Bab 30. Bayangan Di Balik Cahaya

Nadarien kembali memantul dalam tenang.

Setelah Cahaya Abadi menyatu, gema-gema terasa lebih lembut. Tidak lagi ada teriakan dari masa lalu, tidak juga tangis dari luka yang belum sempat sembuh. Semuanya seperti telah dibereskan oleh arsitektur narasi yang Rey, Arka, dan para penjaga bentuk bersama.

Namun di tengah keheningan, Rey mulai terganggu.

Bukan oleh gema. Tapi oleh ketiadaan gema.

Suatu malam, saat berjalan menyusuri koridor panjang menuju Refleksi Harmoni, Rey merasa seolah pantulan dinding itu... menghindar. Biasanya, gema menyambutnya, menyentuh dirinya dengan kehangatan atau bahkan ketakutan yang akrab. Tapi kali ini, tidak ada yang datang. Bahkan bukan gema bisu—melainkan kosong.

Kosong, dan dingin.

Ia berhenti. Menatap lantai. Pantulannya sendiri... menghilang.

---

"Rey!"

Suara Devi memanggil dari kejauhan. Rey tersentak dari lamunannya. Ia melihat ke sekeliling dan menemukan dirinya berdiri di dekat Pintu Terselubung—sebuah area yang selama ini hanya dilewati oleh penjaga gema paling senior. Tidak seharusnya dia bisa sampai ke sini.

Tapi kakinya seolah ditarik.

"Aku... hanya berjalan biasa."

Devi mengernyit, "Kau sudah berjalan sejauh dua jam. Kami mencarimu."

Rey menunduk. Kepalanya berdenyut. Ketika ia memejamkan mata, muncul suara... suara lembut, bergema seperti dari dalam air.

> “Mengapa kau meninggalkanku di sana?”

Ia membuka mata cepat. Nafasnya terengah. Suara itu bukan berasal dari gema. Suara itu datang dari luar sistem.

---

Malam itu, Rey mengurung diri di dalam ruang resonansi pribadinya. Ia menyentuh kristal pantulan dan mencoba memanggil Arka. Tidak ada jawaban. Arka sedang dalam pemurnian dalam Cahaya Abadi.

Dan gema-gema dalam dirinya mulai berbicara. Bukan kepada Rey... tapi melaluinya.

> "Ia akan datang lagi. Ia belum selesai."

> "Mata itu, mata yang tidak pernah memejam."

> "Bayangan dari dalam cahaya. Ia tidak pernah mati."

Rey menggenggam kepalanya. Gema-gema yang seharusnya tenang kini berubah jadi jalinan bisikan aneh. Ia mencoba bernapas dalam, mengatur ulang denyut pantulan, tapi... ada sesuatu yang menolak diatur.

---

Beberapa hari kemudian, Leo mengadakan pertemuan darurat dengan Devi dan Raka.

"Pantulan Rey menghitam," ujar Leo sambil menunjuk grafik resonansi. "Bukan karena korupsi. Tapi... karena sesuatu mencoba menyatu melalui dirinya."

Devi menoleh cepat. "Null Gema? Bukankah mereka telah diserap oleh struktur Cahaya Abadi?"

Leo menggeleng pelan. "Ya. Tapi apa jadinya jika Cahaya Abadi sendiri mulai... retak dari dalam?"

---

Rey duduk di lorong sunyi. Ia mendengar suara tawa kecil. Bukan menyeramkan. Tapi... akrab. Seperti tawa seseorang yang dulu pernah dekat.

Tiba-tiba, di pantulan jendela Cahaya, muncul wajah.

Wajah seorang anak... laki-laki.

Wajah yang tidak ia kenali, namun sangat... familiar.

> "Aku di sini, Rey. Aku tidak pernah pergi."

Pantulan itu tertawa. Dan sesaat kemudian, cahayanya redup. Terhapus.

Rey tidak menangis. Tapi seluruh tubuhnya menggigil.

Untuk pertama kalinya sejak Nadarien menjadi harmonis, ia merasa takut.

Dan itu... baru permulaan.

Lorong pantulan mulai terasa asing. Setiap sudut, setiap lekuk cahaya yang biasa menenangkan Rey, kini memantulkan sesuatu yang berbeda—seperti gema dari tempat lain yang tidak seharusnya hadir di Nadarien. Malam-malam Rey dipenuhi oleh suara, dan siangnya... tak lebih dari bayangan kabur yang terus mengikuti tanpa bentuk.

"Rey," bisik suara itu malam ini, saat ia kembali ke lorong tempat ia terakhir melihat anak laki-laki itu. "Kau mengenalku. Bahkan sebelum aku dilahirkan."

Rey mendekat. Lorong itu berdenyut seperti napas makhluk hidup. Lantai berubah jadi cermin kusam, dan dinding berubah menjadi tekstur seperti kulit yang menua. Cahaya di ujung lorong bergoyang—bukan karena angin, tapi karena... takut.

