Peti Hitam di Langit Singapura

Pusat Pemantauan Satelit Ruang Server LCS Defense, Singapura | Pukul 22:14 SGT

Langit di atas Bukit Batok mendung pekat, tapi bukan itu yang membuat udara di dalam pusat server LCS terasa berat. Cahaya dari panel LED menyinari rak-rak logam tempat ratusan “peti hitam” satelit disusun seperti sarkofagus modern setiap unit menyimpan log komunikasi dari orbit ke darat.

Di balik ventilasi lantai tiga, Arya Himawan menahan napas.

Ia mengenakan jumpsuit teknisi, hasil tukar identitas 40 menit lalu di koridor belakang kompleks. Nama yang tertera di ID palsunya: Royansyah Subkontraktor Pembersihan Optik Orbital.

Misi penyusupan ini sederhana: salin log komunikasi frekuensi 89.777 dari satelit militer tua bernama Nodus X-0X sinyal yang sebelumnya mengaktifkan protokol "Nol Titik Nol."

Tapi langkah Arya melambat.

Di ujung lorong ruang data, seseorang berdiri menghadap dinding, seolah mengecek panel distribusi listrik. Badannya tinggi, postur tegak, tapi ada sesuatu yang salah.

Tangannya diam terlalu lama. Bahunya terlalu tenang.

Arya tahu bahasa tubuh operator profesional. Orang itu bukan teknisi. Bukan karyawan.

Arya terus berjalan, pura-pura tak peduli.

Satu langkah.

Dua langkah.

Sampai

“Kau bukan bagian dari tim orbit.”

Suara itu rendah. Tepat. Tanpa logat lokal.

Arya diam.

“Berbalik. Perlahan.”

Ia tahu, ini bukan saatnya debat. Ia perlahan memutar badan dan melihat pria itu sudah menarik pelat logam dari belakang punggungnya. Pisau taktis.

Bukan milik perusahaan. Ini alat perkelahian.

Pukul 22:18

Mereka hanya berjarak empat meter ketika serangan pertama dimulai.

Pisau itu berkelebat ke arah leher Arya.

Arya menunduk setengah detik lebih cepat, memutar tubuh dan melempar toolkit di tangannya ke arah wajah lawan. Bukan untuk melukai hanya mengganggu fokus.

Pisau kembali datang, sekarang horizontal, menyapu ke arah pinggang.

Arya menangkap pergelangan tangan lawannya dengan dua tangan, menahan, memutar, lalu menyikut perut musuh dengan siku kanan. Lawan bergeming berotot, berat.

Arya melompat ke belakang dan mengangkat rak logam kecil, melemparnya ke arah musuh. Bunyi dentang memecah ruang hening. Saat musuh menepis rak, Arya sudah menyambar tiang pembersih serat optik dari lemari samping.

Benda itu panjang, ringan, dan keras.

Seperti tongkat. Seperti peringatan.

Pria itu maju dengan gerakan khas pasukan operasi khusus: berat, pendek, tanpa hentakan.

Arya menyerang duluan. Ayunan horizontal ke arah paha. Musuh menangkis dengan lengan kiri, tapi bagian ujung tongkat menampar pipinya.

Lawan mundur setengah langkah.

Arya tahu: bukan tentang menang. Tapi keluar hidup-hidup.

Selama tiga menit berikutnya, perkelahian berlanjut seperti catur fisik:

Arya berputar, memukul siku lawan, lalu menusuk perut dengan ujung tongkat. Gagal.

Musuh menendang dada Arya keras. Arya terlempar ke rak penyimpanan, bahunya menghantam logam dingin.

Pisau meluncur lagi, kali ini nyaris mengenai tulang iga. Arya berguling ke lantai, menarik kabel jaringan dari dinding, lalu menyambungkannya ke tubuh lawan dan menyalakan terminal backup.

Kejut listrik kecil menyetrum tangan pria itu.

Seketika, gerakan lawan melambat. Arya bangkit. Langsung meninju leher dari samping strike senyap yang ia pelajari dari instruktur Spectra lima tahun lalu.

Lawan terjatuh. Masih sadar. Tapi tubuhnya lemas.

Arya mengambil nafas. Tapi tak meremehkan. Ia meraih lengan pria itu dan menariknya ke ruang servis server cadangan. Ia menutup pintu. Kunci dari dalam.

