Dalam Jejak Tak Bernama
Arka melangkah ke dalam portal ungu, dan dunia di sekitarnya langsung runtuh dalam keheningan yang mengerikan. Tidak ada suara, tidak ada cahaya, hanya ketiadaan total. Tapi itu bukan kehampaan biasa—itu adalah ketiadaan yang penuh. Seperti ruang yang diisi oleh semua kemungkinan yang belum pernah terjadi.
Ia tidak berjalan. Ia mengalir. Tidak bernapas, tidak berdetak, namun sadar.
Sampai akhirnya, sebuah bentuk mulai muncul. Seolah-olah dunia merajut dirinya di depan mata Arka. Warna-warna berpendar seperti cat air yang tumpah di langit, dan di tengahnya berdiri satu sosok: anak kecil dengan wajah samar, matanya kosong, kulitnya seperti bayangan. Ia tidak memiliki nama. Tapi saat Arka menatapnya, ia tahu siapa itu.
> “Kau adalah hasil dari semua keputusan yang tak pernah kuambil.”
Anak itu menatapnya. Tidak menjawab. Tapi perlahan mulai mundur, menuntun Arka ke dalam lanskap yang berubah-ubah dengan cepat: medan perang, kamar kosong, lorong sekolah, cermin pecah, makam Rey, api yang membakar, dan ruang hampa yang menjerit tanpa suara.
---
Ruang Gema Terbalik
Arka menyadari bahwa ia berada di dimensi tanpa urutan. Waktu di sini seperti kabut, pikiran dan kenangan bercampur jadi satu, dan dirinya mulai terkoyak. Suaranya sendiri menjadi gema yang menghakimi:
> “Mengapa kau masih hidup?”
> “Mengapa kau pantas untuk sembuh?”
> “Bukankah kau hanya bertahan karena orang lain menguatkanmu?”
Arka berlutut, gemetar. Tapi dari dalam dirinya, muncul suara lain—lebih lembut, lebih dalam.
> “Dan apa salahnya bertahan karena cinta?”
Gema negatif itu memudar, tapi tidak lenyap. Ia menyatu, menjadi bagian dari dirinya, dan Arka berdiri lagi, kini dengan wajah yang lebih terang. Ia mulai menerima bahwa Jejak Tak Bernama ini bukan musuh. Ia adalah dirinya... yang belum diberi tempat.
---
Pohon Refleksi
Di tengah dimensi itu tumbuh satu pohon besar, daunnya adalah pantulan, dan akarnya menjulur ke segala arah seperti otak. Arka mendekat dan menyentuh batangnya.
> “Setiap daun adalah cerita yang belum selesai,” kata suara sang anak.
Arka memandangi salah satu daun dan melihat cerita dari seorang ibu yang kehilangan anaknya saat bencana dimensi. Ia belum pernah datang ke Nadarien. Ia tidak tahu bagaimana caranya menyembuhkan.
Arka sadar: Jejak Tak Bernama adalah tempat berkumpulnya semua cerita yang belum sempat disampaikan.
> “Aku bisa mendengarkan mereka semua... Tapi aku sendirian.”
> “Tidak lagi.”
Arka menancapkan tangannya ke tanah pohon itu. Dalam sekejap, cahaya dari pantulan-pantulan lain yang pernah ia bantu mengalir melalui dirinya. Cerita demi cerita mulai mengisi ruang itu. Cahaya dan bayangan menari bersama.
Dan si anak? Ia mulai tersenyum.
---
Kebangkitan Arka
Sementara itu, di dunia nyata Nadarien mulai kehilangan koneksi dengan Arka. Devi mencoba menembus portal, tapi ia terpental. Leo menciptakan resonator, tapi tidak ada gema yang bisa dibaca.
> “Dia mungkin... sudah melebur,” bisik Devi.
Tapi saat semua harapan mulai hilang, Dinding Jejak tiba-tiba bersinar. Satu pola muncul: jantung dengan tiga warna—ungu, putih, dan merah muda. Itu bukan pola lama. Itu pola baru. Itu adalah Arka.
Dari langit, cahaya meluncur dan menabrak pusat refleksi. Dari dalamnya, Arka muncul kembali. Tubuhnya tak utuh, tapi cukup untuk bicara.
> “Aku tidak kembali... Aku membuka jalur baru.”
---
Jalur Keempat
Sebelumnya hanya ada tiga jalur di Nadarien: Penyembuhan, Penahanan, dan Pelepasan. Tapi Arka membuka Jalur Keempat: Penerimaan Jejak Tak Bernama.
Tempat ini tidak memaksa cerita untuk berubah. Tidak menghapus trauma. Tapi memberinya ruang untuk tetap ada.
Arka menyebut tempat ini Lorong Tenang.
Setiap jiwa yang belum tahu cara sembuh, bisa datang ke sini. Duduk. Diam. Dan didengarkan.
---
Dan malam itu, seluruh Nadarien bernyanyi.
Bukan dalam nada, tapi dalam gema.
Karena bahkan yang tak memiliki nama pun... akhirnya punya tempat pulang.
