Percikan di Balik Tatapan Kosong

Hari-hari setelah kejadian itu terasa berbeda.

Aika Fuyuki masih terlihat diam dan menyendiri, tapi kini, tatapan kosongnya tak lagi sepenuhnya mati. Ada sesuatu di balik mata itu—sebuah percikan kecil, seperti bara yang mulai menyala. Dan Kazuki melihatnya dengan jelas.

Di dalam kelas, mereka masih bertindak seolah tidak saling mengenal. Tapi dari sorotan mata, dari detik-detik ketika Kazuki pura-pura menguap dan Aika melirik sekilas, keduanya tahu bahwa mereka mulai terhubung.

Saat pelajaran kosong, Kazuki menyelipkan sebuah kertas ke laci meja Aika. Tulisan tangan yang rapi, singkat:

"Target akan pulang malam. Aku akan bergerak besok. Jika kau ingin melihatnya, temui aku di depan minimarket pukul 21.00."

Aika menggenggam kertas itu erat.

Di dalam dirinya, rasa takut dan gelisah berbaur dengan sesuatu yang asing—ketegangan, harapan, dan... keinginan untuk tidak menjadi korban lagi.

Malam itu,

Aika datang. Hujan turun lagi, seperti biasa di kota ini. Kazuki berdiri di bawah atap minimarket, mengenakan hoodie hitam, tangan di saku. Saat Aika tiba, ia menoleh pelan.

“Kau yakin ingin melihat ini?” tanyanya.

Aika mengangguk. Tak ada lagi air mata. Hanya sorot mata yang dingin, mirip seperti milik Kazuki.

Mereka berjalan bersama, diam-diam membuntuti pria paruh baya dengan tubuh gempal yang berjalan sempoyongan menuju rumah kecil di pinggiran kota. Ayah Aika.

Kazuki tahu rute. Tahu cara masuk. Tahu kapan harus menyerang.

Kazuki masuk dengan mulus ke dalam rumah. Kuncinya sudah ia duplikat sebelumnya, berkat informasi dari Aika. Ia tahu tata letak rumah. Ia tahu ayah Aika biasa menonton televisi dengan volume keras dan botol kosong berserakan.

Kazuki muncul dari balik kegelapan, dan dalam satu gerakan cepat, pisau panjang menancap tepat ke tenggorokan pria itu. Tak sempat berteriak, tak sempat melihat siapa pembunuhnya.

Ia menarik napas dalam, lalu menghapus jejak.

Kazuki mengenakan sarung tangan, menyeka sidik jari, membungkus tubuh ayah Aika dengan selimut tua, lalu menyeretnya ke kamar. Ia menyiramkan bensin yang sudah ia siapkan sebelumnya ke beberapa titik strategis—tirai, tumpukan koran, dan dapur.

Sebelum pergi, ia menaruh benda kecil di bawah meja makan: lilin yang hampir habis, menyala pelan.

Dan saat ia kembali ke tempat Aika berdiri, hanya berselang lima menit kemudian, api mulai melahap rumah itu dari dalam.

Aika terperangah, melihat kobaran merah menghanguskan tempat yang selama ini menjadi penjara batinnya.

Kazuki menarik hoodie-nya dan berkata pelan, “Sekarang, tak ada yang menghalangimu.”

Aika menatap kobaran api itu, lalu menatap Kazuki. Tidak ada tangis. Tidak ada rasa bersalah.

Malam itu, Aika tidak pulang ke rumah yang sudah jadi abu. Ia mengikuti Kazuki ke apartemen kecil miliknya, tempat persembunyian yang dingin tapi... terasa lebih seperti rumah daripada rumah sebelumnya.

Kazuki menyediakan satu kamar untuknya. Bukan sebagai tamu, tapi sebagai partner.