“Siapa kau?” desis Arya.

“Terlambat,” kata pria itu. “Kau tidak mencegahnya.”

“Apa yang diaktifkan?”

“Nol Titik Nol… bukan sinyal. Itu protokol redundan. Satu tombol, lima negara… blackout.”

Arya menatapnya.

Darah di keningnya menetes. Matanya melebar.

Di luar, layar utama ruang server menyala otomatis.

> [RECEIVING 0.0 SIGNAL REPLICATION…]

> [CLONED INTO 14 NODES: MALACCA TO MEDITERRANEAN]

Arya tahu, ia gagal mencegah duplikasi.

Tapi malam ini belum berakhir.

Dan ia, sekali lagi, harus bergerak lebih cepat dari dunia yang akan segera kehilangan kendali.

Pukul 22.23

Alarm tak terdengar. Tapi layar server menampilkan perubahan drastis:

[PROTOKOL 0.0] -> REPLICATION ACTIVE

[SATU NODE AKTIF | ENKRIPSI RSA EXOTIC | SUMBER: SEDANG DIPINDAHKAN]

Arya tahu apa artinya: log sinyal yang ia curi sedang dikloning dan dikirim ke lokasi lain. Ia belum tahu ke mana tapi kalau jaringan diambil alih sepenuhnya, semua data akan hilang.

Ia membuka saku dalam jumpsuit-nya, mengeluarkan USB drive hitam produk internal Spectra, bisa memotong lalu lintas LAN secara pasif selama 18 detik. Ia colok ke port tercepat di panel komunikasi.

Hitungan mundur dimulai.

18... 17... 16...

Tapi dari balik dinding ruang cadangan, ia dengar suara langkah cepat lebih dari satu. Minimal dua orang. Lari.

Pukul 22.25

Arya mendorong pintu keluar dengan bahu.

Lorong kosong sementara. Ia ambil jalan darurat menuju tangga vertikal menuju lantai bawah. Bangunan ini bukan struktur sipil, melainkan bekas bunker era Perang Dingin yang dijadikan fasilitas data. Jalur keluarnya sempit, tak ada lift. Hanya tangga besi, kabel listrik, dan pipa yang berdesakan di langit-langit.

Arya memanjat cepat. Satu lantai. Dua lantai.

Di lantai satu, ia berhenti napas masih tertahan.

Tapi alarm visual menyala merah.

Tiga penjaga bersenjata muncul dari lorong timur.

Salah satu berteriak dalam Bahasa Inggris logat Rusia:

“That’s him! Armed!”

Arya tak berpikir panjang. Ia menendang pintu ke ruang perawatan mesin sebelahnya, memecahkan kaca tipis, lalu masuk ke dalam ruangan berisi tangki nitrogen cair dan kabel berat.

Peluru menembus dinding logam di belakangnya.

Arya menjatuhkan tas laptop, tapi masih menggenggam drive berisi data.

Ia berlari menyusuri rak, menuruni lorong sempit hingga melihat sesuatu yang ia cari: boks panel kontrol lift darurat bawah tanah.

Satu tombol. Buka celah keluar.

Tapi ia tak sendiri. Seseorang menghadangnya dari balik bayangan wanita, tinggi, mengenakan jaket operatif luar negeri.

“Berhenti.”

“Siapa kamu?” desis Arya.

“Saya seharusnya menarikmu keluar dari misi ini enam menit lalu. Tapi kau berubah rute.”

“Nama.”

Wanita itu melempar kartu ke tanah. Cahaya lampu darurat memperlihatkan tulisan samar:

Laksmi. Operatif-032. Jakarta.

“Kalau kamu gagal sekarang,” lanjutnya, “kode itu akan dibangkitkan dari Istanbul hingga Manado sebelum kamu sempat buka sepatu.”

Arya menyentuh panel. Lift terbuka. Ruangan sempit menuju lorong layanan logistik.

Laksmi menatapnya tajam. “Terlalu banyak yang sedang bangkit. Kamu bukan teknisi lagi, Arya. Kamu kode mereka yang belum dituliskan ulang.”

Arya tersenyum tipis. “Bagus. Aku belum selesai menulis.”

Mereka berdua masuk. Pintu lift tertutup.

Dan malam di Singapura terus bergerak, membawa jejak protokol paling berbahaya yang pernah diciptakan sistem senjata tanpa negara, tanpa wajah, tanpa suara.