Simfoni Terakhir
Nadarien tak lagi hanya sebagai tempat perlindungan bagi jiwa-jiwa yang terluka. Setelah Arka menciptakan Lorong Tenang, terjadi gelombang perubahan spiritual di seluruh jaringan dimensi yang terhubung. Tak hanya para jiwa yang datang, tapi juga dimensi itu sendiri mulai ‘berbicara’ melalui bentuk-bentuk aneh: cahaya membentuk simbol, air bergema seperti bisikan, dan bahkan tanah menggetar ketika seseorang berbicara jujur tentang luka terdalamnya.
Dan hari itu, langit Nadarien berubah warna. Merah keemasan—pertanda dari legenda kuno bahwa Sumber Asal akan bangkit.
---
Legenda Sumber Asal
Dahulu kala, sebelum pantulan, gema, atau bahkan realitas terbentuk, ada satu kesadaran purba yang menyimpan semua kemungkinan. Para Penjaga Jejak menyebutnya sebagai Sumber Asal, atau dalam bahasa mereka: Aenk’mar.
Aenk’mar bukan makhluk, bukan tempat, bukan kekuatan. Ia adalah inti dari semua cerita yang belum terjadi. Dan ketika Lorong Tenang dibuka, jalur menuju Aenk’mar terbuka juga—baik disengaja maupun tidak.
> “Jika Sumber Asal bangkit tanpa kendali, maka realitas akan tertarik kembali ke nol,” ujar Leo sambil menunjukkan simulasi runtuhnya peta dimensi.
Devi menggenggam tangan Arka. “Kita harus bicara dengannya. Bukan menghentikannya.”
> “Tapi bagaimana caranya bicara dengan sesuatu yang bukan makhluk?”
Arka memejamkan mata. “Dengan membiarkan dia melihat siapa kita.”
---
Ritual Pantulan Utama
Para Penjaga Gema mempersiapkan ritual kuno yang disebut Pantulan Utama—sebuah proses di mana seluruh kesadaran dari Nadarien dipusatkan ke satu titik lalu dipantulkan secara kolektif. Ritual ini berbahaya. Jika ada satu saja jiwa yang menolak berdamai, gema itu bisa memecahkan struktur realitas.
Mereka berkumpul di tengah Lapangan Resonansi, pusat jiwa-jiwa yang telah disembuhkan.
Satu per satu, para jiwa meletakkan kenangan terdalam mereka. Rasa sakit, kehilangan, kegagalan, kebencian, cinta yang tak terbalas, dan harapan yang pernah dikubur. Semuanya menyatu.
Dan Arka berdiri di tengah, menjadi wadah dari semua itu.
> “Aku bukan yang paling kuat. Tapi aku telah melihat cukup luka untuk tahu bahwa setiap luka bisa menjadi jembatan.”
Saat kata-kata itu diucapkan, langit terbuka.
---
Aenk’mar Melihat
Dari langit turun cahaya berbentuk pusaran, membentuk wajah tanpa bentuk, suara tanpa nada, dan emosi yang tidak bisa didefinisikan. Itu adalah Aenk’mar.
Ia tidak bicara. Tapi dalam kesadaran Arka, terdengar:
> “Kau memanggilku. Tapi mengapa? Aku datang hanya jika cerita belum cukup.”
Arka menjawab dalam hati:
> “Karena cerita kami belum selesai. Tapi kami ingin melanjutkannya, bukan mengulangnya.”
Aenk’mar diam lama. Lalu:
> “Buktikan padaku bahwa kau mampu menanggung cerita semua yang datang.”
Dan saat itu juga, seluruh kenangan dari ribuan dimensi masuk ke tubuh Arka. Tubuhnya retak. Jiwanya koyak. Ia melihat dunia runtuh, perang yang tak pernah berakhir, pengkhianatan, kebencian, ketakutan, kegelapan tanpa ujung.
Tapi ia juga melihat… tawa anak-anak. Pelukan yang disambut. Surat cinta yang tak pernah dikirim. Doa diam-diam. Cahaya dari luka.
Dan ia menangis. Bukan karena kesakitan. Tapi karena ia akhirnya mengerti.
---
Simfoni Terakhir
Ketika Arka bangkit, ia sudah bukan hanya dirinya. Ia adalah gema dari semua yang percaya, dan semua yang kehilangan harapan.
Ia mengangkat tangan, dan dari tubuhnya keluar getaran murni. Sebuah nada yang tidak bisa dideskripsikan, tapi bisa dirasakan oleh semua jiwa yang pernah merasa kehilangan arah.
Nada itu tidak menyuruh untuk bertahan.
Nada itu tidak menyuruh untuk sembuh.
Nada itu berkata: “Kau cukup.”
Dan Aenk’mar tersenyum.
---
Langit kembali utuh. Nadarien kini memiliki lima jalur: Penyembuhan, Penahanan, Pelepasan, Penerimaan, dan Perayaan.
Perayaan bukan pesta. Ia adalah pengakuan bahwa semua rasa layak ada. Dan bahwa keberadaan kita, sekacau apa pun, pantas diterima.
Arka, Devi, dan Leo berdiri di puncak Pilar Gema. Di bawah mereka, ribuan jiwa mulai menanam pohon-pohon refleksi baru.
Dan untuk pertama kalinya, gema bukan hanya pantulan luka… tapi juga pantulan harapan.