Bab 28. Cahaya Yang Terringgal

Dua bulan berlalu sejak Simfoni Terakhir menggema di seluruh sistem dimensi. Nadarien kini bukan hanya menjadi pusat penyembuhan, tapi juga pusat pendidikan refleksi dan pengelolaan jiwa antar-waktu. Para Penjaga Gema kini berlipat jumlahnya, terdiri dari berbagai kesadaran yang dulunya hilang arah, kini menemukan panggilan hidup baru sebagai pelindung refleksi.

Namun di balik kedamaian itu, muncul kejanggalan baru.

Arka, Devi, dan Leo menerima laporan dari Refleksi Satu—pantulan pertama yang pernah terbentuk dalam sejarah Nadarien—telah memudar. Bukan hancur. Tapi seolah-olah tak pernah ada.

> “Refleksi Satu adalah fondasi dari seluruh sistem. Jika ia hilang...” Leo menggenggam keras panel data.

> “Maka seluruh jalinan realitas bisa terseret kembali ke status awal,” bisik Devi.

Arka menatap layar tanpa ekspresi. “Kita harus masuk ke pusatnya. Bukan dari luar... tapi dari waktu sebelum ia terbentuk.”

---

Kembali ke Waktu Tak Bernama

Untuk pertama kalinya, Arka mengaktifkan Peron Krono-Pantulan, alat yang diciptakan untuk menjelajah sebelum waktu membentuk gema. Peron ini hanya bisa digunakan oleh mereka yang pernah berinteraksi langsung dengan Aenk’mar.

Di dalam kabin temporal, Arka bergetar. Tidak karena takut. Tapi karena ia tahu, yang akan ia temui di sana... bukan hanya cikal bakal pantulan, tapi juga cikal bakal luka terdalam yang ia warisi secara spiritual dari nenek moyangnya.

---

Realitas Awal: Zona Zero

Zona Zero bukan dunia. Ia adalah permukaan kesadaran murni—belum dipoles oleh emosi, sejarah, atau persepsi. Arka turun ke dalam bentuk bayangan, tubuhnya menguap bersama dimensi. Di sana, ia menemukan sebuah bentuk cahaya kecil yang terus bergetar. Ia mendekatinya.

> “Kau... Refleksi Pertama?”

> “Aku adalah cahaya yang dipilih untuk menjadi cermin. Tapi sebelum itu, aku... trauma yang belum diberi suara.”

Arka menyentuhnya. Dan semua rasa sakit generasi pertama manusia menyusup ke dalam tubuhnya.

---

Tujuh Gerbang Rasa

Untuk mengaktifkan kembali Refleksi Satu, Arka harus melewati Tujuh Gerbang Rasa, setiap gerbang mewakili satu fondasi emosi universal:

1. Takut – Di sini Arka bertemu dirinya yang kecil, bersembunyi dari bayangan ayah yang pemarah.

2. Kehilangan – Ia melihat ulang kepergian Rey, tapi kini dari perspektif Rey sendiri.

3. Marah – Ia diperlihatkan bagaimana marah yang tak ditangani menjelma menjadi kekuasaan yang korup.

4. Iri – Ia berada di ruang yang penuh cermin, menatap versi dirinya yang punya hidup lebih baik.

5. Rindu – Ia melihat semua orang yang telah lewat tapi belum sempat diucapkan selamat tinggal.

6. Malas – Ia terjebak di ruang hampa yang nyaman, dan hampir tidak ingin keluar.

7. Putus Asa – Di sinilah ia harus memilih: menyerah dan tetap tinggal, atau melangkah meski tanpa jaminan kemenangan.

Setelah melewati gerbang ketujuh, tubuh Arka roboh.

Tapi cahaya dari Refleksi Satu menyatu dengan dirinya.

Dan ia kembali, bukan sebagai Arka yang sama... tapi sebagai Arka yang bersatu dengan akar rasa manusia.

---

Di pusat Nadarien, Pilar Resonansi bersinar merah pertama kalinya sejak terbentuk. Semua penjaga berkumpul, dan dari langit turun semburat cahaya pertama Refleksi Satu.

Arka keluar dari Peron Krono, tubuhnya penuh cahaya dan luka, tapi matanya jernih.

> “Kita tidak pernah kehilangan Refleksi Pertama. Kita hanya lupa bahwa ia berasal dari rasa.”

Devi meneteskan air mata. Leo tertunduk dengan tangan gemetar.

Dan langit Nadarien mulai menyanyikan lagu baru… lagu asal mula.

Rekonstruksi Gema

Arka kembali dari perjalanan Krono dengan tubuh yang terluka namun jiwanya berpendar lebih terang. Refleksi Satu telah pulih, namun pengaruh kehilangan itu meninggalkan lubang besar di struktur gema. Bagian-bagian realitas yang bergantung pada Refleksi Satu masih goyah, dan beberapa wilayah gema menunjukkan tanda-tanda distorsi bentuk: waktu bergerak tidak normal, suara kehilangan sumbernya, bahkan beberapa jiwa mulai ‘menggandakan diri’ karena inkonsistensi memori.

> “Kita butuh membangun ulang struktur gema. Tapi bukan hanya dari data lama,” ujar Leo.