Tapi Arya dan Laksmi baru mulai bergerak. Dan dunia belum tahu… bahwa 0.0 sedang pulang.

Pukul 23.07 | Atas Kapal Barang Tua Jalur Singapura–Batam

Langit di atas pelabuhan tua terlihat seperti lembar logam tebal, mengkilap oleh pantulan lampu pelabuhan, tapi rapuh jika disentuh dari bawah. Kapal kargo berbendera Panama yang mereka tumpangi nyaris tak berpenumpang. Awak lokal diam saja saat Laksmi menunjukkan dokumen tempelan dari Kantor Imigrasi Palsu. Uang tunai dan jargon teknis biasanya cukup jadi paspor.

Di ruang generator belakang, Arya duduk di lantai logam bersama Laksmi. Di antara mereka, laptop yang hanya bisa hidup dari baterai eksternal, dengan drive USB hitam yang kini terhubung, memutar data fragmentaris dari pusat server LCS.

Layar menyala pelan, memunculkan deretan huruf dan bilangan yang tak terbaca manusia biasa. Tapi Arya membacanya seperti bahasa ibunya sendiri.

[REPLICATED 0.0 DATASET – PARTIAL]

Payload Type: Non-Kinetic Interceptor Protocol

Trigger Keyword: SANDI-ECLIPSE-X

Geo-Launch Signature: BANTEN NODE

Arya mendengus.

“Ini bukan sekadar kode... ini senjata lunak. Seperti IDS aktif, tapi disisipkan dalam backbone komunikasi. Siapa pun yang mengaktifkan ini bisa mengunci sistem pertahanan sebuah negara dari jarak jauh.”

“Berapa banyak yang bisa dikendalikan?” tanya Laksmi.

“Kalau benar ini fragment dari protokol Nol Titik Nol, maka sistem minimum yang bisa diambil alih... mencakup komunikasi satelit sipil, penguncian UAV, enkripsi protokol kapal, bahkan sinyal early warning rudal.”

“Satu negara?”

Arya menggeleng. “Tujuh. Termasuk kita.”

Di luar ruangan, kapal meluncur pelan di bawah langit gelap. Angin laut membawa aroma minyak, karat, dan hujan yang tertunda. Tapi di dalam ruang logam itu, suara hanya datang dari kipas tua dan dialog yang tertahan.

Laksmi menatapnya lama.

“Kenapa kamu tinggalkan Spectra dulu?”

Arya diam. Lama.

“Karena aku menyerang kawan sendiri.”

“Rama?”

Ia mengangkat kepala.

Laksmi menatap lurus. “Aku baca semua dokumen lapangan sebelum didelegasikan jadi bayanganmu. Serangan UAV. Wilayah biru.”

“Aku tak tahu dia menyamar.”

“Laporan resminya bilang begitu. Tapi suara kamu bilang lain.”

Arya memalingkan wajah.

“Suara itu masih tinggal di kepalaku.”

Pukul 23.31

Tiba-tiba, layar menampilkan satu pesan yang bukan bagian dari sistem:

INCOMING SIGNAL | NOL.0.0 TRACEBACK

SOURCE: UNKNOWN | PATH: JAKARTA NODE 12D-FAHMI

MESSAGE:

“KAMU MEMBUKANYA. KAMI YANG MENYEMPURNAKANNYA. SIAPKAN DIRI UNTUK JAM 05.00.”

Laksmi menatap tulisan itu. “Fahmi?” bisiknya.

Arya kaget. “Kamu kenal?”

“Fahmi Nuruddin. Mantan pengembang UAV generasi pertama. Hilang lima tahun lalu. Terakhir diketahui: sabotase proyek drone Garuda X dan kabur bawa chip pengolah kecepatan kuantum.”

Arya membaca ulang. Kamu membukanya.

“Dia pikir aku memicu sesuatu. Padahal aku bahkan tak tahu cara mencegahnya.”

“Atau dia sedang mengujimu,” kata Laksmi. “Dia bukan sekadar bagian dari jaringan. Dia perancangnya.”

Arya mendesah. “Kalau begitu, aku bukan target utama.”

“Bukan. Kamu umpan.”

Pukul 00.02 | Perairan Batam Utara

Suara radio kapal mulai bergelombang. Arya menghidupkan frekuensi 89.777 dan menemukan satu transmisi baru bukan suara manusia, melainkan nada yang mengikuti irama detak jantung. Perlahan, tapi konstan.

