Bab 1. Pukul 03.33

Malam itu sunyi, terlalu sunyi. Hujan baru saja berhenti mengguyur kota, meninggalkan jejak rintik di jendela kamar Rey. Suara detik jam terdengar jelas—terlalu jelas—seolah setiap detik adalah penanda bahwa sesuatu sedang bergerak… mendekat.

Rey menatap layar ponselnya yang baru saja menyala sendiri di atas meja. Tidak ada notifikasi, tidak ada panggilan. Hanya jam digital yang menunjukkan waktu: 03:33 AM.

Ia mengerutkan kening.

Sudah tiga malam berturut-turut ia terbangun tepat di jam yang sama. Selalu karena suara yang tak bisa ia jelaskan—seperti bisikan, atau mungkin hanya imajinasinya yang terlalu lelah.

Tapi malam ini berbeda.

Ada panggilan masuk.

Nomor tak dikenal.

Ponselnya berdering tanpa suara. Hanya getar yang pelan, seperti nyawa yang bergetar menjelang ajal.

Rey (3:33) – Unknown Caller

Tanpa berpikir panjang, ia menekan tombol jawab.

"Halo?" suaranya serak.

Hening.

Lalu suara lirih muncul dari seberang.

> “Kamu dengar aku sekarang, kan?”

Suara itu… miliknya sendiri.

---

Mimpi yang Bukan Mimpi

Rey terjatuh dari tempat tidur, napas memburu. Keringat dingin membasahi leher dan punggungnya. Ia memandang sekeliling—kamarnya tetap sama. Dinding kelabu, poster-poster horor di dinding, dan rak buku yang berantakan.

Tapi hatinya tahu. Sesuatu telah berubah.

Ia meraih ponsel. Tidak ada panggilan masuk. Tidak ada riwayat.

Tapi wallpaper-nya berubah.

Dari semula foto keluarga… kini menjadi gambar lorong gelap dengan tulisan di atasnya:

> “Rey, kami menunggumu di ujung.”

Tangannya gemetar.

Di luar, angin meniup jendela hingga berderit. Hening menelan seluruh ruangan. Tapi telinganya menangkap suara samar:

> “Rey… Rey…”

Seperti ada yang memanggil namanya dari dinding.

---

Pagi yang Salah

Keesokan paginya, Rey duduk di kantin kampus bersama Arka, sahabatnya. Ia tampak lemas, matanya sembab.

“Lo kurang tidur lagi, ya?” Arka bertanya sambil menyeruput kopi.

Rey mengangguk. “Lo percaya kalau suara bisa datang bukan dari dunia ini?”

Arka menaikkan alis. “Maksud lo?”

Rey menarik napas panjang. Ia menceritakan soal panggilan jam 3:33, suara dirinya sendiri, dan wallpaper aneh yang muncul tanpa ia ganti.

Arka tertawa pelan. “Lo kebanyakan nonton film, bro. Mungkin lo halu.”

Rey ingin tertawa juga, tapi pikirannya tak bisa lepas dari suara itu.

> “Kamu dengar aku sekarang, kan?”

Itu bukan mimpi. Itu nyata.

Ia bisa rasakan sesuatu dalam dirinya telah... bergeser.

---

Tanda Pertama

Saat kembali ke kamar malam itu, Rey menemukan satu hal yang tak ia sadari sebelumnya: angka kecil di pergelangan tangannya.

5.

Ia yakin sebelumnya tidak ada. Angka itu bukan tato, bukan tinta. Tapi tampak seperti bayangan yang terus menempel.

Semakin ia menatap angka itu, semakin pusing kepalanya. Di kepalanya, suara itu kembali muncul, kini lebih jelas:

> “Lima malam sebelum kau dilupakan.”

Rey menjerit dan membanting ponselnya ke lantai. Layarnya retak. Tapi ia tak peduli. Ia tahu, ini bukan sekadar gangguan tidur. Ada sesuatu yang mengawasinya.

Dan malam ini… akan jadi awal.

---

Panggilan Kedua

03:33.

Rey terbangun. Ponselnya menyala dengan sendirinya. Kali ini, tak ada nomor. Hanya nama yang muncul di layar:

“Rey dari Dunia Lain”

Ia ragu. Tapi jarinya menyentuh ikon hijau itu. Sambungan terhubung. Tak ada suara.

Hanya… isak tangis.

Tangisan bocah kecil.

> “Kamu yang ninggalin aku di sana...”

“Kenapa kamu lari?”

“Aku masih menunggumu di tempat terakhir...”

Suara anak itu membuat dada Rey sesak. Ia tidak ingat pernah menelantarkan siapa pun. Tapi kenapa rasanya… suara itu sangat familiar?

> “Siapa lo?” Rey bertanya.

Jawabannya membuat bulu kuduknya berdiri:

> “Aku… adalah kamu… yang kamu kubur waktu kamu milih lupa.”

---

Luka Lama yang Terbuka

Pagi berikutnya, Rey membuka album foto lama.

Ia mencoba mengingat—adakah masa kecil yang ia tutup rapat?

Dan di balik salah satu foto usang, ia menemukan tiket masuk taman bermain—terbakar di sudutnya, masih tersisa tulisan samar:

> “Selamat Datang di Dunia Bahagia!”

Rey merasa pusing. Gambar sekilas muncul dalam benaknya:

Kolam renang. Seorang anak tenggelam. Seorang ibu menjerit.

> Apakah… dia pernah hampir mati?

Apakah itu… Rey kecil?

Kenapa ia tidak ingat sama sekali?

Dan siapa yang menyelamatkannya?

Atau... tidak menyelamatkannya?

---

Titik Balik

Rey akhirnya menulis di buku hariannya:

> “Setiap malam jam 3:33, aku mendapat panggilan.

Suaraku sendiri memanggil dari tempat yang aku lupakan.

Angka di pergelangan tanganku terus menghitung mundur.

Aku tidak tahu apa yang terjadi. Tapi aku tahu ini bukan kebetulan.

Sesuatu… telah dibuka.”

Dan saat ia menutup buku itu, layar ponselnya menyala sendiri:

“4 malam tersisa.”

---

Rey berjalan keluar kamarnya malam itu, membawa jaket dan senter. Ia tahu ke mana harus pergi: taman bermain lama di ujung kota—yang sudah ditutup setelah insiden tak disebutkan 15 tahun lalu.

Langkahnya mantap.

Dan di belakangnya, suara kecil terdengar—dari bayangannya sendiri:

> “Akhirnya kamu datang mencariku, Rey…”

---

🕯️ To be continued…

> Rey telah membuka pintu pertama menuju masa lalu yang dikuburnya sendiri. Tapi apa yang menunggu di balik ingatan itu bukan hanya kenangan… melainkan roh-roh yang tak pernah benar-benar pergi.