03.19 Waktu Jakarta | Udara di atas Sumatera Barat
Helikopter Eurocopter Dauphin EC725 versi modifikasi melintas rendah di atas punggungan hutan yang sunyi. Di dalam kabin sempitnya, hanya dua orang duduk berhadapan: Arya Himawan dan Laksmi. Lampu interior dimatikan, hanya ada cahaya layar tablet yang menampilkan peta digital dengan satu titik kedip merah lokasi dari node aktif yang dikejar: sebuah menara relay tua di dalam kota mati bernama Tirta Grendel.
“Kota ini ditutup sejak insiden bocornya biometrik nasional sepuluh tahun lalu,” kata Laksmi. “Tak lagi dicatat dalam peta sipil. Tapi relai komunikasinya belum dihancurkan.”
“Kamu yakin node 0.0-nya di sana?” tanya Arya.
“Terlalu banyak sinyal frekuensi eksperimental masuk dan keluar dari titik itu. Kalau bukan node, setidaknya terminal penguatnya.”
Pilot di depan memberi isyarat. Mereka akan turun lima menit lagi.
Arya menggeser tas senjatanya. Isinya:
- KRISS Vector .45 ACP dengan silencer
- Glock 18 modifikasi lengkap fire selector
- Dua bom asap magnetik dan satu drone mikro karbon berbentuk laba-laba, seukuran telapak tangan.
Laksmi menyiapkan unit CornerShot dengan kamera termal mini.
Sementara itu, operator pendukung mereka di Jakarta mengaktifkan DARPA TRAPS: detektor gerak portabel berbentuk kotak yang diletakkan di perimeter, mampu memindai denyut pergerakan dari balik tembok beton 30 cm.
“Deteksi awal: ada dua target bergerak dalam radius 200 meter dari relay,” suara radio berderak. “Tidak menunjukkan pola patroli. Seperti... menyapu zona.”
“Mereka tahu kita datang,” bisik Arya.
Heli turun diam-diam di area lapangan sekolah tua. Seluruh kaca jendela bangunan di sekitarnya pecah. Tirta Grendel benar-benar kota mati. Tapi udara di sini... terlalu hening untuk benar-benar kosong.
03.47 | Zona Sentral Tirta Grendel
Mereka berjalan menyusuri lorong sempit bekas kantor kelurahan, yang kini ditumbuhi jamur dinding dan tercium tajam aroma asam tanah lembap. Laksmi merunduk di belakang jendela pecah, mengangkat CornerShot ke sudut ruangan. Layar kecil di sisinya menampilkan gambar termal dari balik dinding beton.
“Satu target. Berdiri. Tidak bergerak. Sudut utara dekat terminal pemancar,” bisiknya.
Arya menyelinap di belakangnya, KRISS Vector dalam posisi siaga. Silencer terpasang. Dengung kecil terdengar dari punggungnya—drone mikro karbon mengaktifkan mode pasif, siap meluncur sebagai pengalih perhatian.
Laksmi menyisipkan kartu logika ke dalam kamera CornerShot.
“TRAPS menerima denyut tambahan. Tiga penembak posisi statik dari barat. Mereka menunggu masuk.”
Arya menggertakkan gigi. Mereka terdeteksi sejak awal. Ini perang posisi.
03.52 | Serangan Dimulai
Arya menggeser kursi tua ke sudut tangga. Lalu dia menyalakan drone mikro dan melemparkannya ke lorong barat.
Dalam detik ketiga, drone mengaktifkan mode pengacau elektromagnetik frekuensi rendah, mengganggu komunikasi headset dan optik termal tim lawan. Cahaya kecil berkelap-kelip. Cukup.
Ctak!
Laksmi membuka tembakan pertama: satu peluru Glock 18 mengenai kaki lawan yang tersembunyi. Musuh jatuh. Dua lainnya langsung membalas, peluru menghantam panel besi dan memantul nyaring. Arya maju satu langkah menunduk, mengangkat KRISS Vector, dan menembakkan dua peluru terarah ke balik rak kayu tua. Bunyi erangan terdengar.