Ia memutar spektrum dan saat mencapai titik puncak, satu suara muncul seperti bisikan:

“Engkau diundang untuk menyaksikan ulang sejarah. Tapi kali ini, tanpa peta.”

Arya menatap layar. “Dia menantang kita.”

Laksmi berdiri. "Atau... memberi peringatan terakhir."

Mereka tahu satu hal: target berikutnya adalah Jakarta.

Dan saat pelabuhan Batam mulai tampak di balik kabut, Arya tahu bahwa malam ini... belum selesai. Hanya pindah medan.

Pukul 01.47 – Jakarta Selatan, Perbatasan Blok Tanpa Nama

Pelabuhan Batam nyaris tak bersuara saat Laksmi dan Arya turun dari kapal barang. Langkah mereka cepat, tanpa dialog. Dari sana, mereka tidak naik pesawat komersial melainkan menumpang jalur kargo udara tak berjadwal, menggunakan dokumen diplomatik palsu yang dibawa Laksmi dari Bangkok.

Beberapa jam kemudian, mereka mendarat di satu titik pendaratan rahasia di selatan Jakarta area yang disebut "Blok Tanpa Nama", sisa dari proyek mega-klaster yang ditinggalkan. Beton retak, satelit pengintai di langit, dan tanah kosong yang dijaga hanya oleh anjing liar dan sinyal seluler usang.

Di sana, seseorang sudah menunggu.

Pria tua dengan jas hujan abu-abu, berdiri di depan mobil hitam tanpa pelat nomor. Wajahnya penuh keriput, tapi sorot matanya tajam. Tangannya menggenggam tongkat logam, bukan karena lemah, tapi karena itu bagian dari gaya berbicaranya.

“Namamu masih digunakan di log pasukan cadangan. Itu artinya kamu belum dianggap mati,” katanya pada Arya.

“Dan siapa kamu?” tanya Arya.

“Mereka memanggilku Kepala Jaringan Timur. Tapi kamu boleh panggil aku yang lebih sederhana.”

“Apa?”

Pria itu tersenyum tipis. “Peti pertama yang dikubur, tapi tak pernah dimatikan.”

Laksmi memberi isyarat agar Arya naik ke mobil. Mobil itu meluncur pelan ke dalam struktur parkir bawah tanah, hingga seluruh koneksi sinyal mulai menghilang.

Di balik pintu beton yang terkunci, dunia lain muncul.

Monitor kuno dengan tulisan bergaris, peta digital dunia yang hanya menampilkan lokasi konflik laten, dan di tengahnya... satu meja bundar berisi objek silindris hitam dengan lampu merah sumber yang diyakini sebagai pemicu awal protokol 0.0.

“Itu peti hitam pertama,” ujar sang Kepala. “Bukan dari satelit. Tapi dari UAV pertama yang ditembak jatuh oleh sistem kita sendiri. Tahun 2009. Nama prototipenya: Garuda-X.”

Arya membeku. “Aku tahu itu nama yang Rama sebut… sebelum”

“Ya,” potong sang Kepala, “Dan Garuda-X tidak dirancang oleh pemerintah. Tapi oleh mereka. Pihak tak dikenal yang ingin menduplikasi sistem pertahanan dari luar struktur negara.”

“Apa tujuannya?”

“Mereka percaya: negara tak mampu menjaga dunia. Maka sistem otomatis tanpa manusia harus ambil alih.”

Pukul 02.14

Arya berjalan ke salah satu terminal tua dan menyambungkan drive USB dari Singapura. Ia memproses data 0.0 yang telah ia ambil. Suatu pola muncul: log koordinat yang dipancarkan bukan hanya dari satelit.

Tapi dari 21 UAV tua yang pernah hilang selama konflik regional semuanya diaktifkan kembali… oleh protokol 0.0.

Dan semuanya… menuju satu titik pertemuan di Sumatera bagian barat, dalam waktu kurang dari 3 jam.

“Laksmi,” Arya berbisik. “Kita salah. Ini bukan sinyal terkunci. Ini... panggilan pulang.”

“Pulang untuk apa?”

Arya menatap simbol-simbol aneh di layar.

“Untuk mengubah batas peta dunia. Dan yang pertama akan dijadikan contoh adalah: Jakarta.”