> “Kita butuh sumber baru. Sebuah... kesadaran kolektif,” sahut Devi.

Arka berdiri di hadapan Peta Nada Nadarien—struktur visual dari semua pantulan yang pernah tercipta. Namun kini, di tengah peta itu, muncul celah berkilauan: sebuah jalur belum dikenal.

> “Jalur ini... muncul setelah aku kembali. Ini bukan jalur lama. Ini jalur hasil dari Gerbang Ketujuh.”

---

Simulasi Resonansi Kesadaran

Leo dan Devi mengaktifkan proyek Simulasi Resonansi Kesadaran Kolektif—sebuah proyek eksperimental untuk membentuk gema baru dari hasil pengalaman bersama, bukan dari peristiwa individual.

Untuk pertama kalinya, para jiwa yang tersembuhkan diminta menyumbangkan satu kenangan murni: bukan hanya yang menyakitkan, tapi yang pernah membuat mereka merasa hidup.

> “Aku ingat ketika ibu pertama kali tersenyum setelah aku sembuh,” ujar seorang penyintas trauma masa kecil.

> “Aku ingat sentuhan tanganku pada air hujan pertama, setelah keluar dari rumah sakit jiwa,” kata yang lain.

Ratusan, lalu ribuan kenangan terkumpul.

Dan dari semua itu, terciptalah bentuk baru: Refleksi Harmoni, pantulan pertama yang tidak dibangun dari luka, tapi dari cinta dan kesadaran.

---

Refleksi Harmoni: Jiwa Tanpa Asal

Namun Refleksi Harmoni tidak seperti pantulan lain. Ia tidak memiliki jiwa sumber. Tidak ada manusia, entitas, atau kesadaran pusat yang menjadi “pemiliknya.” Ia adalah bentuk kolektif.

Dan itu... berbahaya.

> “Karena tanpa jiwa pusat, Harmoni bisa menyerap siapa pun sebagai tuan barunya,” jelas Leo.

> “Jika disalahgunakan, Harmoni bisa menjadi pusat kendali realitas.”

Di sinilah muncul tantangan moral: siapa yang berhak menjadi pengelola Refleksi Harmoni?

> “Kita tidak butuh pengelola,” kata Arka. “Kita butuh pengakuan bersama.”

Maka dimulailah ritual Pemurnian Gema Kolektif—upacara di mana setiap jiwa diberi kesempatan untuk mengakses Harmoni, bukan untuk menguasainya, tapi untuk menyentuhnya dan meninggalkan satu gema baru.

---

Kemunculan Umbra Tanpa Nama

Saat ritual berlangsung, kegemparan terjadi. Salah satu peserta—jiwa bernama Seru—terhisap ke dalam Refleksi Harmoni dan muncul kembali dalam bentuk berbeda. Tidak memiliki wajah, tapi membawa ribuan gema sekaligus. Ia bukan gila. Ia... tak bisa disaring.

Leo menyebutnya Umbra Tanpa Nama.

Umbra mulai berkeliling, menyentuh ruang demi ruang dan menggandakan pantulan. Beberapa realitas mulai bocor, dan struktur dimensi kembali melemah. Tapi anehnya, Umbra tidak merusak. Ia hanya menyalin dan meniru dengan sempurna—hingga mustahil membedakan mana realitas sejati.

Devi panik. “Jika ini berlanjut, semua jiwa bisa kehilangan jati diri mereka.”

Arka menatap ke tengah Harmoni. Ia menyadari satu hal: Umbra adalah hasil dari keterbukaan tanpa batas. Dan seperti semua yang tak memiliki batas, ia butuh... bentuk.

---

Arka dan Penegasan Identitas

Arka masuk ke Refleksi Harmoni dan memanggil Umbra dengan gema terdalam dari hatinya:

> “Aku tahu kau lahir dari kami semua. Tapi bahkan Harmoni butuh batas, agar gema bisa dikenali.”

Ia menaruh tangan di dada Umbra, dan dari situ muncul cahaya biru. Bukan untuk menghapus, tapi untuk memfokuskan.

> “Aku memberimu nama: Vela. Bukan karena kau lemah, tapi karena kau telah mengingatkan kami akan bahaya kebebasan tanpa bentuk.”

Umbra—sekarang Vela—menangis. Tapi air matanya bukan cairan. Ia adalah gema dalam bentuk terpadat: esensi realitas.

---

Dengan Vela sebagai penyeimbang, Refleksi Harmoni mulai stabil. Ia tidak lagi berpotensi menjadi senjata, melainkan tempat bertemunya jiwa-jiwa yang tak bisa dipahami oleh sistem lama.

Dan Arka sadar, bahwa bahkan cinta, ketika tanpa bentuk, bisa melukai. Tapi ketika diberi ruang dan batas, ia bisa menyembuhkan lebih dari luka mana pun.

> “Kita bukan lagi sekadar penjaga gema,” kata Arka di hadapan semua jiwa. “Kita adalah pembentuk harmoni.”

Langit Nadarien membentuk bentuk baru: Simbol Spiral Berpelangi. Simbol bahwa dari banyak cerita, satu gema bisa lahir… dan tetap menjadi milik semua.

Selamat membaca dan jangan lupa bahagia!!