“Satu jatuh,” katanya.
Laksmi melompat ke meja kayu besar dan menjatuhkan bom asap magnetik. Asap putih menyebar, menutupi pandangan. Tiga detik kemudian, dari balik kabut satu bayangan menyerang.
Laksmi tak sempat menembak. Musuh menendang CornerShot-nya.
Arya berbalik dan menabrakkan bahunya ke tubuh lawan. Mereka bertumbuk dan terjatuh ke lantai berlapis pecahan kaca. Lawan mengambil pisau pendek dari belt-nya, Arya menggulung dirinya ke kiri dan menarik kaki musuh keras-keras.
Pisau terlepas. Lawan menarik rambut Arya ke belakang, mencoba mencekik dari belakang. Tapi Arya menggerakkan sikunya ke arah tulang rusuk kanan lawan tiga kali lalu menyikut wajahnya dengan keras. Suara tulang retak terdengar.
“Jangan... di sini!” desis Laksmi sambil menendang sisa pintu darurat terbuka. “Ke relay. Sekarang!”
04.08 | Interior Menara Rela
Lorong menuju ruang pemroses tertutup dengan tiga lapisan pintu geser mekanik. Arya menyalakan terminal tua. Di layar:
[SANDI 1 – KODE PERINTAH]
[SANDI 2 – VERIFIKASI BIOMETRIK]
[SANDI 3 – FRASE KUNCI PELUNAK]
Laksmi menutup pintu logam di belakang. Tembakan berdentum, mendekat.
“Cepat,” katanya pendek.
Arya memasukkan kombinasi pertama:
9C-XTheta-202A
Terminal menerima. Bunyi klik pertama terdengar.
Untuk verifikasi biometrik, ia tempelkan telapak tangan kanan ke pemindai. Terminal menolak. Terlalu lama.
“Scan ulang...”
Ia mengepalkan tangan, lalu menyambungkan kabel kecil dari giginya ke port logam modul Spectra lama. Sidik gigitan. Diterima.
Pintu kedua terbuka.
Yang tersisa: frase kunci kalimat sandi yang harus diucapkan.
Arya terpaku.
Ingatannya memutar kembali suara Rama dalam satu misi:
"Kalau kita mati, bilang aja kita 'terjebak dalam kalimat tak selesai.' Maka tak ada yang bisa nyentuh warisan kita."
Arya menarik napas.
“Kalimat tak selesai.”
[VALIDATED]
Lampu berubah hijau. Node dinonaktifkan.
Laksmi berdiri menatap layar. “Itu baru satu dari tiga. Dua lagi… jauh lebih sulit.”
Arya menoleh. “Kalau itu yang baru ‘terlantar’. Apa yang terjadi di node aktif?”
Tembakan dari luar kembali terdengar. Tapi malam itu, Arya tahu:
Satu pintu sudah ditutup. Tapi dua lainnya…
Arya menutup matanya sesaat, lalu membuka kembali layar terminal.
Frase kunci pelunak harus berasal dari log misi terdahulu dan hanya bisa dikonfirmasi jika ia mengucapkan suara yang cocok dengan sample biometrik suara Rama yang tersimpan di dalam sistem.
Ia menelan ludah. "Kalimat tak selesai," bisiknya.
Tapi terminal diam.
Lalu ia berkata lagi, pelan—dengan nada persis seperti Rama sering meniru penyiar radio saat remaja dulu:
"Kalimat tak selesai... dan segelas kopi sore hari."
Terminal berbunyi pendek. Diterima.
Pintu mekanik terbuka pelan ke arah lift teknis menuju atap. Di layar:
[Node relay lokal: dinonaktifkan]
[Sinyal uplink: diam]
Tapi suara dari luar justru semakin keras sniper dan unit pasif sudah masuk dari perimeter barat. Arya dan Laksmi tak punya waktu turun. Satu-satunya jalan: ke atas. Lewat atap.
