Dua minggu setelah hilangnya Mio, kabar mulai berhembus di sekolah. Polisi datang diam-diam, menanyakan banyak hal. Beberapa siswa mulai gelisah, tapi tidak ada bukti, tidak ada saksi, dan yang tersisa hanyalah teka-teki.
Rina, yang awalnya hanya diam, perlahan mulai curiga. Ia melihat perubahan di wajah Aika—ada sesuatu yang lebih tajam dari biasanya, sesuatu yang menyeramkan.
Malam itu, Aika menyusul Rina yang sedang duduk sendirian di taman sekolah. Tidak seperti Mio, Rina sudah bersiap kabur saat Aika muncul.
Tapi Aika bukan gadis biasa lagi. Ia tahu bagaimana membungkam, bagaimana menusuk dengan presisi.
Rina pun menghilang, sama seperti Mio.
Keesokan harinya, seorang siswa pindahan memperkenalkan diri di depan kelas.
“Namaku Yuto Asanagi, senang bertemu kalian semua.”
Rambutnya hitam rapi, senyumnya tenang, dan wajahnya... seperti siswa biasa. Terlalu biasa.
Kazuki langsung menatapnya dalam-dalam. Nalurinya bicara—ada yang tidak beres. Terlalu cepat. Terlalu pas.
Beberapa hari berlalu,
Yuto mulai mendekati Aika. Ramah, sopan, dan penuh perhatian.
“Aku pernah pindah sekolah juga... rasanya berat, ya?” katanya sambil menawarkan bantuan.
Aika hanya tersenyum dingin. Tapi Kazuki memperhatikan setiap langkah Yuto, dari cara dia memegang buku, nada bicara, hingga sepatu hitam bersihnya yang bukan sepatu anak SMA biasa.
Malamnya, Kazuki menempelkan peta kecil di dinding apartemen mereka. Ia memasang foto Yuto.
“Dia bukan anak sekolah biasa. Aku yakin... dia dikirim untuk mencari kita.”
Aika menatap foto itu. Ada rasa takut... tapi juga semangat aneh di matanya. “Kalau begitu... dia harus dihilangkan juga.”
Kazuki tersenyum miring. “Bukan sekarang. Kita harus tahu siapa yang mengirimnya.”