampirkan di punggung. Matanya menatap lekat ke langit. Lalu ia melihatnya sebuah simbol samar berbentuk silang, membentuk pola geometris di balik lapisan awan tipis, berpendar biru, nyaris tak kasat mata jika tak tahu apa yang dicari.
Ia terkesiap.
Itu bukan fenomena alam.
Itu marker kode visual yang biasa dipakai untuk sinkronisasi antar-satelit dalam skenario perang elektronik. Masalahnya, Indonesia tak memiliki jaringan militer orbital sekelas itu. Dan satu-satunya entitas yang pernah mengembangkan sistem serupa adalah...
Arya langsung turun, masuk kembali ke dalam kontainer. Ia membuka kembali perangkat decode satelit dan menyambungkannya ke kabel utama radio analog. Beberapa saat kemudian, layar monitor menyala dengan tulisan kuning:
[REMOTE PING: NODUS X-0X ENGAGED]
[SANDI: VERSE-89]
[NOL TITIK NOL – 6 JAM MENUJU RESTART]
Tiba-tiba layar berkedip tiga kali, lalu blank.
Arya terduduk.
“Enam jam... sebelum apa?”
Ia tahu, jika ada sistem sebesar itu yang akan “dihidupkan ulang,” dan ia sebagai mantan teknisi saja bisa mendeteksinya... maka intel dunia pasti juga sudah tahu. Dan itu berarti pengejaran akan dimulai.
Dan ia, Arya Himawan mantan teknisi yang hanya ingin tenang baru saja menjadi saksi pertama dari sesuatu yang akan mengubah lanskap konflik Indonesia… dan mungkin dunia.
Di luar kontainer, langit berkedip sekali lagi.
Saling-silang biru itu mulai menebal.
Terlalu presisi untuk disebut kebetulan.
Terlalu tenang... untuk bukan sebuah ancaman.
Arya memegang bahunya sendiri.
Ia tahu: malam itu adalah akhir dari hidup lamanya.
Dan titik nol sudah mulai menghitung mundur.
Pukul 03.12 – Parepare, Sulawesi Selatan
Layar terminal Arya menampilkan koordinat baru, dikirim melalui frekuensi lama yang seharusnya tak lagi aktif. Titik lokasi berada di luar negeri.
Singapura.
Di situlah salah satu pusat penyimpanan cadangan sinyal militer dioperasikan secara sipil oleh LCS Defense mitra lama program UAV regional.
Arya mengatupkan rahangnya. Kalau sinyal 0.0 menyelinap lewat sana, maka loginya: jejak awalnya ada di sana pula.
Ia meraih tas punggung kecil, menyalakan satu-satunya nomor lama yang masih aktif, dan berkata pelan, “Kita terhubung lagi. Aku perlu masuk ke fasilitasmu di Bukit Batok.”
Suara di seberang hanya menjawab dengan satu kata.
“Saluranmu tidak sepenuhnya diam, Arya. Tapi kalau kau yakin, aku akan buka pintu belakang.”
Sebelum meninggalkan kontainernya, Arya menatap ulang dinding belakang tempat ia menggantung jas teknisi tuanya. Di baliknya, foto kecil Rama dan tim lama mereka satu-satunya kenangan yang belum ia buang.
“Bukan hidup damai yang kau tinggalkan. Tapi perang yang belum selesai,” ujarnya pada pantulan kaca monitor, sebelum mematikan lampu dan menghilang ke dalam fajar.