04.23 | Atap Menara Relay – Tirta Grendel
Angin di ketinggian mencambuk wajah Arya. Pemandangan dari atap menara relay memperlihatkan kota yang mati tapi tidak sunyi. Di kejauhan, di antara kabut pagi yang mulai turun, lampu-lampu merah kecil menyala satu per satu di atas bangunan-bangunan tua. Sniper thermal, minimal dua. Mereka baru saja bangkit.
“Mereka bawa tim pembersih,” kata Laksmi, pipinya berdarah, luka sobek ringan dari benturan sebelumnya.
“Unit pasif yang diberi satu perintah: siapapun yang masuk zona, hilangkan jejaknya.”
Arya membuka tas kecilnya dan mengeluarkan perangkat pemblokir sinyal L3-FENIX disruptor hanya aktif selama 18 detik. Itu cukup untuk memutus komunikasi drone penyerang dan membuka celah kabur.
“Aku butuh waktu tiga detik untuk loncat ke atap seberang,” katanya.
“Atap itu retak,” sahut Laksmi.
“Aku lebih percaya tanah yang retak… daripada peluru yang tepat.”
04.25 | Ekstraksi Putus
Dua tembakan senyap dilepaskan dari arah timur. Arya menggulung tubuh ke belakang dan menarik Laksmi masuk ke ventilasi teknisi.
“Rute bawah,” katanya tegas.
Di dalam terowongan teknis sempit, mereka bergerak cepat. Peluru menembus dari atap ventilasi atas peluru SS190 armor-piercing, suara khas senapan FN P90. Lawan bukan orang biasa.
Mereka mencapai tangga darurat. Laksmi menarik seutas kabel dan menyambungkannya ke panel EMP mikro dilepas, mematikan sensor penjejak di dua lantai bawah.
Tapi begitu mereka keluar ke koridor belakang bangunan lama… mereka disambut siluet tinggi dengan helm taktis berlapis meta-keramik, senjata di tangan: FN SCAR-H modifikasi berat, moncong senapan sebesar kaleng cat.
Arya mengangkat tangannya pelan.
“Kamu bukan dari dalam negeri,” katanya.
“Dan kamu bukan siapa-siapa lagi,” jawab pria itu, dengan suara beraksen Balkan.
Arya melihat celah di kiri.
“Kalau mau nembak, sebaiknya sekarang.”
“Kenapa?”
Arya mengaktifkan bom tekanan suara frekuensi rendah yang ia sembunyikan di dalam sepatu. Ledakan nyaris hening, tapi cukup untuk membuat lawan kehilangan orientasi.
Dalam 2 detik:
Arya menubruk dada lawan.
Laksmi menembak lututnya dengan Glock 18.
Mereka berlari ke arah pembuangan air bawah tanah.
04.42 | Kanal Sungai Mati – Lintasan Ekstraksi
Dengan pelipis berdarah dan tangan gemetar, Arya membuka radio komunikasi darurat.
“Node Tirta dinonaktifkan. Tapi kami dilacak. Dua jam lagi, kami tak bisa masuk node berikutnya tanpa backdoor.”
Jawaban datang pelan. Bukan dari Jakarta. Tapi dari… lokasi yang ditandai sebagai hilang sejak 2017.
“Arya… Aku tahu kamu membaca ini.”
“Kita butuh kamu untuk aktifkan kembali sandi Rama.”
“Kalau kamu tidak ke node berikutnya Kota Bulan, semua yang kita hindari… akan aktif dengan sendirinya.”
Arya menatap layar.
Nama pengirim: Fahmi Nuruddin.
Laksmi berbisik.
“Babak berikutnya… sudah dimulai.”
Dan di langit yang memucat di atas kota mati Tirta Grendel, tiga drone bayangan muncul. Mereka tidak menyerang. Hanya mengamati… dan mengirim sinyal ke langit.
“0.0 aktif. Target berikutnya: Kota Bulan.”
Bab ini berakhir di api, darah, dan sinyal yang tak bisa dihentikan.