Ia melangkah masuk. Gema di sekelilingnya berbisik, namun bukan seperti gema biasa. Mereka menirukan suara-suara dari masa lalunya: Arka, Raka, bahkan suara tawa kecil Rey sendiri waktu kecil. Tapi semua suara itu memiliki nada yang keliru—seperti diputar terbalik.

---

Di pusat lorong itu terdapat pintu hitam.

Pintu itu tidak punya pegangan. Tidak punya bingkai. Tapi jantung Rey berdegup lebih keras setiap kali ia menatapnya.

"Di sinilah aku," suara itu berkata lagi. Kali ini, dari balik pintu.

Rey menyentuh permukaannya. Dingin. Lebih dingin dari apapun yang pernah ia rasakan di Nadarien. Seketika, pantulan dirinya di permukaan pintu itu berubah. Bukan dirinya sekarang. Bukan dirinya yang lama.

Melainkan... dirinya tanpa cerita.

---

"Rey! Jangan buka pintu itu!"

Devi muncul dari ujung lorong, wajahnya pucat, gema di sekelilingnya bergetar liar.

"Itu... itu Ruang Gema Terbalik! Pintu yang mengarah ke tempat narasi gagal dilahirkan!"

Tapi Rey sudah mendengar suara itu lagi.

> "Jika kau tak membukanya, mereka semua akan hilang."

Rey memalingkan mata ke Devi. "Aku harus tahu siapa dia. Siapa yang memanggilku setiap malam."

Devi mundur setengah langkah. Tapi ia tahu... Rey tidak bisa dicegah.

---

Saat pintu itu terbuka, semua cahaya di lorong padam. Hanya ada warna abu-abu yang memanjang seperti kabut, menyelimuti langkah demi langkah Rey.

Di dalam, tidak ada gravitasi. Tidak ada batasan bentuk. Tapi Rey bisa melihat ruang itu "bergerak"—seperti perut dari monster kuno yang hanya hidup dari narasi yang dibatalkan.

Dan di tengah ruangan itu... berdiri sosok anak laki-laki. Sama seperti sebelumnya.

Tapi kali ini ia tidak tersenyum.

"Kau datang. Kau yang memilih. Maka dengarkan aku."

Rey mencoba berbicara, namun suaranya menghilang bahkan sebelum terbentuk. Anak itu menatapnya dengan mata kelam yang tidak memantulkan apapun.

> "Namaku adalah sisa. Aku adalah narasi yang tidak diizinkan. Aku lahir dari keraguanmu sendiri, Rey. Dari ketakutanmu mencintai sesuatu yang bisa hilang."

---

Gema di sekelilingnya berubah menjadi serpihan bayangan. Rey melihat fragmen kehidupannya: saat Arka hampir musnah, saat Rey menolak pengakuan cintanya, saat ia ragu apakah keberadaannya sendiri berhak atas pantulan.

"Kau telah membunuhku dalam kemungkinan. Dan kini aku hidup dalam ketiadaan."

"Siapa... siapa kau sebenarnya?" bisik Rey.

"Aku adalah 'Rey' yang tak pernah memilih untuk menyentuh Cahaya Abadi. Aku adalah versi yang tidak mencintai. Dan itu... membuatku sempurna untuk rumah ini."

---

Tiba-tiba, struktur ruang mulai runtuh. Cahaya menembus dari dinding, tapi bukan cahaya Nadarien. Cahaya itu tajam, dingin, dan... lapar.

"Keluar dari sana, Rey!" suara Arka bergema dari resonansi darurat.

Tapi anak itu mendekat. "Belum. Aku belum selesai. Jika kau pergi sekarang, aku akan menyebar. Aku akan muncul di setiap pantulan, setiap gema, setiap narasi yang gagal kau tulis."

Rey bergetar. "Apa yang kau inginkan?"

"Sederhana. Sebut namaku. Akui aku sebagai bagian dari ceritamu. Dan aku akan berhenti."

---

Rey ragu. Tapi ia tahu... jika ia menolak, entitas ini akan terus menular.

"Kau adalah... aku. Rey yang hilang. Rey yang tak berani mencintai."

Anak itu... tersenyum. Dan tubuhnya mulai larut dalam cahaya.

---

Rey terbangun di ruang pantulan, dikelilingi Devi, Leo, dan Arka.

"Kau membuka ruang yang seharusnya tak dibuka," ujar Arka pelan. "Tapi... aku mengerti mengapa."

Rey menatap tangannya. Di permukaan kulitnya, muncul pola baru: simbol gema yang belum diberi nama.

Dan dari kejauhan, gema baru mulai tumbuh. Gema yang tidak lahir dari keberanian atau harapan, tapi dari penerimaan atas kemungkinan yang ditolak.

Itulah awal dari narasi baru.

Dan Rey tahu... bayangan dari dalam cahaya belum benar-benar hilang.

Selamat membaca dan jangan lupa bahagia!!