Keesokan harinya, Aika duduk di bangkunya seperti biasa—baris ketiga dari belakang, dekat jendela. Hujan masih turun, meskipun lebih ringan dari kemarin. Tapi dalam dirinya, badai belum benar-benar reda.
Murid-murid lain ramai dengan obrolan yang tidak penting. Tentang ujian, drama gosip antar kelas, dan siapa yang katanya diam-diam berkencan. Suara mereka menggema di kepala Aika seperti peluru kosong—berisik, tapi tak pernah mengenai apa pun.
Di pojok ruangan, Kazuki duduk dengan wajah datar. Ia menulis sesuatu di bukunya, entah catatan pelajaran atau mungkin hanya coretan kosong. Tapi sesekali... tatapannya melirik ke arah Aika.
Aika sadar, tentu saja. Dan untuk pertama kalinya, ia tak merasa ingin berpaling. Ada sesuatu dalam tatapan dingin itu yang justru... menenangkan. Seolah Kazuki adalah satu-satunya orang di dunia ini yang tidak pura-pura peduli.
Jam istirahat tiba.
Aika diam di tempat, tidak tertarik keluar kelas. Ia pikir Kazuki pun begitu. Tapi saat semua orang pergi, Kazuki tiba-tiba berdiri dan berjalan ke arah mejanya.
"Ikut aku," katanya datar.
Aika menatapnya, bingung.
"Ke mana?"
"Tempat yang sepi. Atap, lagi."
Aika hampir tersenyum kecil. Ironi yang lucu. Kemarin dia nyaris mati di sana. Hari ini, dia justru diajak kembali... oleh orang yang menyelamatkannya.
Di atap sekolah, hujan hanya tinggal gerimis. Kazuki menyandarkan tubuhnya ke pagar, lalu membuka sesuatu dari sakunya—sebuah foto. Ia menunjukkannya pada Aika.
"Ayahmu. Kakakmu. Aku menyelidiki mereka sebelum pindah ke sini," ucap Kazuki tanpa ekspresi.
Aika terdiam. Tubuhnya kaku.
"Aku tidak menyelamatkanmu karena kasihan. Aku tahu rasa sakit itu. Aku tahu apa yang mereka lakukan padamu. Dan aku... benci orang seperti mereka."
Aika menunduk. Tangannya mengepal.
"Aku bukan orang baik, Aika," lanjut Kazuki. "Tapi jika kau ingin balas dendam... kau tidak perlu sendirian."
Saat itu, untuk pertama kalinya, Aika tidak merasa lemah. Di matanya yang sembab, perlahan muncul api kecil—tidak besar, tapi cukup untuk menghanguskan masa lalu.